Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java yang terbit pada 1817, menyayangkan potensi susu sapi di Jawa yang disia-siakan masyarakat.
Merujuk riset Exposé statistique du Tonquin, Raffles menemukan fakta mengapa konsumsi susu di kalangan orang Siam dan China rendah. Ternyata mereka tidak berkenan meminum susu hewan. “Mereka merasa jijik karena bagi mereka sama dengan meminum darah. Bagi mereka susu itu seperti darah yang berwarna putih,”
Tingkat komsumsi susu yang rendah di masyarakat Indonesia bisa jadi karena masyarakat Nusantara pada zaman dulu memang tidak memiliki kebiasaan meminum susu.
Nusantara identik dengan kawasan agraris dan pesisir. Hewan ternak seperti kerbau dan sapi lebih dimanfaatkan tenaganya untuk membajak sawah dibandingkan dimanfaatkan untuk dikonsumsi, termasuk susunya. Kebiasaan mengomsumsi susu sangat terkait dengan karakteristik biologis sebagai upaya adaptasi terhadap lingkungan. Awalnya tentu terkait lingkungan abiotik dan biotiknya.
Populasi Mongoloid umumnya tinggal di kawasan tropis yg menyediakan kebutuhan nabati sepanjang tahun. Ketersediaan suplai berlimpah ini mengikis kreatifitas manusia dalam melakukan rekayasa produk hewani. Sebaliknya, dalam lingkungan 4 musim, maka kesempatan untuk bertani relatif terbatas, dan hasil pertanian tidak sanggup mengimbangi kebutuhannya. Produk-produk ternak dapat membantu mencukupinya, dari mulai susu sampai beragam keju. Ragam keju terbanyak ada di Eropa sampai saat ini. Tak heran pula bila ras kaukasoid cenderung memiliki ketahanan lebih terhadap Lactose.
Alasan berikutnya adalah dikaitkan dgn golongan darah. Di nusantara, gol darah yg dominan adalah O, diyakini bahwa gol darah O cenderung rendah enzim cerna susunya, cenderung intoleransi protein susu. Gejala intoleransi susu / laktosa ini macam-macam, mulai dari mencret , muntah , alergi, gatal-gatal , asma dll. sehingga beberapa daerah memanfaatkan susu dengan cara difermentasi, contohnya dadih dan danke.
Adalah masyarakat dengan akar kebudayaan menggembala yang menginisiasi tradisi meminum susu. Sejak 9000 SM hingga 8000 SM, susu sudah dikonsumsi di Timur Tengah. Masyarakat Eropa baru mulai meminum susu pada 3300 SM hingga 1000 SM karena diyakini berkhasiat untuk menguatkan tubuh.
Di nusantara sendiri, tradisi gembala belum mantap hingga Abad ke- sehingga sumber makanan hewani berbasis ternak lebih sedikit dibandingkan sumber makanan nabati.
Lebih-lebih sapi disakralkan dalam tradisi Hindu.
Disarikan dari sumber: Dr Sudi Harjanto, Sidoarjo.
Sampul: relief orang memeras susu sapi pada sebuah candi di India
GIPHY App Key not set. Please check settings