Bedol Kedaton Mataram dari Kartasura ke Surakarta

1857 prajurit keraton ngayogyahadiningrat kekunoan.com

 

W acana pemindahan ibu kota negara pertama kali dicanangkan oleh presiden pertama RI Ir. Soekarno pada medio 1950-an. Beliau meramalkan bahwa tidak lama lagi jumlah penduduk Jakarta akan meledak melebihi kemampuan daya dukung kota. Prediksi yang benar-benar menjadi kenyataan yang mengerikan. Pilihan waktu itu jatuh pada kota Palangkaraya.

Namun seiring dengan berganti-gantinya pemimpin negara, rencana tersebut masih tetap berwujud rencana.

Presiden Jokowi mengisyaratkan akan menindaklanjuti wacana ini dengan serius, terbukti dengan sudah dibentuknya tim pendahulu untuk mengawali kajian lokasi bakal pusat pemerintahan negara yang baru. Barangkali urgensi masalah ini berawal dari pengalaman pribadi Jokowi selama menjadi gubernur Jakarta sebelumnya.

Ibu kota negara memiliki dua kekuatan; sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan. Jakarta tetap akan difungsikan sebagai pusat bisnis, sedangkan pada bakal ibu kota yang baru, pemerintah akan berkesempatan merancang tata kota modern yang sehat sama bagusnya dengan ibu kota-ibu kota pusat pemerintahan negara modern lain.

S ejenak kita putar kembali pendulum waktu ke arah sebaliknya, fenomena yang  mirip pernah terjadi 250-an tahun yang lalu, tepatnya pada Rabu Pahing 17 Muharam 1670 (1745 Masehi) saat kerajaan Mataram Islam berpindah dari Kartasura ke Surakarta.

Kala itu, pada pukul 8 pagi rombongan besar kerajaan beriringan dengan tertib dipimpin oleh Susuhunan Paku Buwono II (1729-1749) dengan menunggang kuda kesayangannya. Di belakangnya berbaris rapi anggota keluarga raja dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan dengan diiringi lima batalyon prajurit ditambah dua ratus prajurit berkuda.

Seluruh pusaka dan harta benda kerajaan turut diboyong, diantaranya pusaka Kyai Pangarab-arab, pusaka Kyai Butamancak, pusaka Nyai Setomi, sepasang pohon beringin muda siap tanam, bangsal pengrawit, burung, gajah, harimau-harimau di dalam kandangnya serta arca-arca emas perlengkapan upacara. Para tukang besi, tukang kayu, tukang batu, penjahit, peniup terompet, abdi dalem dapur beserta perlengkapannya, penangkap ikan, perahu juga tak ketinggalan.

Pukul 12 siang rombongan tiba di keraton baru di Surakarta.

Mengapa ‘bedol’ kerajaan ini sampai terjadi? Ceritanya panjang.

Keraton masa Amangkurat I (1646-1647)yang terletak di Plered dalam keadaan sangat menyedihkan waktu itu. Mataram tengah mengalami serangkaian serangan hebat dari Trunojoyo hingga pada akhirnya pertahanannyapun jebol. Amangkurat I terpaksa menyingkir ke utara hingga meninggal di Tegalwangi, sebuah kota kecil di selatan Tegal. Amangkurat sempat menyerahkan pusaka-pusaka Mataram pada Pangeran Adipati Anom yang kelak menggantikan kedudukannya dengan gelar Amangkurat II.

Baca kisah ini selengkapnya pada artikel yang berjudul Amangkurat I sang Diktator Kolaborator.

Berkat campur tangan Belanda, Sunan Amangkurat II akhirnya berhasil mengalahkan Trunojoyo. Bahkan ajal Trunojoyo melayang di tangan Amangkurat II sendiri yang dihukum mati dengan ditikam keris pada tanggal 2 Januari 1680 di sekitar daerah Malang Jawa Timur dekat Kediri.

hukuman mati trunojoyo oleh amangkurat ii
Ilustrasi hukuman mati Trunojoyo oleh Amangkurat II pada 2 Januari 1680 di depan istri-istrinya yaitu Kleting Wungu dan Kleting Kuning dan disaksikan Kapten Jonker dari VOC

Mahkota kerajaan diserahkan pada sunan Amangkurat II namun kondisi keraton Plered sudah tidak terurus dan rusak berat sehingga Sunan baru memerintahkan untuk memindahkan ibu kota dan keraton ke tempat baru.

Fenomena perpindahan keraton sering terjadi sepanjang sejarah nusantara sejak masa klasik. Mulai dari Mpu Sindok, Airlangga, hingga Raden Wijaya pernah menggagasnya. Ini berkaitan dengan pemahaman bahwa keraton yang pernah jatuh ke tangan musuh dianggap sudah rusak, tidak murni dan kehilangan kesakralannya sehingga sudah tidak bagus untuk dipergunakan lagi.

