SukaSuka HeranHeran

Pakubuwono X, Raja Besar Terakhir Trah Mataram-Surakarta

 

Ada sebuah ramalan besar yang menyebutkan bahwa kekuasaan wangsa Mataram Islam di tanah Jawa akan habis di trah raja kesepuluh. Boleh percaya atau tidak, belakangan mitos ini ternyata terbukti kebenarannya. Keraton Surakarta sudah diketahui secara luas mengalami degradasi akibat perselisihan internal yang sangat memalukan. Dua pihak saling mengklaim sebagai pewaris tahta yang sah sehingga terdapat dualisme raja, saling berebut aset dan membangun pembatas, penghargaan dan gelar kehormatan semu diobral agar kas keraton yang kosong dapat terisi, dan belum lagi permasalahan hukum yang melibatkan anak dengan orang tua sendiri.

Begitu pelik dan ruwetnya sengketa sampai sampai Jokowi, yang saat itu menjabat sebagai walikota Solo, pernah ikut turun tangan memprakarsai perdamaian antar pihak yang berseteru agar tidak terus berlarut-larut menjadi tontonan dagelan berskala nasional.

Keraton Yogyakarta pun naga-naganya menunjukkan gejala setali tiga uang. Masalah dipantik dari dikeluarkannya sabda raja oleh Sultan Hamengkubuwono X yang menghapus gelar khalifatullah yang mengandung maksud laki-laki umat Allah yang bertugas melakukan syiar agama. Adik-adik raja serta sebagian kerabat keraton memandang langkah ini sebagai upaya mempersiapkan putri sulungnya sebagai pewaris tahta. Kebetulan Sultan hanya memiliki 3 keturunan dan semuanya perempuan.

Selain menutup rapat-rapat peluang adik-adik raja menjadi penerus tahta, Sultan juga dianggap telah melakukan kesalahan besar karena telah mengubah paugeran atau tata adat istiadat keraton turun temurun yang berusia ratusan tahun.

PakuBuwono X
Paku Buwono X bersama keluarga menikmati pemandangan candi Penataran di Blitar

Kembali ke Keraton Surakarta Hadiningrat, trah raja kesepuluh keraton Surakarta yakni Susuhunan Pakubuwono X memang menjadi raja paling istimewa dalam dinasti Mataram Surakarta. Pada masanya, hanya Surakarta yang bisa mengibarkan panji bendera gula klapa merah putih secara bebas sementara daerah lain hanya bisa mengibarkan bendera Belanda. Keraton juga berjasa memberikan ruang yang bebas pada gerakan nasional seperti Boedi Oetomo dan Syarikat Islam sehingga dapat berkembang dan berkibar dengan perlindungan penuh raja.

Belanda awalnya memang menganggap Paku Buwono X lemah dan tidak cakap, apalagi beliau doyan hidup mewah, suka makan enak dan mengenakan busana kebesaran berlebihan dilengkapi lencana dan bintang kehormatan. Paku Buwono X tidak pernah memperlihatkan sikap yang keras pada Belanda, namun dibalik itu pada masa pemerintahannya kondisi negara stabil dan nyaris tanpa kendala sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan pada rakyatnya.

Alkisah pada satu hari di tahun 1866, suasana keraton mendadak berubah sangat meriah di iringi suara burung berkicau bersautan sebagai pertanda hadirnya kebahagiaan. Wajah-wajah yang sebelumnya tegang kini berubah penuh keceriaan. Para abdi dalem membunyikan tambur mengelilingi panggung dilantai paling atas Songgobuwono. Dari sitihinggil terdengar sayup-sayup bunyi gamelan kodok ngorek berselingan dengan dentuman bunyi meriam.

Seorang jabang bayi dilahirkan dengan selamat, hayu dengan tidak ada satu halangan apapun tepat sesuai ramalan pujangga terkenal R.Ng Ronggowarsito. Orang tua bayi yang berbahagia, yaitu Susuhunan Pakubuwono IX dan Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwono memberinya nama Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna. Kelak ia tumbuh menjadi raja dinasti Mataram Surakarta paling masyur dan berpengaruh.

Menginjak usia pernikahan yang ketiga bulan, permaisuri Susuhunan Pakubuwono IX yaitu Kanjeng Ratu Pakubuwono ngidam ingin memakan gudhang pakis raja. Segera saja Susuhunan Pakubuwono IX mengutus Bandara Kanjeng Pangeran Kolonel Arya Purbanagara atau Raden Mas Inggris untuk menemui Tuwan Jansemit di Gumawang untuk keperluan membeli daun pakis raja.

Pada usia kehamilan yang kesembilan bulan, permaisuri dipindah ke Kamar Gadhing, yaitu sebuah kamar paling timur dari Ndalem Ageng Probosuyoso. Di luar kamar itu para kerabat raja, para putra raja dan para abdi dalem laki-laki maupun perempuan diperintahkan berjaga secara bergiliran. Abdi dalem prajurit juga mempersiapkan baris berbaris dan membunyikan meriam sewaktu waktu tiba saatnya permaisuri melahirkan.

Hari Kamis Legi 21 Rejeb tahun Alip 1795 pukul 9 malam permaisuri mengalami kesakitan. Semua yang ada berjaga dan berdoa demi kelancaran proses persalinan dan memohon agar bayi yang dilahirkan adalah seorang laki-laki calon putra mahkota yang memiliki kebaikan dan bisa menjadi panutan.

