Iringan Kereta Hayam Wuruk Bisa Mencapai 5 Km Panjangnya

ilustrasi ksatria jawa kuno berburu babi hutan karya Estu Pramono kekunoan.com

Pagi itu, sebuah kegaduhan yang luar biasa terjadi di tanah lapang luas di Kapulungan (kini daerah Kepulungan Pasuruan).  Desa ini terbilang selalu ramai karena dekat dengan perempatan utama menuju ke segala arah. Trowulan berada tidak terlalu jauh ke barat, ke utara menuju Hujung Galuh, ke timur ke arah Lamajang dan di selatan ada Singhasari. Tapi pagi itu lain dari biasanya.

Suara derit roda kereta dan pecut sais memenuhi udara. Derap kaki kuda berselang-seling dengan dentum hentakan kaki gajah ke tanah. Bising orang berteriak bersahut-sahutan dengan lenguhan sapi. Sesekali angin bertiup kencang menggoyang hijau dedaunan di dahan pohon, berbaur dengan lambaian panji dan umbul-umbul beraneka warna.

Beberapa hari belakangan secara bertahap telah berdatangan kereta-kereta yang ditarik lembu jantan, gajah-gajah kerajaan, dan orang berpakaian warna-warni, kebanyakan dari arah ibu kota. Ini adalah tahun 1359 M, dimana dilukiskan dalam Negarakretagama Pupuh XVII dan XVIII, raja mengawali kegiatan yang pernah dilakukan sebelumnya, yakni ‘blusukan’ melihat langsung kehidupan rakyat jelata di wilayah-wilayah yang jauh dari pemerintah pusat.

Karena bukan kali yang pertama, Gajah Mada tahu betul apa yang harus dipersiapkan guna menyukseskan hajatan besar kerajaan ini. Bukan perkara mudah, namun salah satu kelebihan Gajah Mada sejak muda memang terletak pada kemampuan manajerialnya. Ia seorang organisator ulung.

Ia rampung menyusun itenerary yang mencakup daftar destinasi, jadwal per hari, tempat-tempat untuk menginap, mengatur makan dan minum bagi para peserta berikut hewan-hewan penariknya. Semua harus jelas sebab bila tidak dipersiapkan lebih dahulu, maka seluruh persediaan makanan yang ada didesa tempat menginap rombongan pastilah akan habis dimakan oleh anggota rombongan saja.

Waktu keberangkatan yang paling tepat juga telah ditetapkan, yakni setelah musim hujan berakhir sehingga jalanan sudah tidak lagi becek sementara sungai-sungai juga banyak yang kering atau surut airnya sehingga mudah diseberangi.

Sebagai ketua panitia, Gajah Mada duduk paling depan didampingi oleh pendeta utama kerajaan bernama Arya Mahadhikara yang pandai membaca gejala alam. Ia bertugas menentukan kapan dan di mana baiknya iring-iringan harus berhenti. Rombongan sang mahapatih adalah yang terbesar dengan jumlah kereta mencapai 400 buah. Panji-panji yang dikibarkan bergambar bunga Pulutan putih (Urena Lobata). Bunga ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Dewa Gana, yaitu dewa diantara para gajah. Pilihan yang tepat, sesuai dengan nama pemiliknya.

Tanda dan warna yang mengilhami panji kebesaran sebuah kelompok tidaklah asal pilih karena merupakan suatu simbol yang berhubungan erat dengan alam semesta kosmos. Karena manusia adalah bagian dari kosmos, tentu saja panji-panji tersebut turut mempengaruhi kehidupan manusia.

Selain memuat orang, kereta yang demikian banyak ini rencananya juga dipergunakan untuk memuat upeti atau persembahan berupa hasil bumi yang bersifat in-natura (barang sesungguhnya/ bukan yang dinilai dengan uang) dari pejabat-pejabat yang ketiban sampur mendapat kunjungan raja. Para adipati memang selalu hadir menghadap ke ibukota bila diundang raja. Terlebih dalam upacara-upacara kenegaraan,  mereka datang menghadap sebagai tolok ukur kesetiaan, seraya menghaturkan upeti yang kerap berisi perhiasan dan barang berharga. Namun letak ibukota yang berada di pedalaman sering membutuhkan jarak tempuh berhari-hari sehingga persembahan yang berbentuk hasil bumi yang cepat rusak tidak dapat diantar.

Kelompok di belakangnya menggunakan tanda bergambar sejenis pohon palem bernama Handiwa (Arengapinnata Merr). Pohon ini sangat banyak manfaatnya. Buahnya bisa dibuat kolang-kaling, daun bunganya bisa disadap untuk dijadikan minuman keras, dan yang utama daunnya bisa dimanfaatkan sebagai piring makan atau dalam bahasa Jawa disebut adjang. Analogi bunyi adjang inilah yang menaungi Rajapatri, Putri Isywari, yaitu adik perempuan sang raja Hayam Wuruk dari Pajang.

Rombongan berikutnya merupakan kereta bibi-bibi sang raja yang menggunakan tanda bunga yang bernama Sadahakusuma, dengan warna hijau dan kuning-emas. Kiranya tidak perlu susah memahami bahwa Sadahakusuma adalah tanda bagi kelompok Kadiri yang nama lainnya adalah Daha (dan juga Panjalu).

