SukaSuka

Menelusuri Jejak Kunjungan Hayam Wuruk ke Balitar dan sekitarnya

kunjungan hayam wuruk ke blitar kekunoan.com

Kakawin Nāgarakrtâgama atau disebut juga Kakawin Desawarnana yang digubah Mpu Prapanca pada tahun 1287 Saka (sekitar 1365 Masehi), merupakan syair dalam Bahasa Jawa yang menguraikan keadaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dari tahun 1350 hingga tahun 1389 Masehi. Isi penting dari kakawin ini adalah perjalanan Hayam Wuruk berkunjung ke daerah kekuasaan Majapahit khususnya yang ada di Jawa Timur.

Perjalanan Hayam Wuruk Tiap Tahun

“… Yan tan mangka mareng phalah mareki jong hyang acala pati bhakti sadara, pantes yan panulus dhateng ri balitar mwang-i jimur-i silahritalengong,….”

Terjemahan:

“….. bila tidak demikian Baginda pergi ke Palah memuja Hyang Acala Pati, dengan bersujud, biasa juga terus ke Balitar dan Jimur(Riana, 2009: 116).

Mengunjungi Palah, candi negara peredam ugra

Palah merupakan nama sebuah bangunan suci yang termuat dalam prasasti bertarikh 1119 Saka (1197 M) di komplek Candi Penataran. Prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Crengga dari kerajaan Kadiri, berisi tentang peresmian sebuah daerah di dalam kekuasaan Kadiri yang dibebaskan dari pajak dan upeti untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah.

Menurut para sarjana, yang dimaksud dengan Palah adalah Candi Penataran. Candi ini ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa di Indonesia. Penataran ditemukan pada tahun 1815, namun hingga tahun 1850 candi ini belum banyak dikenal. Raffles bersama dengan seorang ahli ilmu alam bernama Dr.Horsfield mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, dan hasil kunjungannya dibukukan dengan judul “History of Java” yang terbit dua jilid. Penelitian Raffles kemudian diikuti oleh para peneliti lain, seperti: : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di kompleks percandian Panataran.

Candi Penataran diresmikan sebagai kuil Negara (state temple) pada jaman Raja Jayanegara yang memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328. Pendirian bangunan suci Palah dengan latar belakang gunung dimaksudkan sebagai Candi Gunung, yakni candi yang diperuntukkan untuk memuja raja gunung. Pemujaan kepada Hyang Acalapati adalah pemujaan kepada raja Gunung (Girindra). Tujuan utamanya adalah agar menghindarkan segala marabahaya yang disebabkan oleh gunung. (Wisnoewardhono, 1988: 32).

Gunung yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah gunung Kelud yang sering memuntahkan lahar panas maupun lahar dingin setiap saat, lazimnya dalam siklus 25 tahunan sekali.

Rabut Palah atau Candi Penataran adalah candi kerajaan yang telah disucikan sejak zaman kerajaan Kadiri hingga periode akhir kerajaan Majapahit. Rabut Palah bukan merupakan candi pendharmaan karena kompleks yang luas serta fungsinya yang membentang sejak temuan prasasti pada tahun 1197 Masehi (Periode Kadiri) hingga 1454 Masehi (Periode kemuduran Majapahit). (Kempers, 1959: 90).

Selain sebagai salah satu dari tujuan perjalanan Hayam Wuruk, Rabut Palah juga banyak dikunjungi oleh peziarah hingga awal abad ke 16. Salah satunya adalah Bujangga Manik yang termuat dalam naskah Sunda Kuna. Bujangga Manik melakukan perjalanan ke beberapa tempat suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa bagian tengah maupun Jawa bagian timur di awal abad ke-16. Tidak hanya singgah, Bujangga Manik bahkan pernah ditinggal di kompleks Rabut Palah selama kurang lebih satu tahun untuk mendalami bidang kesusastraan dan memperdalam bahasa Jawa.

