Hampir Lupa Sima Karuman dekat Dyanayana Dulu Pernah Ada

ilustrasi pusat peradaban kuno masa hindu buddha kekunoan.com

Kaaruman atau karumruman dalam bahasa Jawa Kuno bermakna keharuman, keindahan, kecantikan, keluwesan, kehalusan atau wilayah yang indah. Dari kata inilah kampung Karuman yang terletak di kelurahan Tlogomas kecamatan Lowokwaru, Dinoyo Malang berasal.

Pada masa Hindu-Buddha, desa Karuman mungkin terletak di daerah strategis di pinggiran pusat pemerintahan watak kanjuruhan.

Bagaimana kita bisa tahu? Kitab Pararaton memberi kisah ini:

“Ada seorang penjudi permainan saji (babotoh saji) berasal dari Karuman bernama Bango Samparan. Kalah bertaruh (atotohan) dengan bandar judi (malandang) di Karuman… Bango Samparan itu pergi dari Karuman, …”.

Ayah angkat ke dua Ken Angrok yang bernama Bango Samparan dari Karuman adalah penjudi. Ken Angrok remaja  sering dibawa ke arena perjudian. Seperti halnya jaman sekarang, daerah pinggiran kota sering diwarnai oleh patologi sosial negatif seperti daerah perjudian.

Disamping itu, Karuman terletak tidak jauh dari beberapa tempat yang masih dapat ditelisik asal muasalnya secara toponimis, yaitu Karang Besuki (Vasuki), Mertojoyosari (Amrthajayasri), dukuh Candri (Candrika) dan tentu saja Dinoyo (Dyanayana). Daerah-daerah tersebut merupakan pemukiman yang ramai sejak masa kuno sehingga terdapat beragam tinggalan arkeologis yang tumpang tindih karena berasal dari beberapa masa. Wilayah tersebut kini sayangnya telah menjadi wilayah padat hunian sehingga melumat kebanyakan tinggalan yang tersisa.

Nama Tlogo Mas sendiri diduga terbentuk sekira tahun 1930-an ketika masyarakat sering menemukan benda-benda dari emas di sekitar telaga (kini tandon air PDAM Tlogo Mas) yang sering disebut emas Budho. Pada jaman Belanda desa ini bernama Guyangan yang masuk dalam Disctrict Dau Afdeling Malang sesuai dengan Staatblad No. 16 tahun 1819. Baru pada peta Bosch tahun 1923/ 1924 yang menggambarkan daerah Dinoyo-Merjosari, muncul nama Tlogo Mas.

Selanjutnya Pararaton juga menyatakan:

”Bango Samparan ….  berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa. disuruh pulang ke Karuman lagi: Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu, ia bernama Ken angrok….. Dia itu (Bango Samparan) lalu ke tempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan, dilawan berjudi (dan) kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan. Memang betul petunjuk Hyang itu,…….” (Padmapuspita,1966:49).

Bagi Bango Samparan, Angrok seperti jimat yang sering membawa keberuntungan dengan kemenangan di atas meja judi.

Bagian lain Pararaton yang mengisahkan perjumpaan Bango Samparan dengan Ken Angrok adalah sebagai berikut :

“…. sungguh itu Ken Angrok, dibawa pulang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan”.

 

Baca Jejak Petualangan Ken Angrok di seputaran Malang Raya

 

Teks lain menceritakan Ken Angrok tidak sehati dengan anak-anak Bango Samparan, sehingga tinggalkan Karuman :

“….. Lama ia berada di Karuman, tak dapat sehati dengan dengan semua para Panji itu, Ken angrok berkehendak pergi dari Karuman”.

Beberapa kutipan di atas menunjukkan hubungan Bango Samparan dan Ken Angrok sebagai ayah angkat dan anak. Pararaton mengkisahkan, setelah dibuang oleh ibunya, yakni Ni Ndok, di area pemakaman bayi (pabajangan) pada tengah malam, bayi Ken Angrok yang memancarkan sinar terang (prabha) ditemukan kemudian dijadikan anak angkat oleh seorang pencuri bernama Lembong hingga usia remaja kecil.

