Bung Besar yang Berseru Jasmerah Juga Pernah Lupa Sejarah

 

Walikota Jakarta Henk Ngantung dan sederet petinggi pemerintahan kala itu terkaget-kaget mendengar permintaan Bung Karno. Rumah bekas tempat tinggalnya di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, tempat dilaksanakannya upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dimintanya dibongkar.

Sungguh sebuah permintaan yang sulit dipercaya keluar dari mulut Bung Karno sendiri. Beliau adalah sosok cerdas yang suka melahap buku apa saja. Ia sudah tentu sadar betul bahwa permintaannya itu bersifat ahistoris dan jauh dari citra tindak-tanduk seorang cendikia yang berbudaya.

Keberatan Henk Ngantung di jawab Bung Karno dengan mengatakan “Apakah kamu akan memamerkan celana dalamku disitu?”

Tidak jelas mengapa Soekarno menjawab demikian. Yang jelas, “Rumah proklamasi” itu jadi dibongkar tahun 1964 untuk dibangun Gedung Pola. Masa itu Soekarno tepat berada di puncak kekuasaannya. Ia adalah Pemimpin Besar revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Paduka Yang Mulia Tuan Presiden Seumur Hidup, sehingga kata-katanya hampir pasti selalu terwujud.

Rumah bersejarah itu sendiri konon kabarnya dahulu adalah milik seorang keturunan Arab bernama Faradj bin Said Awad Martak.

Sekira tahun 1943, Soekarno baru saja mendarat di Jakarta sepulang dari pembuangannya di Bengkulu. Jepang mendekatinya dengan maksud untuk menunjuknya sebagai pemimpin PUTERA. Staf tentara Jepang yang bernama Hitoshi Shimizu meminta tolong pada seorang pemuda bernama Chaerul Basri agar mencarikan rumah dengan pekarangan yang luas untuk Bung Karno. Permintaan tersebut bertujuan agar Bung Karno dapat menampung rakyat yang hendak berkomunikasi dengannya.

Sore itu juga Chaerul Basri berboncengan dengan sahabatnya Adel Sofyan melakukan observasi di wilayah Menteng dan paginya melaporkan keberadaan salah satu rumah yang sesuai dengan kriteria yang dimaksud pada. Basri dan Adel Sofyan mendatangi rumah yang diincar yang masih ditempati seorang perempuan Belanda dan menyampaikan maksud kedatangan mereka. Suami nyonya rumah ini baru saja di tahan tentara Jepang. Permintaan tersebut tentu saja ditolak empunya rumah sambil marah-marah meskipun dijanjikan hendak di tukar dengan rumah yang lebih besar.

Mendengarkan saran Basri, Hitoshi memerintahkan pengosongan atas nama tentara Jepang sehingga nyonya rumah akhirnya takut dan bersedia tukar pindah ke sebuah rumah bertingkat di Jl. Lembang.

Begitulah awal mula cerita Bung Karno dan keluarganya, yang terdiri atas Bu Inggit, anak angkatnya Kartika dan pembantu pribadinya Riwu Ga, mulai menghuni rumah Pegangsaan Timur 56.

Awam sulit memahami jalan pikiran Bung besar terhadap keputusannya meratakan situs tersebut, sampai sejarawan Dr.dr.Rushdy Hoesain memberi jawaban spekulatif berdasarkan pengetahuannya. Dr. dr Rushdy Hoesain telah menghabiskan hampir 30 tahun melakukan riset tentang pembangunan kembali situs bersejarah “Rumah Proklamasi” Pegangsaan Timur.

Yang dimaksud Bung Karno dengan celana dalam tersebut besar kemungkinan adalah satu episode kegetiran hidup Bung Karno saat menempati rumah itu.

Selama menjalani pembuangan ke Ende, Flores sejak tahun 1933 hingga diasingkan lagi ke Bengkulu mulai tahun 1938 Inggit Ganarsih lah yang dengan setia selalu menyertainya.

Inggit adalah ibu kos tempat Soekarno tinggal semasa kuliah di Bandung. Soekarno masih berusia 21 tahun saat melanjutkan kuliahnya ke kota kembang selepas lulus dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Saat itu Soekarno sudah memiliki istri bernama Siti Oetari yang merupakan putri bapak kosnya di Surabaya yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Inggit Ganarsih pun juga adalah masih istri dari seorang pengusaha bernama Haji Sanusi.

Akhirnya Soekarno memulangkan Oetari pada ayahnya dan Inggit pun berpisah dengan Sanusi.

Rentang perbedaan usia 13 tahun antara Soekarno yang lebih muda dan Inggit tidak menjadi penghalang kisah asmara mereka. Keduanya lantas menikah dirumah orang tua Inggit di Bandung.

Inggit Ganarsih adalah pendamping yang sangat setia menyertai tiap jengkal kehidupan Soekarno. Inggitlah yang menemani dalam episode paling penting kehidupan seorang Soekarno dengan berbagai dinamikanya saat berproses menuju kedewasaan.