“……datang ka Rabut Pasajen, Eta hulu Rabut Palah, kabuyutan Majapahit, nu dise(m)bah ku na Jawa. Maca (a)ing Darmaweya, pahi deung Pa(n)dawa Jaya. Ti inya lunasing jobrah, aing bisa carek Jawa, bisa / aing ngaro basa. /19/. Di inya aing teu heubeui, satahun deung sataraban. Ha(n)teu betah kage(n)teran, datang nu puja ngancana, nu nye(m)bah ha(n)teu pegatna nu ngideran ti nagara……”

Terjemahan:
“……datang ke Rabut Pasajen. Itulah dataran tinggi Rabut Palah, tempat suci bagi Majapahit, yang disakralkan orang Jawa. Aku membaca Darmaweya, Bersama dengan Pandawa Jaya. Setelah itu keingintahuanku tercapai, aku bisa berbahasa Jawa, aku mampu berdwibahasa. Aku disitu tak lama, selama setahun lebih. Tidak kerasan dalam kegaduhan, kedatangan para pemuja keduniawian, para penziarah tak ada hentinya para pengunjung dari perkotaan.…..” (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 303).

Selain kisah Bujangga Manik, nama Rabut Palah juga pernah disebut dalam kitab Centhini (1742). Dalam kitab ini mengisahkan tentang perjalanan Raden Jayengresmi, putra dari Sunan Giri dan kedua santri lain yaitu, si Gatak dan si Gatuk menuju Candi Penataran untuk melihat lukisan dengan cerita jaman Sri Rama (Sumahatmaka, 1981: 15).

Menginspeksi Balitar di selatan Palah

Setelah dari kompleks Rabut Palah, Hayam Wuruk mengunjungi kawasan Balitar. Nama Balitar saat ini telah menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Selain itu, nama Balitar sendiri juga disinggung dalam naskah perjalanan Bujangga Manik setelah perjalanannya dari Waliring dan Polaman, ia mengunjungi kawasan Balitar.

Balitar (“…Leu(m)pang aing marat ngidul, nepi aing ka Waliring, ngalalaring ka Polaman, datang aing ka Balitar…” (“…Aku berjalan ke baratdaya, sampailah ke Waliring, aku berjalan lewat Polaman, tibalah ke Blitar……”) (Noordyun & A. Teeuw, 2009: 304).

Dari tinggalan arkeolog di Kelurahan Balitar juga terdapat kompleks makam yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat Blitar bahwa salah satunya merupakan makam Adipati aryo Blitar. Disebelah barat makam terdapat reruntuhan bangunan kuno yang disusun kembali. Disebelah timur laut makam dulunya terdapat saluran air dari batu bata yang menghubungkan daerah utara dan selatan. Namun, sayang sekali kini saluran air itu telah tertimbun oleh rumah diatasnya. Dalam Kakawin Nagarakrtagama juga disebutkan adanya tanah perdikan (tanah bebas pajak dan upeti) bagi desa Kapungkuran. Tanah tersebut hingga kini masih tetap digunakan sebagai nama Dukuh, salah satu kawasan di kelurahan Blitar yang letaknya di selatan makam Aryo Blitar berada.

Pada radius 500 meter ke selatan dari kompleks pemakaman dahulu pernah ditemukan dinding batu kuno yang berfungsi sebagai dinding kolam (patirthan) dan tiga jambangan yang terbuat dari batu andesit. Kini, kawasan tersebut telah berubah menjadi sawah. Menurut Hoepermans pada tahun 1913 di Desa Blitar masih terdapat tinggalan berupa kepala kala dan prasasti yang bertarikh 1246 Saka (1324 M) yang kini berada di Museum Nasional (Danardhana, 1977: 18-19). Keberadaan tinggalan tersebut sebagian besar kini tidak dapat ditemukan kembali. Kemungkinan besar kawasan ini dulunya merupakan sebuah bangunan candi dan patirthan masa Majapahit.

Pada tahun 1848, kediaman Bupati Blitar, yakni R.M Aryo Ronggo Hadinegoro di desa Blitar, serta masjid yang dibangun oleh penghulu Blitar Kyai Imam Besari pada tahun 1820 Masehi di terjang muntahan letusan Gunung Kelud yang mengalir ke Sungai Lahar di dekat kediamannya. Selanjutnya kediamannya dipindahkan ke Kepanjenlor yang kini menjadi Kantor Bupati Blitar.

Meneruskan lawatan ke Jimur

Hayam Wuruk melanjutkan perjalanannya menuju kawasan Jimur. Nama Jimur hingga sekarang belum diidentifikasi keberadaannya meskipun ada yang beranggapan kini bernama Dukuh Jlimut yang terletak di Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar. Di sebelah timur Dukuh Jlimut, tepatnya Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar terdapat gundukan menyerupai bukit kecil. Selain itu juga terdapat arca berbentuk pertapa dan seorang wanita yang letaknya di dekat sumber air dengan dikelilingi beberapa pohon beringin.