Selepas dari pengasuhan Lembong, Angrok jatuh pada pengasuhan penjudi asal Karuman bernama Bango Samparan. Angrok tinggal beberapa saat bersama keluarga Bango Samparan sampai muncul ketidakcocokkan antara dirinya dengan anak-anak kandung Bango Samparan. Selanjutnya Angrok pergi ke arah Sagenggeng (kini wilayah Pakisaji) dan bertemu dengan putra buyut Sagenggeng bernama Tu[h]an Tita.

Walaupun telah meninggalkan rumah Bango Samparan hingga waktu lama, nampaknya hubungan antara Angrok dan Bango Samparan tidak terputus total. Angrok masih memposisikannya sebagai ayah angkat. Hal itu terbukti, ketika Angrok telah dewasa dan menjadi punggawa Akuwu Tunggul Ametung, ia sempat kembali ke kediaman Bango Samparan.

Terkait itu, Pararaton menyatakan bahwa Ken Angrok menemui ayah angkatnya untuk menanyakan makna prabharahsya dari Ken Dedes dan meminta tolong untuk dicarikan pandai keris yang handal untuk membunuh Sang Akuwu, agar dapat menjadikan istrinya sebagai strijarahan (istri rampasan) :

 “……… Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya di Karuman, bertemu dengan Bango Samparan” (Padmapuspita, 1966:13, 18, 49-5059).

Atas petunjuk Bango Samparan, Angrok pergi menemui Pu Gandring, yang adalah sahabat ayah angkatnya.

Hubungan diantara mereka tetap tidak sirna meski nantinya Angrok berhasil naik tahta di Tumpel, dengan nama gelar (abhisekanama) Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Angrok tidak melupakan jasa-jasa Bango Samparan, baik sebagai ayah angkat ataupun pemberi petunjuk pada Pu Gandring. Atas jasanya itu, ia menganugerahkan tanah sima (perdikan) di Karuman beserta bangunan suci berlatar agama Hindu sekte Siwa. Peninggalan arkeologis yang berupa watu sima dan sejumlah arca maupun reruntuhan candi di Situs Karuman memberi petunjuk tentang itu.

 

Baca juga artikel tentang pararaton dalam Menaruh syak pada hasil penelitian si bapak historiografi Jawa.

 

Tinggalan purbakala berada di dua tempat: (1) di sekitar areal cungkup makam Mbah Aruman, (2) reruntuhan candi, yang oleh warga sekitarnya dinamai ”Punden Karuman”. Selain itu terdapat mulut arung, pada jarak ± 100 m di utara reruntuhan candi, pada lembah sisi selatan Brantas . Tiga artefak di areal makam Mbah Aruman yang berupa makam Islam, lengkap dengan nisan dan jiratnya, kiranya dahulu dipindahkan dari reruntuhan candi tersebut.

Peninggalan arkeologis Masa Hindu-Buddha di areal makam Mbah Aruman berada di sudut utara-barat (belakang), sejumlah tiga buah, yaitu:

Arca Durga Mahisasuramardhini yang hilang bagian atasnya. (Sumber: patembayancitralekha)
  • Arca Durga Mahisasuramardhini, kini dalam keadaan pecah, sehingga mulai bagian pusar hingga kepalanya telah tidak diketemukan. Kendati demikian, terang bahwa fragemen arca ini adalah Dewi Durga, yang ditandai dengan adanya pahatan berbentuk Mahisa dan Asura. Dewi Durga digambarkan berhasil membunuh Asura, yang antara lain menjelma menjadi Mahisa (kerbau).
Fragmen arca dalam posisi duduk padmasana, yang juga hilang kepalanya. (Sumber: patembayancitralekha)
  • Fragmen arca kemungkinan Siwa Mahadewa dalam posisi duduk di atas singgasana berbentuk bunga teratai merah merekah/ padmasana, yang juga pecah bagian kepalanya. Bertangan empat (caturbhyuja), sikap tangan bagian depan dhyanamudra. Singgasananya berbentuk bunga teratai merah merekah (padmasana). Siwa Mahadewa pada candi Hindu sekte Siwa ditempatkan di bilik utama (garbhagraha). Detail pahatannya memperlihatkan pengaruh kesenian Singhasari. Menilik gaya seninya, bisa jadi dibuat pada masa Singhasari.
Batu silindris arca nandi tanpa kepala (Sumber: patembayancitralekha) kekunoan.com
Batu silindris arca nandi tanpa kepala (Sumber: patembayancitralekha)
  • Batu sima berbangun silindris yang menjadi tanda bahwa Karuman adalah desa sima. Setelah menjadi raja, Ken Angrok tak lupakan jasa ayah angkatnya, yakni Bango Samparan asal Karuman. Bukan hanya menetapkan desanya sebagai sima, namun juga membangunkan candi buatnya.

Pada situs reruntuhan candi didapati sejumlah tinggalan arkeologis, antara lain:

(1) sebuah Yoni tanpa Lingga dengan cerat pecah

(2) arca Nandi dengan kepala patah

(3) empat buah Lingga berbeda ukuran

(4) ambang pintu candi (dorpel)

(5) balok-balok batu dan bata.

Detail yang bisa dicermati hanyalah Arca Nandi – dalam mitologi Hindu adalah wahana Dewa Siwa, yang memperlihatkan pengaruh gaya kesenian Phalla, sehingga dapat dimasukkan ke dalam masa Singhasari. Hal lain yang perlu dicermati adalah ambang pintu (dorpel), yang merupakan bagian dari pintu menuju bilik utama candi (garbhagraha). Dengan demikian, pada situs ini semula terdapat candi yang berlatar agama Hindu sekte Siwa, yang sangat mungkin berasal dari masa Singhasari.

Selain itu, di situs ini juga pernah terdapat beberapa buah pancuran air (jaladwara) dari batu andesit, yang semuanya telah hilang. Ada kemungkinan jaladwara ini awalnya berada  di sekitar arung, yang konon difungsikan sebagai pancuran air di sebuah patirthan. Pada halaman rumah warga pernah ditemukan sebuah Yoni berukuran kecil. Selain itu, menurut informasi, ketika warga yang tinggal di sekitar kawasan situs sedang  menggali tanah, mendapatkan bata-bata kuno. Hal ini memberi petunjuk bahwa area Candi Karuman ini cukup luas. Bisa jadi juga,  bata-bata itu merupakan bagian dari rumah tinggal dari pemukiman  kuno di Karuman yang sengaja memilih lokasi tinggal di dekat aliran Kali Brantas agar tidak jauh dari lokasi arung.

Demikianlah, sejak masa awal Singhasari, Desa Karuman telah menyandang status sebagai desa perdikan, sebagai anugerah/ waranugraha Angrok terhadap ayah angkat-nya si Bango Samparan.

Kini kisah kesejarahan Karuman sebagai desa Sima tempat tinggal dari Bango Samparan telah banyak dilupakan orang, bahkan oleh warga Karuman sendiri. Warga hanya mengenal babakan selanjutnya, yakni kisah Joko Aruman, tokoh yang dianggap berperan besar membuka wilayah ini di masa Mataram Islam sekira abad XVII. (Nimas)

 

(Sumber: Patembayancitralekha.com – Dwi Cahyono. Ilustrasi sampul: Pusat peradaban Angkor-Sumber: pinterest)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
kertanegara tewas diserang jayakatwang kekunoan.com

Akibat Keburu Tewas Sebelum Upacara Tuntas, Singhasari Tumpas

Pembangunan candi kekunoan.com

Museum Panorama Angkor Bikin Belajar Sejarah Tambah Asyik