Ketika dijebloskan Belanda ke penjara Banceuy Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin, Inggitlah yang rajin menjenguk Soekarno sambil menyogok penjaga agar memberikan surat kabar untuk Soekarno. Ia juga menjadi pengantar pesan suaminya pada para aktivis pergerakan lain di luar jeruji besi lewat kertas lintingan rokok. Kala itu Inggit menjaga asap dapurnya tetap mengepul dengan menjual rokok buatan sendiri. Rokok yang berisi pesan-pesan rahasia pada para relasi pergerakan nasional ditandai dengan ikatan benang merah.

Yang lebih heroik bila Soekarno membutuhkan buku, Inggit harus berpuasa dulu selama beberapa hari supaya buku-buku itu bisa diselipkan diperutnya dan diselundupkan ke penjara dengan hati-hati agar tidak ketahuan penjaga. Luar biasa.

Kartika (kini 90 tahun usia), anak angkat Bung Karno dan Bu Inggit menceritakan pengalamannya pada suatu malam saat masih tinggal di rumah Jl. Pegangsaan Timur No.56. “Saya sudah terlelap tidur saat tiba-tiba kami dibangunkan. Ada Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta dan Kyai Mas Mansyur. Saya kaget ketika ditanyai mau pilih ikut siapa, bapak atau ibu. Saya baru menyadari maksudnya bahwa Bung Karno dan Bu Inggit mau bercerai.”

Riwu Ga, pembantu pribadi Bung Karno yang dibawanya kemana-mana setelah bebas dari pembuangan di Ende, juga dipanggil malam itu.

“Setelah Kartika, saya lalu dipanggil masuk. KH Mas Mansyur bertanya pada saya, “Riwu, kamu mau ikut siapa, Bapak atau Ibu?

Saya tertegun menunduk. Bibir saya berat. Bung Karno dan Ibu Inggit sama-sama menyayangi saya. Saya pun begitu, menyayangi keduanya. Tidak. Saya harus memilih salah satu, inilah pilihan yang paling sulit seumur hidup saya. Tiba-tiba muncul sebuah pikiran, entah itu dari mana, andaikan saya ikut ibu, siapa yang menjaga Bung Karno? Dia orang penting bagi bangsa ini yang perlu dijaga. Tapi saya tak mampu mengucapkannya sampai KH Mas Mansyur mengulangi pertanyaannya.

Saya mengangkat muka, memandang kiai itu lurus-lurus. Lalu, dengan berat hati saya katakan: “saya iku bapak saja.” Sungguh, saya tak berani memandang mata Ibu Inggit. Takut, ia menyangka saya lebih sayang pada Bung Karno. Tapi rupanya Ibu Ingit mengerti perasaan saya.

“Riwu,” kata Bu Inggit, “Jaga bapak baik-baik. Tapi kalau sempat, datang-datang menengok saya di Bandung ya,” pesannya. Hati saya hancur. Perempuan sejati itu lalu berpaling kepada Bung Karno lalu berkata, “ Izinkan Riwu ke Bandung kalau dia ingin menjenguk saya. Juga kalau suatu saat saya butuh dia.”

Itulah saat terakhir kami berkumpul. Saya tak dapat menahan air mata. Tak terasa kenanganku melayang jauh. Jauh ke Ende saat-saat rumah tangga ini bahagia, jauh ke belantara Sumatra ketika bersama kami melintasi hutan yang penuh binatang buas itu, jauh ke atas perahu yang membawa kami mengarungi laut yang bergelora sampai ke Jakarta sini. Sampai ke rumah Pegangsaan ini. Kini, ternyata, semua itu saya lalui untuk menyaksikan suatu perpisahan yang menyakitkan begini”.

Suatu hari pada tahun 1960, Presiden Republik Indonesia yang pertama mendatangi rumah Inggit di Bandung untuk meminta maaf karena pernah melukai hati mantan istrinya itu.

“Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini,” begitu ucap Inggit Garnasih kepada Kusno, mantan suaminya yang dulu mengaguminya itu.

Barangkali setelah dari Bandung itulah Bung Karno terus dibayangi memori indah bersama Inggit dulu dan bermaksud melupakannya dengan menyuruh bongkar rumah tersebut.

Soekarno lupa bahwa rumah itu juga terlanjur menjadi rumah kenangan milik seluruh rakyat Indonesia.

Inggit tutup mata pada tanggal 13 April 1984, setelah sebelumnya sempat menangis di samping jasad Sukarno di Wisma Yaso Juni 1970. Ia mendekatkan diri disamping peti mati sambil berucap dalam bahasa Sunda; “Kus, kiranya Kus mendahului, Inggit doakan…,” sampai di sini, kata-kata Inggit terhenti tak kuasa menahan kepedihan atas kepergian lelaki yang sangat dicintainya itu.

 

Kisah di atas disadur dari artikel wartawan senior Peter A Rohi untuk media online Koran Sulindo yang berjudul ‘Rumah Proklamasi dan Celana Dalam Bung Karno’, dengan penambahan dan pengembangan seperlunya bagi komsumsi pembaca Kekunoan.

 

(Diolah dari berbagai sumber: koransulindo.com/rumah-proklamasi-dan-celana-dalam-bung-karno/, pinterest.com, intisari.grid.com)

Gambar sampul: Jln Pegangsaan Timur No 56 thn 1946, LIFE,  twitter.com/tukangpulas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Perburuan Pangeran Pembangkang Singasari Menyasar Hingga ke Malang

Dubes Portugis Ikut Menjadi Saksi Akhir Kejayaan Majapahit