Nama Jimur sendiri juga ada yang meyakini sebagai salah satu nama desa di Kecamatan Ngeglok, Kabupaten Blitar yaitu Desa Jiwut. Warga setempat percaya bahwa Desa Jiwut merupakan tempat yang pernah disinggahi oleh Ken Angrok. Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa nama Jiput merupakan sebuah desa tempat lahirnya pemuda yang bersedia menjadi korban untuk pintu gerbang asrama Mpu Tapawangkeng agar dijelmakan ke timur Kawi yang selanjutnya bernama Ken Angrok (Padmapuspita, 1966: 47).

Nama Jiput dalam Kitab Pararaton tidak menutup kemungkinan kini nama wilayah tersebut berubah menjadi Desa Jiwut. Khususnya di Dusun Lumbung, Desa Jiwut pernah ditemukan tinggalan arkeologis berupa makara, jaladwara dan batu andesit yang berbentuk seperti piramida (Knebel, 1908: 75-76).

Di pemakaman umun Dusun Klampok yang berbatasan langsung dengan Dusun Lumbung ditemukan tinggalan-tinggalan berupa beberapa balok batu bata kuno, umpak dan beberapa lumpang yang berserakan di pinggir pemakaman hingga di parit luar pemakaman. Menurut penuturan warga setempat, sudah sejak dulu lumpang tersebut sengaja di taruh di pemakaman untuk menghindari hal-hal yang tidak baik bila memiliki keturunan yang banyak. Selain itu juga di Dusun Klampok juga ditemukan sebuah pelipit arca pecahan dari Prasasti Kinwu yang dituliskan di balik arca Ganesha (Suhadi, e.a, 1996: 30).

Kunjungan ke Loh Doyong atau Lodaya

“….. Ring saka ksati suryya sang prabhu mahas ri pajang iniringi sanagara, ring sakangga nagaryyama sira mare lasemahawani tiranang pasir, ri dwaradri panendu panglengengireng jaladhi kidulatut wana laris, ngkaneng lodhaya len teto ri sideman jinajahira langonya yenitung….”

Terjemahan:

“….1279 (1357 Masehi) bercengkerama ke laut selatan berjalan lewat hutan, di Lodaya, lain pula Tetu, di Sediman juga dikunjungi keindahannya juga dinikmati……” (Riana, 2009: 117).

Wilayah Lodaya merupakan nama lama untuk ibukota Kawedanan Lodoyo di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, tepatnya di Selatan Sungai Brantas. Daerah Lodoyo saat ini telah menjadi Kecamatan Sutojayan, yakni sebuah daerah yang dibatasi oleh beberapa bukit menjulang di sekitarnya. Sebelah timur berbatasan dengan Hutan Kaulon yang terletak di barat Kecamatan Binangun, sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Gunung Betet yang terletak di Timur Kecamatan Kademangan, sedangkan batas utara adalah Sungai Brantas.

Di kawasan Lodoyo sendiri pernah ditemukan arca katak yang bertahun 1213 Saka (1291 M). (Knebel, 1908: 34). Selain itu juga pernah ditemukan pecahan fragmen arca Ganesha dan Yoni (Arnawa, 1991: 37-38). Dalam Serat Centini dikisahkan tentang perjalanan Raden Jayengresmi (anak Sunan Giri) beserta kedua santrinya yaitu si Gatak dan si Gatuk setelah lari dari Kedaton Giri menuju ke bekas istana Majapahit setelah itu ke Candi Panataran, meninggalkan tempat tersebut tiba di Dukuh Gaprang melihat arca laki-laki dan perempuan. Selanjutnya melakukan perjalanan ke Lodaya yang terdapat Gong bernama Kyai Pradah (Suhatmaka, 1981: 15).

Selain arca katak dan yoni, tinggalan di Dukuh Cungkup, Desa Bacem Kecamatan Sutojayan terdapat situs berupa Candi Bacem yang sebagian besar terbuat dari bahan batu bata. Situs ini terdiri dari dua buah bangunan candi. Di bawah candi terdapat gorong-gorong atau saluran air yang terbuat dari batu, menurut juru kunci Candi Bacem masih tertanam dibawah tanah sedalam 1,5 m.

