Amangkurat I sang diktator kolaborator

Tampilnya Jokowi dalam tampuk pemerintahan tertinggi Republik Indonesia saat ini adalah sebuah anomali. Dalam tradisi politik kita, ketua partai pemenang Pemilulah yang biasanya didapuk sebagai kepala negara, jadi seharusnya ketua umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Putri lah yang menjadi presiden. Namun apalah daya, setelah dua kali dipecundangi SBY dalam Pemilu langsung dan juga menimbang hasil survey yang tidak mendukung, Megawati harus legowo tidak dicalonkan menjadi RI 1.

Apakah yang salah dengan Megawati? Secara halus para pengamat menyindir bahwa bung Karno adalah pemimpin besar yang kharismatik, cerdas dan memiliki segalanya, begitu besar sampai-sampai sedikitpun tidak ada yang menurun pada putrinya.

Begitulah keadaan sejarah Indonesia yang selalu berulang, ketika sang suksesor anak-anak raja tidak selalu bisa mempertahankan apa yang dibangun ayahnya.

Dalam versi yang lebih ekstrim, kajian seputar Mataram abad 16 menyajikan dua orang raja bapak-anak yang karakternya saling berseberangan. Sultan Agung, sang bapak, adalah pemimpin besar Jawa yang bijaksana, protagonis, berwawasan dan pantas diteladani, sedangkan Amangkurat, anaknya memiliki sifat kepemimpinan yang culas, kejam, antagonis, dan paranoid yang sangat buruk. Sang ayah berjuang mengusir penjajah, sang anak justru menjadi kolaborator penjajah. Sultan Agung besar bukan semata karena pertumpahan darah saja, melainkan kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengembangkan sistim pertanian. Ia pawai menggabungkan kalender Saka peninggalan masa Hindu yang marak dipakai di daerah pedalaman dengan kalender Hijriah yang mulai dipakai di kantong-kantong Islam seperti di wilayah pesisir, hasilnya adalah kalender Jawa Islam yang masih kita kenal hari ini. Sang anak justru dengan entengnya membantai ribuan orang yang dianggapnya mencurigakan dan menghalangi ambisinya.

Kepemimpinan sang anak segera saja menggerus kebesaran Mataram yang susah payah dibangun sang ayah.

Sumber sejarah ini berasal dari H.J de Graaf yang lahir pada tanggal 2 Desember 1688. Ia adalah jebolan jurusan Sejarah di Universitas Leiden yang memfokuskan diri pada analisis Javanologi, maka tak heran integritasnya pada dunia sejarah Indonesia tidak diragukan lagi. Selama bekerja di Batavia (1927-1930) ia mempelajari kebudayaan dan bahasa jawa kepada Purbacaraka. Lima tahun berikutnya ia kembali ke kampusnya untuk menulis karangan ilmiah tentang Pembunuhan Kapten tack di Kartasura tahun 1688. Kembalinya ia ke Indonesia, De Graaf semakin rajin membuat karya-karya tentang sejarah Jawa. Karena karyanya, De Graaf disebut Bapak Sejarah Jawa yang tidak ada tandingannya menurut M.C Ricklefs.

De Graaf melakukan analisis tentang sejarah mataram menggunakan sudut pandang Indonesia sentris, yaitu dengan menggunakan sudut pandang Belanda terhadap Mataram ditambah dengan Babad yang Objektifitasnya banyak diragukan. Meskipun begitu, De Graaf menganggap Babad ini adalah sumber sejarah Jawa yang cukup penting.

J.J. Ras menyebut De Graaf sebagai berikut:  “The first historian to make extensive use of Babad Tanah Djawi a source of research on actual historical process. He demostrated in a series of valuable monograph how such Javanese sources may profitably be used, thus becoming the first historian to succesfully experiment with an Indonesia-centric approach is historiography.

Selain dari buku-buku De Graaf, acuan lainnya berasal dari gambaran menurut Clive Day yang diadaptasi dari buku “The Policy of Administration of The Dutch in Java” terhadap tokoh Amangkurat. “Kebanyakan Penguasa Jawa adalah seorang ‘Monster’ nyata yang sangat tergila-gila kepada kekuasaan dan kekuatan posisi mereka. Seperti halnya Amangkurat, yaitu penerus Sultan Agung yang membunuh 20ribu orang bahkan lebih, siapapun yang dicurigai Amangkurat akan ditebas habis dengan tangannya sendiri”. Demikianlah Clive Day menggunakan kekejaman Amangkurat sebagai justifikasi yang biasanya orang Belanda lakukan terhadap orang Jawa untuk menunjukkan kekuasaannya. Menurut orang Belanda, mereka memperlakukan orang Indonesia lebih baik daripada leluhur mereka sendiri memperlakukan mereka. Amangkurat menjadi contoh seorang penguasa pribumi yang sangat kejam terhadap penduduk pribumi itu sendiri. Konsep Machiavelli yang sangat kejam dan ekstrim diterapkan dalam pemerintahan Amangkurat, begitu menurut Dr. Veth.

