Awalnya adalah penemuan prasasti batu besar yang terputus menjadi tiga bagian di desa Dinoyo. Prasasti diduga asli berasal dari tempat ini (in situ) sampai ditemukan pecahan bagian atas dan bawahnya di desa Merjosari, yang berada diantara desa Dinoyo dan dukuh Kejuron desa Karangbesuki.
Nama dukuh terakhir ini secara toponomis sesuai dengan isi prasasti yang menceritakan tentang raja Kanjuruhan bernama Gajayana yang membangun sebuah bangunan suci untuk memuja Agastya dan mengganti arca lama berbahan kayu cendana yang rusak, dengan arca serupa yang indah dari batu hitam.

De casparis menduga prasasti ini berasal dari Kejuron (Kanjuruhan) kemudian dipindah ke Dinoyo.
Di utara Kejuron terdapat candi yang ciri arsitekturnya sangat tua, yakni candi Badut, sehingga bangunan suci yang dimaksud tersebut diduga tidak lain adalah candi Badut. Dugaan kedua yang kurang populer adalah candi Gasek yang terletak hanya 600 meter dari candi Badut yang bekas-bekasnya kini berada dalam kompleks pemakaman umum.
Purna bangun candi Badut ( atau barangkali candi Gasek) inilah yang diabadikan di dalam prasasti Dinoyo I bertarikh 682 Saka atau 760 Masehi.
Pada lembah barat kali Metro abad VI telah terdapat candi pemujaan Maha Rsi Agastya (Agastyapuja) yang bisa jadi masih kecil dan bersahaja. Sesuai peruntukannya, pada bangunan suci ini hanya terdapat arca Agastya berbahan kayu cendana. Kayu cendana selain baunya harum, juga diyakini merupakan media yang dapat mendekatkan orang pada dewata.
Prasasti Kanjuruhan memuat silsilah tiga raja secara berurutan, yakni Dewasimha, Gajayana, dan Uttejana.
Raja Dewasimha merupakan penguasa lokal yang pertama bersentuhan dengan pengaruh budaya Hindu dari India selatan. Bagi warga India selatan dan tengah, Agastya adalah ‘the culture hero’ yang berperan besar melakukan syiar agama Hindu ke bagian selatan dan tengah India, Asia tenggara, bahkan hingga ke seberang, termasuk ke nusantara. Pengaruh India selatan terlihat jelas dari penggunaan tarikh Saka dan aksara Jawa kuno yang merupakan adaptasi aksara Pallawa dari India selatan. Sistem pemerintahan arkhais di nusantara yang berupa “nagara” atau “karajyan (kerajaan)” adalah juga buah pengaruh pemerintahan dari Jambudwipa (India).
Raja Gajayana mengganti arca Agastya yang dibuat pada pemerintahan ayahnya (Dewasimha) yang telah rusak dengan arca serupa berbahan batu hitam (andesit). Lebih jauh lagi, Gajayana juga merevitalisasi bangunan suci menjadi lebih luas dan besar, tidak lagi sebagai Agastya puja semata melainkan sebagai tempat peribadatan (dewagrha) Hindu sekte Siwa. Dalam sekte ini selain Agastya terdapat juga pantheon Hindu lainnya yakni arca dewa utama (istadewata) Siwa Mahadewa yang bisa digantikan dengan lingga-yoni di dalam bilik utama (garbagrha), Siwa mahakala dan Nandiwara pada relung muka, Durga mahisuramardhini pada bilik utara, serta Ganesha pada relung belakang. Hindu-Siwa adalah salah satu sekte Hinduisme yang dominan dalam sejarah nusantara abad awal hingga abad XVI.
Bersamaan itu, dibangunlah asrama (srama) yang besar dan permai bagi para peziarah, perangkat pensucian diri, tempat pemujaan kepada api dan persembahan caru, serta disediakan pula berbagai perlengkapan untuk para pertapa, sthapaka dan pendeta yang faham akan kitab-kitab Weddha yang berupa padi jelai, tempat tidur, pakaian, sapi yang gemuk-gemuk dan sejumlah kerbau, sebidang tanah, maupun budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaganya.