Di kawasan Desa Gaprang, hingga sekarang terdapat sebuah situs dimana diantaranya terdapat arca yang memegang phallus.

kunjungan hayam wuruk ke blitar kekunoan.com

Sedangkan di Lodoyo terdapat Gong Kyai Pradah yang sampai sekarang masih digunakan sebagai ritual menjelang awal bulan Maulud (Rabiul Awal) yang disebut sebagai Siraman Gong Kyai Pradah. Gong ini masih di simpan di utara alun-alun Lodoyo (Bintoro, e.a., 2002: 73-74).

Menurut cerita, Raja Hayam Wuruk, mempunyai paman bernama Raden Condromowo (Condrogeni) yang berkedudukan di Ngatas Angin. Raden Condromowo sendiri merupakan saudara dari Prabu Klono Djatikusumo yang berkuasa di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian di Ngetos (Harimintadji e.a. 1994: 137-138).

Tetu, memilik arti papan yang biasanya merupakan bagian dari bale (atap) atau bisa juga berarti kereta perang (Zoetmulder, 1995: 1245). Nama Tetu dalam uraian Kakawin Nagarakrtagama sampai sekarang belum teridentifikasi. Boleh jadi sekarang Tetu sekarang terletak di sebelah barat perempatan pasar Lodaya, atau Alun-Alun Lodaya yang sekarang disebut Gunung Betet di Desa Kembangarum, Kecamatan Sutojayan. kemungkinan namaTetu (“tet-u”) kini berubah menjadi “Be-tet”. Jika benar Tetu yang dimaksud adalah Gunung Betet sekarang, maka dahulu puncak ini adalah tempat Raja Hayam Wuruk menikmati pemandangan.

Di atas rangkaian puncak gunung Betet, terdapat makam Islam kuno yang disebut sebagai makam Pangeran Songsong Buwana. Di makam tersebut hingga kini masih terdapat tinggalan berupa batu bata besar dan sejumlah umpak (tiang) yang dihiasi dengan antefiks (hiasan pada candi atau simbar).

Sama halnya dengan Tetu, nama Sediman hingga kini letaknya belum teridentifikasi. Namun dari namanya, ada beberapa orang percaya Sediman sekarang berubah menjadi Kademangan di Desa Darungan, Kecamatan Kademangan.

Pada tahun 2006 di Desa Darungan, tepatnya di Dusun Besole, telah ditemukan Gapura Bentar Besole. Bangunan utamanya berupa tangga masuk berbahan dasar batu bata merah yag berada kurang lebih 2 meter di bawah tanah. Gapura tersebut kemugkinan dibangun pada masa Kerajaan Kadiri dan tetap dimanfaatkan hingga masa Kerajaan Majapahit. Selain itu, Di area persawahan Dusun Besole ditemukan sebuah prasasti bertarikh tahun 1054 Saka, pada masa pemerintahan Bameswara yang memiliki pahatan candra kapala lancana, juga tumpukan batu bata kuno dengan keadaan utuh yang berserakan disekitar sawah. (Suhadi, e.a, 1996: 24).

Kemungkinan, gapura ini dulunya merupakan tepat pelabuhan sungai, dan area persawahan bisa jadi merupakan tempat pemukiman penduduk di sebelah selatan sungai Brantas. Dari hal ini, bisa diketahui bhwa perjalanan Hayam Wuruk adalah menyebrangi sungai hingga tiba di Sedimen (Besole), selanjutnya menuju ke Tetu (Betet) dan sampai ke Lodoyo.