Baiknya kita singkirkan dulu segala prasangka buruk terhadap para nara sumber karena jelas-jelas orang yang kompeten dan diakui integritasnya dalam dunia kesejarahan Indonesia. Jangan mudah alergi dan memiliki prejudice bahwa persona-persona asing ini membelokan sejarah untuk kepentingan mereka. Kita baca saja kisahnya berikut ini:

Amangkurat I lahir pada tahun 1619M. Ia dididik oleh Tumenggung Mataram selama 10 tahun yaitu pada umur 5-15 tahun (1624-1634). Ia menjadi Sultan Mataram pasca wafatnya Sultan Agung. Ia berkuasa menjadi Sultan Mataram antara tahun 1646-1677, dimana masa ini adalah masa kemunduran bagi kerajaan Mataram. Bukan hanya Belanda yang mengatkan tentang hal ini, Babad garapan Meinsma yaitu Babad Tanah Jawa mengakui hal tersebut sebagi berikut :

Kala kemanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tijang, tansah nggelaraken sijasat. Para boepati, mantri toewin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning nagari. Tijang samatawis sami miris manahipoen, sarta asring grahana woelan toewin srengenge; djawah salah mangsa, lintang koemoekoes in sabendaloe ketingal. Djawah awoee oetawi lindoe. Akatah delajat ingkang ketingal. Poenika pratandanipoen, jen negari bade risak.

Saat itu Raja bertindak sewenang-wenang tidak seperti ia yang biasanya. Raja sering melakukan kekerasan dan selalu bermain taktik. Para petinggi seperti bupati, para mantri dan keluarga bertindak semaunya sendiri dengan cara menyalahgunakan kedudukan yang mereka punya. Tata tertib bernegara pada saat itu sangatlah rusak dan kacau. Penduduk kerajaan Mataram dirundung ketakutan yang sangat mendalam. Sering terjadi gerhana bulan ataupun matahari. Hujan menyalahi musim yang seharusnya dan bintang berekor terlihat setiap malam. Hujan abu dan gempa bumi pun juga terjadi pada masa itu. Segala fenomena alam itu membawa pertanda bahwa negara dalam keadaan rusak.

Kewenangan mutlak Amangkurat I terlihat sejak Ia terpilih menjadi Sultan Mataram pada tahun 1646 M. Pada tahun 1647 M, Ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered. Ia menugaskan rakyatnya untuk membuat batu bata, karena Ia akan pergi dari Karta dan ingin membangun kota di Plered.

Berbanding terbalik dengan Kota Gede yang terbuat dari kayu, Amangkurat I membangun Keraton yang dibuat dari batu bata dan dipagari parit besar. Abraham Verspreet, seorang Belanda mendatangi Keraton Plered pada tahun 1668 untuk memantau keadaan Keraton. Ia mendeskripsikan Keraton Plered  seperti sebuah pulau yang berada di tengah danau. Keraton yang berada di tengah parit tersebut menggambarkan jiwa Amangkurat yang terasingkan karena dasarnya Ia memang mewaspadai siapapun. Kabarnya jika malam tiba wilayah kompleks Keraton dibersihkan dari laki-laki. Hanya Ia bersama ribuan wanita, abdi dalem dan istri-istrinya yang tinggal di Keraton. Dan konon ada tiga puluh prajurit wanita yang disebut prajurit Trinisat Kenya yang setia menjaganya.

Pada tahun awal kewenangannya, sifat arogan Amangkurat sudah mulai terlihat. Sebelum menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, Amangkurat terlibat kasus dengan istri dari Tumenggung Wiraguna seorang abdi dalem senior. Kemudian kasus ini di laporkan kepada Sultan Agung, akan tetapi tidak berhasil menggoyahkan posisi Amangkurat sebagai putra mahkota. Amangkurat menyalurkan kebenciannya kepada Tumenggung Wiraguna dengan memindahkan ke Timur untuk melawan peluasan pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pengikutnya, Tumenggung di bunuh. Menurut salah satu berita, yang membunuh Tumenggung adalah Kiai Ngabei Wirapatra oarang yang dekat dengan Sultan. Amangkurat juga memerintah pasaukannya untuk menumpas semua orang yang pernah melaporkan skandal itu kepada Sultan Agung. Akibat dari kejadian tersebut banyak wanita dan anak yang tidak bersalah kehilangan nyawanya, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna sendiri.