Kelompok kereta selanjutnya berlambang buah Maja dari jenis yang pahit rasanya (Aegle Marmelos), yang bentuknya benar-benar bundar. Buah Maja bundar ini melambangkan pusat segala kekuasaan. Rombongan ini walaupun keretanya tidak sebanyak rombongan terdepan namun adalah yang termegah karena memang rombongan sang raja sendiri. Istri-istri, selir-selir, dayang inang pengasuh beserta segenap abdi dalem dan pengawal pribadi raja ikut di sini.

Keseluruhan rombongan karavan terdiri dari 6 kelompok kereta.  Menjelang senja, kendaraan mulai bergerak. Mereka berhenti sebentar waktu sendhyakala (magrib) dan berangkat lagi sepanjang malam hingga keesokan harinya. Siang hari dipergunakan untuk istirahat.

Negarakretagama hanya menyebut 400 kereta di kelompok terdepan sedang jumlah kelompok yang lain hanya ditulis ‘banyak’ saja.

 

Baca juga tulisan tentang sosok pujangga penggubah Negarakretagama di tautan ini.

 

Andaikan kelompok-kelompok lain terdiri dari 50 kereta maka ada total 650 kereta.

Jika panjang sebuah kereta beserta lembu penariknya dan jarak antar kereta satu dengan lainnya 7 meter, maka panjang seluruh karavan bisa mencapai 5 Kilometer lebih, belum terhitung gajah-gajah kebesaran sang raja beserta para pawangnya, pasukan-pasukan atau pengiring-pengiring berjalan kaki, dan para pengawal berkuda.

Interpretasi Seniman Melukiskan Iring-iringan Rombongan Kereta Hayam Wuruk dalam Menjalankan Blusukan Melihat Kehidupan Rakyat Jelata

Dilihat dari udara, barangkali mirip seekor ular besar dan panjang yang berjalan meliuk mengikuti jalan dan kontur tanah yang dilalui. Dengan ukuran sekolosal itu, iring-iringan hanya mampu berjalan sangat lamban selama berminggu-minggu. Akibatnya banyak orang memisahkan diri, ‘ngluyur’ untuk melakukan beragam kegiatan agar tidak dilanda kebosanan.

Mereka berpikir walaupun tertinggal beberapa Kilometer di belakang, toh nantinya mereka dapat dengan mudah mengejar rombongan.

Mustahil mengawasi semua orang sehingga terkadang ada yang masuk ke desa sekitar untuk menjarah atau melakukan hal-hal buruk lain terhadap para penduduk yang tidak berdaya.

Rupanya kejadian tersebut sering berulang dan sampai ke telinga raja sehingga Hayam Wuruk menyempatkan diri turun tangan memberi wejangan tentang petuah bijak dan ahklak yang baik pada anggota rombongan.

Sebagian orang memilih berburu bersama sebagai sarana olah raga melepas kepenatan. Para bangsawan akan mengerahkan prajuritnya untuk menyebar ke hutan sambil memukul kentongan atau tabuhan bunyi-bunyian lain. Suara gaduh membuat binatang seperti kijang berlarian keluar dari persembunyiannya. Rumput dan alang-alang dibakar untuk menggiring kijang ke tempat yang ditentukan di mana ujung tombak dan anak panah telah menanti. Binatang masih sangat berlimpah jumlahnya waktu itu sehingga belum ada kepedulian terhadap berapapun binatang yang mati bergelimpangan selama kepuasan pemburu terpenuhi. Saat rombongan karavan telah berlalu, yang tertinggal adalah pemandangan menyedihkan padang ilalang atau rumput yang hangus.

Kondisi alam kerap membuat banyak hal tidak dapat dijalankan sesuai rencana.  Pernah terjadi, ketika rombongan masih jauh dari pedusunan, matahari tertutup awan gelap. Waktu seolah menunjukkan sadhyakala, artinya harus berhenti beristirahat sementara. Sang pendeta Arya Mahadhikarapun memutuskan agar rombongan mendirikan tenda dan menginap di tempat tersebut. Timbul masalah rumit, tempat yang ada kurang memadai sehingga banyak yang tidur di bawah pedati atau di ruang terbuka. Makanan juga tidak cukup karena perkampungan warga masih jauh. Beruntung tengah malam terdengar bunyi kentongan yang dipukul berirama, yang rupanya merupakan ciri khas Indonesia hingga kini. Kelap-kelip lentera bagai kunang-kunang datang mendekat. Rupanya ada seorang penduduk yang melihat dari kejauhan lantas berinisiatif menggerakkan warga yang lain membawa buah-buahan dan makanan untuk dijual. Hutan yang tadinya sunyi sekejap berubah menjadi pasar malam.

 

Tulis ulang dari sumber bacaan: Majalah Intisari edisi Mei 1967, Negara Kertagama: Menyaksikan Iring-iringan Kereta Hayam Wuruk, (AS. Wibowo)

Ilustrasi sampul: Estu Pramono

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Sabar Hati Menapaki Jejak Para Resi di Kendalisodo di Pawitra

Gereja-Salib-di-Batavia-Hindia-Belanda-1682-kekunoan.com

‘Boso Walikan’ Sudah Duluan Dirintis oleh Para Pejabat VOC