Kunjungan ke Simping

“…. Ndan ring saka tri tanu rawi ring wesaka, sri na-/- tha muja mara ri palah sabrtya, {30a} jambat sing ramya pinaraniran langlitya, ri lwang wentar manguri balitar mwang jimbe. Janjan sangke balitarangidul tut margga, sangkan poryyang gatarasa tahenyadoh wwe, ndah prapteng lodhaya sira pirang ratryangher, sakterumning jaladhi jinajah tut pinggir. Sah sangke lodhaya sira manganti simping, sweccha nambya mahajenga ri sang hyang dharma, sakning prasada tuwi hana dohnya ngulwan, na hetunyan bangunenanga wetan matra. Mwang tekang parimana ta pwa pinatut wyaktinya lawan prasasti, hetunyan tinapan sama padhinepan purwwadhi sampun tinugwan, ndan sang hyang kuti ring gurung gurunginambil bhumya sang hyang dharma, gontong, wisnu rareka bajradharaneka pangheli sri narendra. Rayuntuk sri narapatya margga ri jukung joyana bajran pamurwwa, prapta raryyani bajra laksmi namegil ring surabhane sudharmma, enjing ryangkatiran pararyyani bekel sonten dhateng ring swarajya, sakweh sang mangiring muwah te-/- lasumantuk ring swawesmanya sowing…..”

Terjemahan:

“… lalu pada tahun saka Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka—April-Mei, Baginda Raja memuja (nyekar) ke Palah dengan pengiringnya, berlarur-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan di Jimbe. Tidak peduli dari Blitar menuju ke selatan sepanjang jalan, mendaki kayu-kayu mengering kekurangan air tak sedap dipandang, maka Baginda Raja tiba di Lodaya beberapa malam tinggal disana, tertegun pada keindahan laut dijelajahi menyisiri pantai. Baginda Raja meninggalkan Lodaya menuju Desa Simping, dengan rela seraya memperbaiki tempat memuja leluhur, candi itu rusak tampak bergeser ke barat, itulah sebabbya direnovasi digeser agak ke timur. Serta merta penataannya diperbaikan disesuaikan bunyi prasasti, lalu diukur yang benar dengan depa di ujung timur telah dibuat tugu, maka wihara di Gurung-Gurung diambil halamannya untuk tempat candi, Gontong, Wisnurare di Bajradarana itu sebagai penggantinya oleh Baginda Raja. Baginda pulang melalui Jukung, Joyana, Bajran terus ke timur, berhenti di Brajalaksmi bermalam di Candi Surabawana, paginya berangkat pula berhenti di Bekel sore hari tiba di istana, semua pengiring telah pulang ke rumahnya masing masing….” (Riana, 2009: 302-306).

Nama Lawang Wentar, menurut para ahli saat ini dikenal dengan nama Sawentar. Salah satu desa di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar yang terdapat tinggalan arkeologi berupa Candi Sawentar. Candi sawentar ini mirip dengan Candi Kidal yang terletak di Daerah Tumpang, Malang. Pada bagian candi Sawentar ini masih utuh, namun pada bagian atap candi sudah runtuh. Tinggi asli bangunan candi adalah sekitar 15 meter, namun sekarang hanya tinggal 10,65 meter.

Di dalam ruangan candi terdapat yoni dan alas tumpuan dengan pahatan garuda kecil, dimana dalam agama Hindu garuda merupakan kendaraan Dewa Wisnu. Di bagian atas ruangan terdapar relief Dewa Surya yang menaiki seekor kuda dengan telinga seperti kelelawar. Atap berbentuk piramida yang tinggi, terdiri dari tiga satuan lapisan horizontal masing-masing mendukung satu rangkaian bentuk menara kecil. (Kempres, 1959: 73).

Pada tahu 1999, di sebelah selatan candi tepatnya di belakang pasar pernah dilakukan penggalian ole Balai Arkeologi Yogyakarta. Dari hasil penggalian tersebut mendapatkan suatu struktur bangunan yang disebut dengan Situs Sawentar II. Pada penggalian tersebut juga ditemukan batu ambang miniatur candi yakni sebuah relief naga bermahkota yang menggigit matahari berangka tahun 1358 Saka (1436 M). Relief tersebut merupakan candrasangkala “Nagaraja anahut surya yang berarti 1318 Saka (1396), candrasangkala “Ganeca inapit mong anahut surya (1328 Saka/ 1406 Masehi) (Tjahjono & Nurhadi Rangkuti, 2000: 35).

Setelah dari kawasan candi Sawentar, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan menuju Jimbe. Hingga sekarang Jimbe tetap bernama Desa Jimbe, sebuah desa di Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Di desa ini terdapat suatu peninggalan berupa kekunaan Jimbe, yang lebih dikenal masyarakat sekitar sebagai Mbah Umyang. Beberapa peninggalan yang berada di situs ini, diantaranya fragmen arca, arca nandi, beberapa batu candi, umpak, bagian kepala katak, bak air, lumpang batu, dan fragmen yoni (Arnawa, 1991: 3-10). Selain itu juga terdapat batu bertulis yang merupakan angka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi (Bandi, e.a., 1984/ 1985: 87).

