Asal Usul Londo Ireng Atau Serdadu Hitam di Hindia Belanda

Londo Ireng Belanda Hitam Zwarte Hollanders kekunoan.com

Zwarte Hollanders alias Landa Ireng alias Belanda Hitam dibentuk pemerintah Belanda sebagai serdadu untuk tentara kolonial Hindia Timur pada awal 1800-an setelah Perang Jawa.
Khawatir pada besarnya resiko merekrut bumiputra yang memiliki reputasi culas dan tidak bisa dipercaya, pemerintah Belanda memilih merekrut dari bekas koloninya di pantai barat Afrika.

Ide ini cukup bagus mengingat hubungan persahabatan yang lama dengan Kerajaan Ashanti di wilayah itu dan orang Afrika dikenal memiliki fisik yang kuat serta lebih adaptif dengan iklim dan lingkungan tropis Hindia Belanda.

BERTEMPUR DI PERANG PADRI

Salah satu kisah menonjol tentang kiprah tentara Belanda hitam di tanah air adalah saat mereka dikirim menumpas perlawanan Imam Bonjol.

Pada dini hari 3 Desember 1836, pasukan Belanda menyerang basis kaum Padri di Kampung Bonjol.

Serangan ini melibatkan pasukan tentara Bugis dan tentara Afrika yang dijuluki orang Minangkabau sebagai ‘Neger’.
Dalam penyerangan ini, dua serdadu Neger berhasil menembus masuk kediaman Tuanku Imam Bonjol.
Serdadu Afrika yang gelap mata melukai salah satu istri Imam Bonjol, sedangkan Mahmud, anak bungsunya, bahkan tewas ditikam saat hendak menolong ibunya.

“Seorang Neger dengan kelewangnya menikam seorang istri Tuanku Imam, yang menyebabkan matinya. Seorang perempuan lagi luka pula dadanya ditusuk dengan bayonet,” tulis Muhamad Radjab dalam buku klasik Perang Padri di Sumatra Barat 1803-1838 (2019, hlm. 354).

Setelah serangan pasukan Belanda, Imam Bonjol bersama anaknya Umar Ali melancarkan serangan balik.
Namun, dalam pertempuran ini, Imam Bonjol dan Umar Ali terluka.
Beberapa tusukan bayonet melukai Imam Bonjol. Sejumlah pasukan Padri baru datang ketika sang imam sudah terluka amat parah.

“Karena sangat lelah dan sakit sesudah mendapat luka tiga belas lubang, yang darahnya terus-menerus mengalir, sakitnya makin lama bertambah tak tertahankan, Tuanku Imam terjatuh lagi, dan dipapah oleh pengikut-pengikutnya pulang ke rumah,” tulis Muhamad Radjab.

Belanda kemudian mengakui bahwa para serdadu Afrika bertindak berlebihan dan tak patuh perintah.

Perang Padri pada akhirnya dimenangkan oleh Belanda, dan Imam Bonjol diasingkan ke Ambon.

SEJARAH PEMBENTUKAN LONDO IRENG

Perekrutan awal dimulai pada tahun 1831 di Kota Elmina dan berlanjut hingga 1836.
Satuan-satuan Afrika pertama yang terbentuk dikirim ke Lampung, Jambi, hingga diikutkan dalam Perang Padri di pesisir barat tanah Minang.

Satuan serdadu Afrika memiliki posisi istimewa di lingkungan militer kolonial Hindia Belanda dan status mereka disamakan dengan serdadu Eropa sesuai dengan perjanjian dengan Kerajaan Ashanti. Mereka mendapatkan gaji yang lebih tinggi daripada tentara pribumi dan memperoleh fasilitas sama dengan prajurit Eropa, sehingga muncul julukan “Belanda Hitam”.

Satu hal yang membedakan tentara Afrika dari sekondan Eropanya adalah masa kerja.
Kontrak kerja rekrutan Afrika dari kalangan orang merdeka diperpanjang menjadi 15 tahun sejak 1837, sedangkan kalangan budak dari luar wilayah Kerajaan Ashanti tidak dibatasi.

Pada 1844, aturan diubah lagi, dan semua serdadu Afrika dikontrak untuk masa kerja 15 tahun.
Seiring dengan laporan-laporan positif para perwira Belanda atas kinerja serdadu Afrika ini, perekrutan besar-besaran dilakukan hingga 1841.
Sebagian serdadu Afrika yang habis masa kerjanya memilih tetap tinggal di Jawa dan membangun komunitas di sana.

Belanda memiliki sejarah yang panjang dengan prajurit Afrika yang dipekerjakan untuk melindungi kepentingan kolonialnya di Indonesia. Mereka dipekerjakan sebagai tentara, pengawal, dan buruh di bawah sistem kontrak yang disebut Cipayung.
Banyak prajurit Afrika ditarik ke Indonesia pada abad ke-19 untuk membantu Belanda mengendalikan pemberontakan di wilayah kolonialnya.

Meskipun sebagian besar prajurit Afrika yang dipekerjakan di Indonesia adalah mantan budak, mereka mendapatkan perlakuan yang lebih baik daripada di Pantai Gading, tempat asal mereka. Di Pantai Gading, mereka dianggap sebagai mantan budak, sementara di Indonesia, mereka memiliki status Eropa.