Wilayah di sekitar candi dengan sendirinya ikut berkembang pesat karena menjadi tempat berkumpulnya aktifitas manusia. Para pertapa datang silih berganti, para pendeta/ brahmana berkewajiban memastikan jalannya upacara pemujaan, serta budak atau hamba yang tinggal tidak jauh karena bertugas menjaga bangunan suci.

Bangunan suci biasanya memiliki tanah perdikan/ sima yang biasanya berupa sawah, ladang, kebun, pagagan, taman, padang rumput, bukit dan lembah, rawa-rawa atau tepian. Sebuah sīma tidaklah benar-benar bebas sama sekali dari pungutan. Pada tanah berstatus biasa, pungutan pajak masuk ke kas perbendaharaan negara, sedangkan pungutan tanah sima dimanfaatkan untuk biaya berbagai pelaksanaan upacara pemujaan terhadap bhaṭāra termasuk untuk saji-sajian yang dipersembahkan dan untuk keperluan pemeliharaan bangunan suci atau candi.
Candi juga rutin menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan harian, sekali sebulan, dua kali setahun atau setahun sekali. Dibutuhkan semacam organisasi kemasyarakatan atau reliji untuk menjalankan aktifitas besar tersebut.
Setelah Gajayana mangkat, Uttejana memegang tampuk pimpinan menggantikan ayahnya.
Di sinilah periode gelap kerajaan Kanjuruhan dimulai akibat belum ditemukannya catatan tentang raja-raja selanjutnya. Diperkirakan terdapat dua atau tiga raja di bawahnya sebelum diketahui bahwa Mataram kuno telah melebarkan wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan lainnya termasuk yang ada di Jawa bagian timur.
Tidak ada data apakah telah terjadi penaklukan kerajaan Kanjuruhan oleh Mataram kuno yang berpusat di Jawa tengah baik melalui peperangan maupun diplomasi karena tiba-tiba saja terdapat indikasi kerajaan Kanjuruhan kini mengalami degradasi dan turun statusnya menjadi watak yang dipimpin oleh seorang rakryan. Watak kira-kira mirip kabupaten jaman sekarang yang membawahi wanua-wanua (desa).
Prasasti Kubu kubu (905 Masehi) menyebutkan adanya 2 watak yakni Kanuruhan di sub-area barat kota Malang pada lembah antara Metro-Brantas, dan watak Hujung di Malang utara (kini masih ada desa bernama Ngujung di daerah Singosari sekarang).
Saat Mataram di bawah pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di kompleks candi Prambanan yang ditempatkan pada deretan sebelah timur di sudut tenggara. Ini merupakan suatu kebiasaan raja-raja daerah kepada pemerintah pusat agar hubungan antar kerajaan pusat dan daerah selalu terjalin.
Candi badut ditemukan kembali dalam bentuk gundukan tanah di tengah sawah yang ditumbuhi pohon beringin besar oleh kontrolir berkebangsaan Belanda dari Kantor Pamong Praja di Malang bernama Maureen Brecher tahun 1921. Jawatan Purbakala Hindia Belanda membangun kembali reruntuhan tersebut tahun 1925-1927 dibawah pengawasan Dr. F.D.K BoschB. dan de Haan. Terakhir, pemugaran dilakukan oleh Suaka Purbakala Jawa Timur di tahun 1992-1993.
Dilihat dari namanya, yakni Bha-dyut, yang artinya ‘sorot bintang Canopus’ atau sorot Agastya, candi ini bersifat Siwaistik dengan mendudukkan Dewa Siwa yang dipuja sebagai Agastya atau Bhatara Guru. Dari semua pantheon Hindu yang disebutkan sebelumnya, hanya arca Durga Mahisasuramardhini di dinding luar dan lingga-yoni (perwujudan Siwa dan Parwati) pada ruangan induk saja yang kini masih tersisa.