Menurut hukum alam, semakin banyak membunuh maka semakin terancam pula perasaannya. Dengan begitu pembunuhan yang dilakukan Amangkurat justru membuatnya tidak merasa aman. Jika setiap kali Sunan keluar keraton, Ia akan dikawal dengan 2000 prajurit bertombak. Ia tidak mempercayai lagi para sesepuh dari keluarganya sendiri sehingga Ia membunuh semua pajabat tinggi dan mengganti dengan para abdi pengikutnya. Begitu mudahnya Ia membunuh orang, sampai-sampai seorang pejabat Belanda menuliskan bahwa suatu saat nanti Sunan pasti akan bosan mengalirkan darah orang.

Adik dari sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit juga merasa terancam karena dekat dengan Tumenggung Wiraguna. Saat teman-temannya telah dibunuh, Ia mulai mendatangi para pemuka Islam untuk menghapuskan kecurigaan padanya. Di saat yang sama Pangeran Alit juga merencanakan serangan terhadap sang Kakak. Mengetahui hal tersebut Amangkurat langsung bertindak menumpas semua pendukung Adiknya. Terhasut provokasi sang Kakak, Pangeran Alit dengan 60 orang pendukungnya menyerbu alun-alun keraton pada pertarungan penghabisan darah tahun 1647.

Pasukan Pangeran Alit tidak setara dengan pasukan Sunan sehingga mudah untuk dimusnahkan dan hanya menyisahkan Pangeran Alit seorang. Menurut notulen Belanda terpercaya, sang Sultan Akhirnya memperbolehkan bawahan-bawahannya untuk membunuh sang adik atas alasan pembelaan diri, maka dari itu tangan sang Sultan bersih dari darah adiknya sendiri.

Beberapa saat kemudian Amangkurat kembali membunuh para pemuka Islam yang telah menghasut sang Adik untuk menyerangnya. Menurut satu berita, dengan tanda suara tembakan dari Istana, pembantaian pun dimulai. Dengan korban 5 hingga 6 ribu jiwa pemuda, anak – anak dan wanita. Amangkurat melakukan pembunuhan kembali pada tahun 1659. Pembunuhan kali ini terhadap mertuanya sendiri dan Pangeran Pekik serta  keluarganya yang dicurigai merencanakan pembunuhan kepada dirinya.

Para pejabat mulai menunjukkan ketidaksukaannya terhadap pembesar Mataram. Para pangeran penguasa tanah dan anggota keluarga Sunan sudah mulai menentang kekuasaan sang Sultan. Di Jawa Timur, muncul penguasa baru yang dipimpin oleh Trunojoyo dari Madura yang memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Seiring meningkatnya ketidaksukaan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat kini kekuatan Trunojoyo semakin bertambah kuat. Amangkurat meminta bantuan VOC untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo. VOC sendiri lebih memilih Amangkurat daripada Trunojoyo yang dianggap berbahaya. Pada bulan Desember VOC memerintah Speelman untuk pergi ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membatu pasukan Amangkurat. Sebagai imbalan, orang Belanda meminta Amangkurat untuk membagi sebagian daerah kekuasaannya.

Ringkasnya pada tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunojoyo berhasil membantai kekuatan gabungan Mataram-VOC dan berhasil memasuki wilayah Keraton Plered. Akan tetapi, malam hari sebelum pasukan Trunojoyo datang Amangkurat serta beberapa keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton untuk berlindung ke Belanda di daerah Cirebon. Pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas Amangkurat jatuh sakit dan meninggal dalam usaha pelarian tersebut.

Secara tragis ia dirampok oleh penduduk setempat yang tidak mengenali junjungannya tersebut. Sejumlah besar perhiasan dan harta istana yang di bawanya laripun berpindah tangan.

Ia berwasiat kepada Mas Rahmat anaknya untuk kembali bekerja sama dengan VOC dan merebut kembali tahta dari tangan Trunojoyo. Anak dari sang Sultan inilah yang akan menjadi Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura untuk kelanjutan dari Kesultanan Mataram. Amangkurat juga berwasiat untuk dimakamkan di Tegal dekat dengan makam gurunya. Karena tanah di daerah Tegal berbau harum, maka desa tersebut dinamakan dengan desa Tegalwangi atau Tegalarum.