Amangkurat II mengutus beberapa tokoh kerajaan untuk melakukan studi kelayakan terhadap bakal lokasi keraton yang baru. Para tokoh tersebut bekerja dan berembug hingga sampai pada pemilihan 3 lokasi yang diyakini memiliki nilai kelaikan tinggi, yakni Logender, Tingkir, dan Wanakerta.

Logender adalah daerah terbuka dan tidak pernah kekurangan air. Tingkir daerahnya sejuk dan daerahnya bagus, lagipula cukup air. Wanakerta daerahnya datar, cukup air dan memiliki kelebihan karena dekat dengan Pengging sehingga memiliki aksesibilitas yang baik dengan tanah Pajang dan Mataram.

Setelah melalui proses yang panjang, dengan digawangi seorang sesepuh tokoh Mataram bernama adipati Hurawan, pilihan akhir jatuh pada Wanakerta. Susuhunan menyetujui pilihan tersebut dengan berpesan agar rancangan keraton baru mengikuti pola keraton Plered.

Pembangunan memerlukan waktu hingga 7 bulan lamanya, itupun belum selesai benar karena baru kelihatan megah dan sempurna pada tahun 1682. Bentengnya yang tebal dan luas baru dibuat dari gundukan tanah yang disangga papan dari luar maupun dari dalam. Semak berduri dipasang mengelilingi bagian depan benteng yang dikelilingi parit berair. Alun-alun berada di luar tembok baluwarti bagian selatan. Loji kompeni terlihat di kejauhan di bagian utara. Hampir semua bangunan belum berdinding bata, hanya berbilik bambu dan beratapkan rumbai.

Amangkurat II memasuki istana baru tersebut  tanggal 11 September 1680 setelah sebelumnya mengganti nama Wanakerta menjadi Kartasura Hadiningrat. Ia memerintah Mataram cukup lama, yakni sejak 1677 sampai 1702. Dua puluh tiga tahun ia menikmati tinggal di keraton baru sambil menghadapi serangkaian pemberontakan, antara lain yang dilakukan oleh adiknya sendiri yakni Pangeran Puger. Pangeran Puger tidak mau mengakui Amangkurat II sebagai raja karena ia sendiri berhasil merebut Plered dari tangan pemberontak. Sisa-sisa anak buah Trunojoyo yang dipimpin oleh Panembahan Kajoran dan Wanakusuma juga terus menyerang Mataram. Pemberontakan lain yang tak kalah hebat juga dilakukan oleh Untung Surapati melawan Kompeni yang juga menyeret keterlibatan keraton Kartasura.

Lagi lagi fisik keraton mengalami kerusakan-kerusakan hebat sebagai dampak dari konflik-konflik tersebut.

Amangkurat II menutup mata tahun 1703 dan dimakamkan di Imogiri. Putranya menngantikannya dengan menyandang gelar Susuhunan Amangkurat Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama III, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Amangkurat Mas (1703-1704). Berikutnya, secara berturut-turut tampuk pimpinan Kartasura dipegang oleh  Sunan Paku Buwana I (1704-1719), Sunan Prabu Hamangkurat Jawi (1719-1727), dan akhirnya Paku Buwana II, raja yang memindahkan Kartasura ke Surakarta sesuai dengan pembuka cerita di atas.

Bekas lokasi kedaton Kartasura Hadiningrat lama (1680-1745)  kini dalam kondisi sangat memprihatinkan karena nyaris tidak mendapatkan perawatan atau perlindungan hukum yang layak disematkan pada peninggalan bersejarah atau cagar budaya sama sekali. Alih-alih, sekarang ia telah berubah menjadi kampung padat penduduk.  Buluwarti atau tembok luar keraton yang terbuat dari batu bata telah hancur rata dengan tanah dan hanya menyisakan sedikit bagian di beberapa tempat. Dahulunya tembok luar itu berukuran tidak kurang dari 1 km x 1 km dengan tinggi mencapai 5 meter dan tebal 2,5 meter. Dulu prajurit keraton dapat menunggang kuda di atas dinding pagar tersebut saat berpatroli.

Bagian dalam tembok baluwarti masa kini berjejal perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, bekas tempat tinggal putri keraton (keputren), taman keraton, siti hinggil yakni tempat yang ditinggikan di depan alun-alun juga berubah fungsi menjadi pemukiman. Puing reruntuhan bangunan kuno yang tersisa tinggal gedung obat (mesiu) dan bekas bangunan pos jaga kompeni yang kini dipenuhi kuburan.

Balekambang keraton yang dulu dipenuhi air di sebelah tenggara keraton kini juga menjadi pemukiman dan lapangan bola. Yang masih tersisa hanya gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter yang disebut orang sebagai gunung Kunci. Di puncah gunung Kunci terdapat sebuah makam yang dikeramatkan. Tempat ini dulunya bernama Segoroyoso dan merupakan tempat rekreasi keluarga raja yang dibangun pada masa Pakubuwono I (1704-1709 mengikuti pola kedaton Plered. Secara umum sudah tidak ada lagi banguan keraton yang utuh.