Ukiran makhluk surga berbadan burung berkepala manusia yang tugasnya memainkan musik surgawi yang disebut kinara kinari menghiasi pipi tangga. Pola bunga menghiasi samping relung-relung candi. Atap candi tidak pernah berhasil disusun kembali karena sudah runtuh total. Di depan pintu masuk terdapat tiga candi perwara kecil, sedangkan dua batu berbentuk kubus dengan sebuah lubang persegi empat terdapat di halaman sebelah utara dan selatan candi.
Menurut W.J. van der Meulen, Gajayana bersama putrinya Uttejana yang kelak menggantikannya, menyeberang ke aliran Siwa. Namun putra-putra lain dan handai taulan seisi istananya menolak ikut.
Prasasti Dinoyo dibuat oleh Anana, cucu Gajayana, pada tahun 760 ketika Gajayana sudah mangkat. Itu sebabnya, yang lebih masuk akal menyeberang ke aliran Siwa adalah Anana dan ibunya (Uttejana), karena sangat mungkin suami Uttejana penganut aliran Siwa.
Hanya rakyat dan para brahmana Siwa yang datang menghadiri upacara. Inilah sebab mengapa pada kedua seloka terakhir prasasti Dinoyo I terdapat ancaman-ancaman ekslusif yang mengagetkan pada siapa saja yang menentang keputusan raja, terkhusus diarahkan pada keluarga raja.
Bunyi ancaman pada prasasti lazimnya dialamatkan “……… kepada siapa yang memberanikan diri menentang keputusan raja akan mendapat kutukan…….”
Namun pada prasasti Dinoyo I, taklimat yang terbaca adalah: “………Apabila sanak keluarga, para putra raja dan para perdana menteri bermaksud merintangi gagasan raja ini, maka mereka akan cacat karena berada di jalan yang sesat dan penuh dosa, mereka akan terjerumus ke dalam neraka dan baik di sini maupun di akhirat mereka tidak akan menginjakkan kaki di jalan pembebasan. Jika keturunan raja dalam hal meningkatkan gagasan itu dihalang-halangi, semogalah pikiran-pikiran suci bersih, pernyataan-pernyataan hormat, hadiah-hadiah dan perbuatan baik, kurban-kurban, pelajaran Weda dan perbuatan-perbuatan baik lainnya melindungi kerajaan…..” Demikian bunyi perintah raja.
Situs Kanjuruhan yang mencakup wilayah Karang Dinoyo (Dyanayana), Karang Besuki (Vasuki), Merjosari (Amrthajayasri) dan Mertojoyo (Amrthajaya) menunjuk pada nama-nama bersifat Waisnawa. Dengan demikian, penempatan Candi Badut di kawasan ini menunjukkan bukti bahwa kala itu tengah terjadi persaingan dahsyat antara aliran Waisnama dengan aliran Siwa.
Kembali pada upaya yang dilakukan oleh Gajayana dalam merevitalisasi candi Badut, sejarawan Dwi Cahyono berpendapat bahwa sembahbakti keturunan kepada leluhur dalam bentuk bina ulang bangunan suci telah lazim dilaksanakan oleh penguasa dari masa lalu. Beliau membandingkan upaya ini dengan bhakti Sri Isana atau Pu Sindok pada mertuanya, yakni raja Wawa yang merupakan ayahanda permaisuri Sindok bernama Ariparameswari Dhyah Kbi dengan memperbaiki patirtan-patirtan di lereng gunung Penanggungan.
SelainPu Sindok, Pramodhawardani juga memugar Borobudur yang pembangunannya diawali oleh ayahnya, Samaratungga.
Jangan dilewatkan tentu saja upaya kolosal Hayam Wuruk membina ulang tidak kurang dari 27 candi dari masa pendahulunya yang tersebar di seantero negri Majapahit.
(Sumber: ngalam.id, patembayancitralekha.com)
GIPHY App Key not set. Please check settings