Di desa Pandanarum terdapat tinggalan berupa kronogram dari batu gamping berangka tahun 1258 Saka atau 1336 Masehi. (Simanjutak, 1982/1983: 36). Menurut penuturan warga sekitar, terdapat sebuah arca laki-laki yang diberi nama “Arca Jaka Tarub”, namun sayangnya arca ini sekarang tinggal tubuhnya saja. Arca ini terletak di dekat sumber air “Mbelik Jambu”. Selain arca, juga ditemukan Prasasti di Gunung Nyamil, di Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto, dengan bahan dasar batu gamping dan terdiri dari 4 baris. Pada baris keempat, menurut Drs. Soekarto merupakan sangkalan yang berarti 1210 Saka (1288 Masehi). Selain itu juga ditemukan arca seorang tokoh yang disebut warga sekitar dengan “Arca Mbah Putri” yang dibagian kepalanya sudah pecah. Peninggalan lainnya berupa tiang batu, dan batu dakon, yang kemungkinan pada zaman dahulu digunakan sebagai bangunan permanen (Simanjutak, e.a., 1982/ 1983: 34-36).

Dari uraian Nagarakrtagama, disebutkan bahwa Hayam Wuruk menginap beberapa hari di Desa Ngeni, salah satu kawasan Lodaya dikarenakan keadaan jalanan yang menanjak dan terjal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan arkeologi serta letaknya yang berdekatan dengan Desa Ngadipuro, dan wilayah bagian selatan yang merupakan hamparan laut yang indah.

Setelah menikmati luasnya hamparan laut, Hayam Wuruk kembali melakukan perjalanan ke arah barat laut Kecamatan Wonotirto dan tiba di kawasan Simping untuk acara pemujaan leluhurnya. Candi Simping sendiri, saat ini berada di kawasan Desa Sumberjati, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Keadaan candi sekarang ini telah runtuh, mulai dari bagian kaki hingga atap, sehingga hanya menyisakan bagian batur candi saja. Bagian luar candi ini terbuat dari batu andesit, sedangkan bagian dalam candi terbuat dari batu bata. Terdapat komponen-kompenen arsitektur seperti tubuh, atap, dan puncak candi yang sudah berserakan disekitarnya telah ditata rapi oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur (Arnawa, 1991: 10-11). Ukuran batur candi adalah 835 cm x 835 cm, pada masing-masing sisi terdapat penampil dan halaman depan penampil selebar 350 cm. tinggi batur candi 65 cm (Wati, 2008: 58-59).

Terlihat dari reruntuhan batur candi, kemungkinan dulunya Candi Simping ini memiliki ruangan di bagian dalamnya. Pada bagian atas batur candi terdapat sebuah alas arca berbentuk bujur sangkar yang terbuat dari batuan andesit. Bagian alas arca sendiri memiliki relief bergambar kura-kura (akupa) menghadap ke barat. Pada bagian punggung kura-kura terdapat pahatan bergambar empat ekor naga yang saling melilitkan kepala dan ekornya untuk melingkari tonjolan persegi yang ada di titik tengah permukaan alas. Menurut W. F. Stutterheim, arca Hari-Hara (Hari sebutan Wisnu pada bagian tubuh kiri dan Hara sebutan Siwa pada tubuh bagian kanan)yang disimpan di Museum Nasional Jakarta merupakan salah satu arca dari Candi Simping.

Di atas alas batur candi, dahulu terdapat arca perwujudan raja yang didharmakan di candi Simping. Dalam kitab Nagarakrtagama pupuh 47/ 3 (Muljana, 2006: 370) disebutkan bahwa pada Tahun Saka surya mengitari tiga bulan (1231 C/ 1309) Sang prabu mangkat, ditanamkan di dalam pura Anthahpura, begitu nama makam beliau Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa. Selain itu, di dalam reruntuhan candi juga ditemukan peninggalan lain seperti kepala kala, relief bergambar hewan, tumbuhan dengan teknik stilir (detail), serta susunan balok batu andesit dan batu bata.

