Menghayati Pohon Hayat Sebagai Logo IKN Ibu Kota Negara

Logo Identitas Visual IKN Ibu Kota Nusantara Pohon Hayat Kekunoan.com

Presiden Joko Widodo meluncurkan logo resmi IKN ( Ibu Kota Negara) Indonesia yang baru pada 30 Mei 2023.

Menarik sekali karena publik dilibatkan di dalam proses perancangan hingga pemilihan identitas visual IKN Nusantara ini. Logo yang memenangkan voting lebih dari 500 ribu masyarakat ini menampilkan konsep pohon hayat buah karya desainer bernama Aulia Akbar.

Untuk kesuksesannya ini, ia berhak mengantongi hadiah uang senilai 185 juta Rupiah.

Makna Logo Pohon Hayat IKN Nusantara Kekunoan.com

Menurut sang desainer, logo ‘Pohon Hayat Nusantara’ ini terinspirasi oleh bentuk penghayatan simbolisme pohon dari barat sampai timur Indonesia. Sumber kehidupan sekaligus kekayaan hayati yang melimpah di ekologi kita

Pohon Hayat Pilihan Tepat Sebagai Representasi Ibu Kota Negara yang Baru

Pada masa sebelum masuknya agama Hindu di nusantara, masyarakat memiliki kepercayaan terhadap pohon hayat yang terkait dengan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa beberapa pohon tertentu memiliki kekuatan gaib sebagai sumber kehidupan dan mampu mengabulkan permohonan manusia.

Suku Dayak Ngaju dan masyarakat Batak Toba menghormati kekeramatan dan kesucian pohon kehidupan.
Mereka percaya bahwa sepasang manusia lahir dari pohon yang tumbuh di puncak gunung, dan mereka kemudian menurunkan generasi Dayak dalam berbagai lapisan masyarakat. Pohon kehidupan sering dihuni oleh roh-roh nenek moyang dalam mitos mereka.

Suku Jawa menganggap pohon Waringin sangat penting, yang berasal dari akar kata ‘Angan’ dan menjadi ‘Ingin’. Kemudian, dengan awalan ‘War’, dalam Bahasa Indonesia menjadi Beringin.
Di Pulau Karimun Jawa, khususnya di Desa Nyamplungan, masih ada sepasang pohon keramat yang dikenal sebagai Dewadaru, yang mungkin memiliki hubungan dengan nama pasangannya, Jayadaru.

Di Desa Trunyan, Kintamani, Bali, masyarakat Bali Aga, yang merupakan masyarakat Bali asli yang menganut kepercayaan Pra-Hindu, meletakkan mayat di bawah pohon Taru Menyan.
Mayat tidak mengeluarkan bau busuk karena pengaruh wangi pohon tersebut. Hal ini mengingatkan pada kayu Cendana yang harum, dan juga Gaharu yang memiliki aroma wangi.

Dari situlah asal nama desa Trunyan, di mana “Taru” atau “Daru” berarti pohon, dan “Menyan” berarti harum. Terlepas dari berhubungan atau tidak, dalam kitab Rgveda dikenal pohon Asvattha, tempat tinggal Dewa Yama dan arwah orang yang telah meninggal. Penyebutan nama pohon di Karimunjawa dan Bali Aga menggunakan bahasa Sanskerta menunjukkan pengaruh Hindu pada masa itu.

Kedatangan agama Hindu dan Buddha memberikan referensi yang lebih jelas tentang pemahaman mengenai pohon kehidupan yang dihormati oleh nenek moyang kita.
Dalam Agama Hindu, pohon ini sangat dipuja dan memiliki banyak nama seperti Kalpataru, Kalpavriksha, Kalpadruma, Kamadugha, Kalpalata, Kalpapada, dan Devataru.

Dalam Agama Buddha, pohon kehidupan ini dikenal sebagai Pohon Bodhi, atau disebut juga Pohon Ara Suci, di bawah naungan pohon ini, Pangeran Siddhartha Gautama mencapai Pencerahan.

Pada zaman kedatangan Islam, kepercayaan Orang Jawa terhadap pohon kehidupan mengalami perkembangan dalam dua arah yang berbeda.
Para wali yang mengajarkan ajaran Islam murni cenderung mengarahkan umat untuk menjauhi perlindungan dari pohon-pohon tersebut. Namun, di sisi lain, para Wali Islam Putih justru menyarankan bahwa pohon-pohon dapat digambarkan sebagai objek seni, karena tidak “hidup” seperti binatang atau manusia.

Dalam satu ayat Al-Quran dinyatakan bahwa seseorang yang menggambarkan atau membuat patung makhluk hidup akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan untuk menghidupkannya. Jika tidak mampu melakukannya, maka hukumannya adalah neraka.

Ini adalah nasib bagi mereka yang berani mencoba menandingi Tuhan. Oleh karena itu, dalam beberapa karya seni rupa klasik pada masa itu, banyak muncul gambar binatang atau tokoh manusia yang terbentuk dari susunan akar atau rimpang tanaman. Bahkan, untuk lebih Islami, tokoh manusia tersebut terbentuk dari susunan huruf Arab.

Di sisi lain, para wali yang memegang prinsip Islam harus menerima kehadiran penghormatan terhadap pohon kehidupan dengan lebih membumi. Oleh karena itu, muncullah Gunungan atau Kayon dalam pertunjukan wayang kulit sebagai representasi Kalpataru.

Hiasan semacam ini juga dapat ditemukan di kompleks masjid dan makam Sunan Sendang. Namun, para Wali Islam Abangan juga mengubah bentuk wayang Jawa untuk semakin menjauhkan kesan realistik dan mirip manusia seperti wayang Bali.

Mereka bahkan menambahkan tiga garis pada setiap leher tokoh wayang untuk menunjukkan bahwa tokoh tersebut digambarkan sebagai makhluk mati.

Baca juga: Program Nasional Infra Struktur Jalan Trans Java Ala Daendels

Jaman berganti dan konsep nilai rasa pun berbelok arah.
Di era modern, kesakralan keluarga pohon Kalpataru justru merosot ketika digunakan sebagai simbol-simbol kenegaraan dan partai politik.

Pohon Beringin sebagai lambang pengayoman tidak memiliki kekuatan untuk memberikan perlindungan.
Sebagai lambang Koperasi, pohon ini tidak mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Sebagai emblem KORPRI, tidak mampu memberikan pelayanan yang memadai.
Dan ketika digunakan sebagai simbol Partai Golongan Karya, pohon ini lebih dianggap sebagai sarang makhluk gaib dan begal/ kecu simbol kejahatan.
Bahkan, upaya Perhutani yang menggunakan logo Kalpataru untuk membangkitkan semangat pelestarian hutan sering kali menjadi ironi, karena departemen tersebut curiga sebagai penyebab pembabatan hutan jati.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
Orang Melayu bersenjatakan Cetbang Majapahit kekunoan.com

Sejarah Majapahit: Kekuatan Militer Majapahit Tergambar dari Keseganan Lawan

Gapura masuk kompleks pemakaman Sunan Giri dilihat dari sisi utara sebelum dipugar yang sekarang berada di wilayah Kebomas Gresik kekunoan.com

Sejarah Kerajaan Islam Giri Kedaton