Kekuasaan VOC makin kuat setelah kematian Amangkurat dan setelah keturunan Amangkurat II dapat membunuh Trunojoyo. VOC menuntut pembayaran atas biaya perang yang sudah dikeluarkan, maka untuk mengganti biaya perang tersebut diberikan kawasan Priangan ke Belanda dari Mataram. Hal tersebut berjalan sesuai perjanjian pada tahun 1678.

Sejak saat itu Mataram mengalami kemunduran dan perpecahan.

Disisi lain selain gambaran buruk tentang Amangkurat I, beliau tetap seseorang yang pernah mengalami kisah cinta. Antara Sang Sunan dan Ratu Malang, yang dibahas dalam buku Runtuhnya Istana Mataram.

Alkisah Sunan memerintahkan budaknya mencari wanita cantik. Ditemukanlah wanita cantik yang merupakan putri dari seorang dalang wayang, yang saat itu tengah menikah dan hamil 2 bulan dengan Kiai Dalem. Namun hal itu tidak menghalangi cinta sang Sunan untuk menikahi wanita yang selanjutnya dikenal sebagai Ratu Malang.

Untuk menjalankan misi menikahi wanita tersebut, sang Sunan membunuh Kiai Dalem, suami Ratu Malang. Setelah Ratu Malang mengetahui suaminya dibunuh, sepanjang siang dan malam Ratu Malang meratapinya. Akhirnya Ratu Malang jatuh sakit dan meninggal dengan gejala yang mencurigakan. Semula sang Sunan Mengira bahwa kematian Ratu Malang disebabkan para selir kerajaan yang cemburu padanya. Apalagi saat sakit Ratu Malang selalu memanggil nama Kiai Dalem, sehingga Sunan mengira penyakit Ratu disebabkan dari orang yang tinggal di istana. Para Dayang dicurigai telah meracuni sang ratu. Kematian sang Ratu pada tahun 1655 M, menjadikan luka bagi Sang Sunan Amangkurat. Kemudian jenazah sang Ratu dibawa ke Gunung Kelir, tetapi kuburannya tidak ditutupi karena kecintaan Sunan terhadapnya. Sehingga sunan menjaganya siang dan malam.

Kepergian raja menimbulkan perdebatan di Keraton. Keluarga dan Bupati memohon agar beliau kembali pulang. Pada suatu malam, sunan bermimpi Ratu malang menemani kembali Kiai Dalem. Setelah terbangun, jenazah Ratu Malang dilihat dan ternyata sudah tidak berbentuk manusia lagi. Akhirnya ia pun kembali ke keraton dengan marah dan memerintahkan agar ditutup liang lahat sang ratu. Setelah kejadian itu suasana menjadi tenang.

Kisah tersebut dikatakan dari riwayat Valentijn (Valentijn, Oud en Nieuw, Jil. IV), sebagai berikut :

Konon pada pemerintahan Sunan ini, salah satu istrinya bernama “Njaij Maas Maling (Malang)” bisa mendapatkan apa saja dari Raja. setelah kematian istrinya, sunan menjadi sedih hingga mengabaikan semua masalah kerajaan. Setelah pemakaman istrinya, tanpa diketahui siapapun ia kembali ke makam istrinya. Dan betapa sayangnya kepada wanita itu, sunana pun tidak dapat menahan diri sehingga ikut membaringkan dirinya di dalam kuburan. Sementara wanita lain di istana bingung dan mengatakan bahwa baginda telah hilang dan tak dapat ditemukan dimanapun. Setelah dicari kesana kemari akhirnya ditemukan di dalam kubur dekat makam istrinya yang sudah berbau busuk. Pangeran Purbaya (paman sang sunan) hampir tidak dapat mengajak sunan pergi dan kembali ke istana.

Kematian Ratu Malang menyebabkan kemarahan dalam diri sunan. Dengan alasan para selir tidak bisa mengurus sang istri ataupun mencurigai merekalah yang meracuni sang Ratu, Sunan  memerintahkan agar menahan 43 orang selirnya tanpa diberi makan ataupun minum, dan siapapun yang kelaparan dipaksa memakan orang lain yang telah mati, hingga tersisa seorang saja yang masih hidup. Dan selir yang terakhir hidup ditanya oleh Sultan mengapa dia tidak mati juga? Selir menjawab tidak tahu. Sunan memerintahkan mengubur selir malang tersebut hidup-hidup di sebelah makam permaisurinya.

Dalam buku fenomenalnya yang berjudul History of Java, Raffles juga ikut menceritakan kisah kekejaman raja yang oleh penulis barat dieja namanya sebagai AMANGKOE RAT I ini.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

2 Comments

Loading…

0

Situs Arkeologis Konyol Buruan Nazi Jerman

Danurejo IV, Kere Munggah Bale yang Tidak Tahu Balas Budi