Sesuai yang dikatakan pada Kitab Nagarakrtagama, pada kunjungan Hayam Wuruk tersebut juga diadakan pembaharuan dikarenakan candi rusak serta tampak bergeser ke barat, rencananya candi tersebut akan digeser agak ke timur. Selain itu dilakukan juga penataan ulang sesuai bunyi prasasti, lalu diukur dengan benar menggunakan ukuran sepanjang kedua belah tangan, selain itu juga dibangun sebuah tugu di ujung timur. Untuk tempat bangunan candi, Hayam Wuruk mengambil halaman wihara di wilayah Gurung-Gurung. Halaman wihara tersebut diganti kedaerah Gontong, dan Wisnurare di Bajradarana.

Untuk nama wihara di wilayah Gurung-Gurung kemungkinan, sekarang terletak di daerah Pegunungan Kapur yang kini berubah menjadi Hutan Gogowurung (Gogo berarti tanaman padi, Wurung artinya gagal).

Sedangkan untuk nama Gontong sendiri, saat ini belum teridentifikasi letaknya. Kemungkinan besar wilayah ini masih ada di sekitar Candi Simping. Sedangkan wilayah Wisnurare di Bajradana, saat ini menjadi Dukuh Saren dan Banjarsari yang terletak di Desa Ngeni, Kecamatan Wonotirto.

 

Baca juga rute perjalanan Hayam Wuruk menginspeksi seputaran Malang raya di tautan ini.

 

Setelah melewati daerah Simping, Hayam Wuruk melakukan perjalanan pulang ke Majapahit dengan melalui daerah Jukung. Nama Jukung, dalam bahasa Jawa kuna merupakan jenis perahu kecil yang terbuat dari batang kayu (Zoetmulder, 1995: 429). Bisa jadi, Hayam Wuruk juga menaiki perahu kecil dari batang kayu untuk menyebrangi Sungai Brantas.

Selanjutnya rombongan Hayam Wuruk tiba di Joyana. Nama Joyana sendiri saat ini kemungkinan telah berubah menjadi Desa Dermojayan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Pada tahun 2010, diantara desa Dermojayan dan Sungai Brantas ditemukan beberapa peninggalan seperti, arca dewa dari tanah liat, yoni kecil (sekarang disimpan di BP3 Trowulan), serta balok batu bata kuno yang berserakan.

Ada yang berpendapat bahwa kawasan Jukung, yang dilalui Hayam Wuruk untuk kembali ke Majaahit adalah kawasan Pucung saat ini, karena letaknya dekat dengan aliran sungai. Jika teori ini benar, maka rute perjalanan Hayam Wuruk adalah setelah menyeberangi Sungai Brantas, berbelok ke barat menyisiri Sungai Brantas melewati Dusun Cobanteng, Desa Ngaglik yang memiliki tinggalan berupa batu bertarikh Saka 1259 (1337 Masehi), batu candi, umpak, fragmen arca dan arca binatang serta relief sudut bangunan (Arnawa, 1991: 32-37), belok ke utara menyisiri Sungai Kalipucung tiba di Dukuh Sumberbuntung, Desa Kalipucung. Selanjutnya berbelok lagi kebarat tiba di Desa Joyana (Dermojayan).

Setelah melewati kawasan Joyana, Hayam Wuruk dan pasukannya melewati daerah Bajran. Daerah ini sendiri belum diketahui hingga saat ini. Namun, ada beberapa yang beranggapan bahwa Bajran memiliki kesamaan dengan nama daerah di Kediri, contohnya adalah Banjaranyar di Kecamatan Kras dan Desa Banjarrejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Daerah ini dulunya terdapat arca yang terkubur di bawah pasar.

Selanjutnya, rombongan Hayam Wuruk tiba di daerah Brajalaksmi. Daerah ini juga belum diketahui tempat pastinya. Namun ada yang beranggapan bahwa Brajalaksmi terletak di Kampung Cina atau Desa Panjer. Menurut catatatan Knebel (1908: 234, 265-266), di Kota Kediri tepatnya Kampung Cina terdapat tinggalan arkeologi masa Hindhu-Buddha yaitu berupa arca Laksmi, Dwarapala, Siwa, dan Durga. Sedangkan di wilayah bagian timur yaitu di Desa Panjer, Kecamatan Plosok klaten pernah ditemukan arca Caitya dan Bodhisatwa.