Namun, banyak prajurit Afrika tidak memiliki pilihan karena mereka meninggal selama masa dinas militer yang panjang.
Hanya sedikit yang benar-benar mati di medan perang, seperti orang Eropa, mayoritas meninggal karena penyakit.
Menurut tulisan Van Kessel, seorang sejarawan Belanda, Belanda harus mematuhi “janji perlakuan setara” kepada prajurit Afrika atau menanggung risiko pemberontakan.

PEMBERONTAKAN SERDADU AFRIKA PADA BELANDA

Belanda pernah menghadapi serangkaian protes dari prajurit Afrika di Indonesia, termasuk pada tahun 1938.
Awalnya, protes dimulai dari perintah menukar kasur jerami standar Eropa dengan tikar biasa dan kemudian meluas pada pengurangan gaji.

Pemberontakan serupa terjadi pada 1840 dan 1884 di Sumatra dan Jawa. Pada Juni 1841, 37 tentara Afrika bersenjata lengkap dari Batalyon Infanteri 10 kabur dari benteng Belanda Van der Capellen di pantai barat Sumatra setelah berulang kali menolak komando.
Detasemen yang dikirim untuk mengejar tidak berhasil membujuk kelompok Afrika itu untuk kembali.
Terjadilah perkelahian yang menewaskan dua orang Afrika dan empat lainnya terluka parah. Sisanya ditangkap. Pemberontakan ini dipicu oleh penggantian kasur jerami dengan tikar biasa.

Meskipun telah menunjukkan keberanian dan keterampilan dalam medan perang, orang Afrika yang tergabung dalam militer sering menghadapi diskriminasi rasial. Mereka dianggap sebagai tentara pilih tanding yang tidak pernah terlibat dalam pencurian.

Orang Afrika memiliki fisik yang kuat, mudah beradaptasi, dan memiliki kemampuan bertempur yang di atas rata-rata. Bahkan, pada tahun 1849, satuan tentara Afrika dari Batalion Infanteri 7 dianugerahi kusala tertinggi dalam ketentaraan Belanda, Militaire Willemsorde, karena kontribusinya dalam ekspedisi KNIL ke Bali.
Seorang perwira KNIL bahkan mengakui bahwa tentara Afrika lebih baik daripada prajurit Eropa.

Namun, tentara Afrika tidak luput dari prasangka rasial yang diterima dari orang Eropa dan bumiputra.
Beberapa prasangka itu timbul dari pandangan orang Afrika tentang dirinya sendiri.

Orang Afrika yang dianggap memiliki status yang sama dengan orang Belanda cenderung arogan dan meremehkan bumiputra. Mereka juga sengaja menjaga jarak dari tetangga bumiputra, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan.

Di mata bumiputra, serdadu Afrika dipandang sebagai orang yang pemarah dan kurang sopan. Sementara itu, orang Belanda tetap menganggap mereka sulit diatur dan kurang beradab.
Bahkan, Jenderal Cochius, salah satu panglima tertinggi KNIL, menganggap janji perlakuan setara sebagai kesalahan besar.

Perekrutan terakhir tentara Afrika berlangsung antara 1860 hingga 1872, dan sekitar 3.000 orang Afrika telah bekerja di KNIL dalam periode 1832-1872.
Namun, tidak ada lagi tentara Afrika totok yang berdinas di KNIL pada tahun 1915.

Meski begitu, komunitas Indo-Afrika terbentuk di kota-kota tempat garnisun KNIL berdiri, seperti di Semarang, Purworejo, Salatiga, dan Surakarta.
Komunitas ini memiliki status yang setara dengan penduduk Eropa, bahkan berasimilasi dengan populasi Indo-Eropa.

Kebanyakan dari mereka menjadi pemeluk Katolik, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa ibu, dan anak-anak mereka bersekolah di sekolah Belanda.

Pada akhir pemerintahan kolonial pada tahun 1949, keturunan Indo-Afrika masih menjadi bagian dari KNIL.
Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, kebanyakan dari mereka pindah ke Belanda bersama dengan eksodus besar-besaran orang Belanda dan Indo-Eropa.

Label “Belanda Hitam” yang sebelumnya menunjukkan status istimewa dalam masyarakat kolonial sekarang menjadi istilah pelecehan karena para nasionalis Indonesia menganggap Indo-Afrika sebagai kolaborator kolonialis Belanda.

Sejarah prajurit Afrika di Indonesia adalah cerita yang sering terlupakan tentang sejarah kolonial.

Kehidupan dan pengalaman mereka menawarkan wawasan yang unik tentang warna kekuasaan kolonial dan bagaimana orang kulit hitam diperlakukan oleh kekuatan kolonial di seluruh dunia.

 
(GAN)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
kekunoan.com

Tuwan Kolem atau Sunan Kulon, Mesias Kecil Tepi Hutan

aerial view kawasan Rampal Malang tempo dulu kekunoandotkom

Viaduk Klojen Lor (Klodjen Lorstraat), Malang 1940