Plered adalah wilayah yang pernah menjadi kedaton kerajaan Mataram jaman Amungkurat I di Yogyakarta. Foto ini diambil tahun 1928 saat di Kedaton- apabila nama itu masih tetap dipakai- masih ada bangunan pabrik gula ini. Sekarang bangunan ini sudah tidak berbekas.

Tembok bagian dalam yang mengelilingi keraton atau yang lazim disebut cepuri masih kelihatan bentuknya dibandingkan dengan tembok baluwarti. Namun isinya sama saja, yaitu makam-makam yang kali ini merupakan milik kerabat keraton Surakarta bercampur dengan makam penduduk setempat. Ada Masjid dan beberapa rumah tinggal di dalam tembok ini.

Tampak diantara jajaran makam-makam, teronggok dua makam berlantai bata yang tidak terurus berdimensi 4×6 meter. Tempat tersebut dulunya adalah bilik tengah keraton tempat dulu untuk menyimpan benda-benda pusaka keraton. Makam tersebut diperkirakan makam kosong yang sengaja dibuat agar lahan tersebut tidak digunakan untuk kepentingan lain.

Yang masih lestari dari apa yang dulunya areal keraton Kartasura tinggal nama-nama toponim saja, seperti keputren, Sitinggil, alun-alun, Kandangmacan, Sayuran, Balekambang, Sanggrahan, Gedung obat, Palembatok, Sri Penganti, Krapyak, Bakalan dan Manggisan.

Pada 1740 terjadi peristiwa pembunuhan masal oleh kompeni terhadap warga Cina di Batavia yang dikenal sebagai ‘geger Pacinan’. Dalam tempo hanya 2 hari saja, diperkirakan antara 7 ribu hingga 10 ribu orang Cina menjadi korban. Tragedi ini menyebabkan orang Cina yang tersisa memberontak dan bergabung dengan sesama mereka di kota-kota pantai utara seperti Juwana, Jepara, Demak, Rembang, Tegal, Semarang dan Surabaya. Sentimen anti Kompeni ini bahkan menjalar hingga Kartasura.

Awalnya, Paku Buwana II yang berhasrat melepaskan diri dari pengaruh Kompeni berpihak pada para pemberontak.

Baca kronologi kisah ini selengkapnya pada artikel Kronologi Perang Jawa-Tiongkok Melawan VOC

Setelah komandan garnisun Belanda Van Velzen terbunuh pada tanggal 10 Juli 1741 di Kartasura, Belanda meminta bantuan Pangeran Cakraningrat dari Sampang Madura yang  merupakan musuh Paku Buwana II karena telah lama ingin melepaskan diri dari keraton Mataram untuk mendirikan kerajaan baru di pulau Jawa bagian timur. Perkembangan situasi ini mencemaskan raja sehingga beliau terpaksa  bersedia bekerja sama dengan Belanda untuk mencegah rencana Pangeran Madura.

Sikap Paku Buwana II yang plin-plan ini menyulut amarah pemberontak sehingga secara sepihak mereka mengangkat cucu Amangkurat III sebagai raja bergelar Sunan Kuning. Tidak berapa lama kemudian, pemberontak berhasil menjarah keraton Kartasura sehingga Sri Sunan terpaksa meninggalkan istana untuk mengungsi selama beberapa lama.

Yang terjadi selanjutnya, pasukan Pangeran Cakraningrat berhasil mengusir pemberontak Cina dari istana dan menduduki keraton. Atas bujukan Kompeni, Pangeran Madura ini bersedia meninggalkan Mataram.

Paku Buwono II dapat kembali memasuki keraton Kartasura pada tanggal 21 Desember 1742 dengan pengawalan serdadu Kompeni. Namun kondisi keraton telah rusak berat terbakar setelah diduduki musuh sehingga sudah dianggap tidak layak dipergunakan sebagai kediaman raja.

Potret prajurit keraton susuhunan Sala 1910-1930

Sunan mengutus dua orang patihnya, yakni adipati Pringgalaya dan adipati Sindureja, ditambah dengan  mayor Hogendof dan bupati-bupati lainnya yang masih setia untuk mencari lokasi keraton baru. Dari 3 pilihan, diputuskanlah desa Sala yang terletak di tepi sungai besar bengawan Solo karena letaknya strategis dan mudah dicapai dari pantai apabila keadaan memaksa.

Demikianlah cerita pendahuluan sebelum pada Rabu Pahing 17 Muharam 1670 (1745 Masehi) Surakarta mulai menjadi ibu kota Mataram Islam yang terakhir.

 

(Diolah dari berbagai sumber, terutama artikel ‘Kartasura yang Ditinggalkan’, Nurhadi Rangkuti. Sampul: Ilustrasi Barisan prajurit keraton Yogyakarta Hadiningrat 1857)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
ruin of moendoet kekunoan.com

Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi

Mewujudkan Majapahit Heritage Trail yang Layak Jual