Perjalanan dilanjut ke Candi Surabawana, di Dusun Surowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Sehingga arah rute perjalanan yang dituju adalah ke timur laut. Setelah menginap di Candi Surabawana, Hayam Wuruk dan rombongan menuju ke daerah Bekel, hingga tiba di istana Majapahit pada sore harinya.

kunjungan hayam wuruk ke blitar kekunoan.com

Nama bekel sendiri merupakan sebutan untuk jabatan lurah di suatu daerah. Identifikasi Bekel dapat dijumpai di sebuah prasasti yang ditemukan di Palem, Kabupaten Mojokerto bertarikh tahun 893 Saka (971 M). Di dalam prasasti tertulis dengan nama juru ri bkel sebagai salah satu peserta dalam upacara penetapan sima (Brandes, 1919: 116-119). Selain juru ri bkel, ada juga beberapa juru yang disebut, diantaranya juru ri kanta, juru ri kijangan, juru ri kuwu, juru ri lekan, juru ri telaga, dan juru ri walasah. Nama juru tersebut sebagian besar terletak di Kabupaten Kediri seperti juru ri kanta (Sungai Konto) dan juru ri kijangan (Desa Kunjang). Selain itu juga terdapat Dusun Bekel, yang terletak di Desa Kepuhkajang, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang.

Di Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, terdapat sebuah desa yang namanya mirip dengan Bekel, yaitu Desa Pakel. Bila pendapat ini benar, maka rute perjalanan Hayam Wuruk dari Candi Surabawana adalah ke arah timur hingga Desa Kandangan dengan menyeberangi Kali Konto, sampai di Desa Pakel, menjurus langsung utara di Japanan dan Dukuhmojo. Japanan merupakan tugu batas Keraton Majapahit berbentuk Yoni segi lima.

Pada tahun 1363 Masehi, Hayam Wuruk melakukan perjalanan lagi ke daerah Simping untuk melihat perbaikan candi dan melakukan upacara tahap akhir renovasi tersebut. Pada Kitab Nagarakrtagama di uraikan sebagai berikut:

“….irikanganilastanah saka nrepeswara Warnnana, mahasahasi simping sang hyang dharma rakwa siralihen, saha widhi widhanasing lwir ning saji karma tan kurang, prakasita sangadyaksa mujaryya raja parakrama. Rasika nipuneng widya tatwo padesa siwa gama, sira ta mangadhistane sang sri nr-/-pa krta rajasa, {35a} duweginulahen tekang prasada gopura mekala, prakasita sangaryya nama krung prayatna wineh wruha. Nrpatinumulih sangke simping wawang dhatenging pura, prihati tekapi gring sang matryadi matri gaja mada, rasika sahakari wreddhya ning yawa waniring dangu, ri bali ri sadheng, wyaktiny-antuk nikanayaken musuh….”

Terjemahan:

“…. Pada tahun saka (ng) Anilastanah—1285 (1363 Masehi) Baginda Raja dikisahkan, Baginda Raja pergi ke Simping konon akan memindahkan candi, lengkap dengan upacara sajen-sajen yang teratur tak ada kurangnya, Sang Arya Raja Parakrama pengawas pemujaan itu amat terkenal. Beliau terkenal mahir dalam filsafat agama Siwa, Beliau memangku jabatan pada masa Baginda Sri Kertha Rajasa, waktu dilaksanakan pembangunan prasada dengan gerbang yang bergaris, terkenal bernama Arya Krung ditugaskan untuk mengawasinya. Baginda Raja kembali dari Simping, segera tiba di Istana, Baginda sangat sedih karena Maha Patih Gadjah Mada sakit. Beliau ikut mencurahkan tenaga demi kebesaran kerajaan Jawa dahulu, di Pulau Bali, Sadeng benar-benar berkat upaya beliau musuh dapat dimusnahkan..…” (Riana, 2009: 341-343). (Vina)

( Sumber: tatkalam.blogspot.com, Fery Riyandika )

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

One Comment

Loading…

0

Jalan Lingkar Luar Kota Malang Tahun 1936 dan Taman Lembah Brantas

Candi Jago/ Jajaghu Tumpang Malang kekunoan.com

Kabuyutan Sukun Sekuat Tenaga Membela Maharaja Śrī Jayāmərta