Rakyat yang mendengar dentum meriam ikut berbahagia sebab menurut pandangan orang jaman dulu kelahiran putra mahkota atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom akan menjamin kesejahteraan dan kemakmuran negara karena menyimbolkan kepastian kelangsungan dinasti sekaligus kelangsungan negara. Perayaan kelahiran ini berupa pesta besar dalam keraton setiap malam selama sepasar atau 5 hari.

Selanjutnya bayi putra mahkota diangkat anak oleh neneknya yaitu Kanjeng Ratu Ageng yang merupakan janda Susuhunan Pakubuwono VI. Gusti Kanjeng Ratu Ageng sangat menyayangi cucunya tersebut sehingga dari kecil ia tidur bersama neneknya di kediamannya di Kagengan. Setelah beranjak dewasa pangeran muda dibuatkan rumah dikabupaten bernama Sasana Hadi.

Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna disusui oleh selir raja atau Priyantun Dalem bernama Bandara Raden Daya Purnama dan diasuh emban keraton Nyai Lurah Raksa kusuma, Nyai Lurah Lumba, Nyai Lurah Among Sudibya, Nyai Lurah Secabawa dan Raden Ayu Among Saputra.

Pada pesta perayaan tingalan Dalem Jumenengan Susuhunan Pakubuwono IX pada hari senin legi 4 Oktober 1869, Susuhunan Pakubuwono IX mendapat kabar bahwa gubernur jendral di Batavia memberikan perintah untuk menobatkan putranya yang masih berusia 3 tahun itu menjadi Pangeran Adipati Anom bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram Ingkang Kaping V di Surakarta Hadiningrat. Belanda melakukan hal ini karena memperkirakan usia Paku Buwono IX tidak akan lama akibat menderita batu ginjal. Nyatanya beliau masih akan hidup hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Ketika memasuki usia remaja dikisahkan bahwa Kanjeng Gusti Adipati Anom dikenal memiliki keterampilan orasi yang baik. Ia sudah menjadi buah bibir dimasyarakat karena begitu mempesona menggunakan bahasa Melayu dengan perkataan yang  begitu jelas, tuntas dan tepat. Setiap pesta tahun baru dan tahun raja Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom datang ke loji karesidenan untuk beraudensi.

KGP Adipati Anom mulai diberi kewajiban memimpin jabatan dipengadilan kabupaten Anom pada tahun 1886. Setahun kemudian beliau sudah mulai mengenakan bintang pusaka di kadipaten.

Atas seijin ayahhandanya, pada hari Kamis 7 agustus 1890 KGP Anom dinikahkan dengan putri KGPAA Mangkunegoro IV bernama Bandara Raden Ayu Sumarti. Kelak setelah bertahta namanya berganti menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana.

Sekitar setahun menjelang meninggalnya Pakubuwono IX yaitu pada hari Jum’at 16 Maret 1893, KG Adipati Anom dipanggil ayahanda di Jongringsalaka, sebuah ruang di sebelah selatan Ndalem Ageng Prabasuyasa untuk mendengarkan wejangan.

Kamis 30 Maret 1893 KGP Adipati Anom dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayyidin Panatagama Ingkang Kaping X.

penobatan Paku Buwono X
Penobatan Paku Buwono X tahun 1893

Ia banyak mendirikan bangunan dan monumen yang hingga di jaman modern ini masih banyak ditemui dengan dihiasi simbolnya, yaitu PBX. Ia juga raja yang dikenal dermawan yang sering bersedekah dengan menyebar uang recehan atau udhik-udhik setiap kali berpergian.

Banyak dana dikucurkan untuk kesejahteraan umum dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan bahkan budaya. Bermacam macam jenis tari diciptakan, banyak serat dan kitab dilahirkan, banyak jenis gendhing baru dalam dunia karawitan dan juga banyak muncul ahli dalam bidang kalukitan. Raja juga mendalami ilmu persenjataan, membuat beragam keris dan senjata dan juga dikenal penyayang binatang yang mahir mengenai kuda dan tunggangan.

Karena tak kunjung mendapat keturunan, maka pada hari Rabu 27 Oktober 1915 Susuhunan Pakubuwono X menikah lagi dengan Putri Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII di Ngayogyakarta Hadiningrat dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencana bernama Gusti Raden Ayu Mursudarinah. Permaisuri baru tersebut mendapat gelar Gusti Kanjeng Ratu Emas. Ini sekaligus merupakan penyatuan kembali trah Mataram, yang walaupun masih erat bertalian darah, telah bersitegang lama akibat dicerai-beraikan Belanda.

PB X bersama permaisuri pertama Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono dan Permaisuri kedua Gusti kanjeng Ratu Emas
PB X bersama permaisuri pertama GKR Paku Buwono (kiri) dan Permaisuri kedua GKR Emas (kanan)

Setelah menikah selama 4 tahun, akhirnya munculah yang lama ditunggu-tunggu. Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Emas melahirkan seorang putri pada hari Selasa 25 Maret 1919 yang diberi nama Gusti Raden Ayu Sekar Kadhaton Kustiah yang kelak saat dewasa berganti nama menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.

Kamis 30 agustus 1923 Pakubuwono X mendapatkan gelar baru Letnan Jenderal sehingga sejak saat itu memakai sebutan baru Ingkang Wicaksana Jenderal Mayor. Berselang 4 bulan kemudian tepatnya pada hari Kamis 4 Januari 1924, Prameswari Dalem Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana meninggal sehingga membawa kesedihan yang mendalam bagi Susuhunan Pakubuwono X. Meskipun tidak memberikan keturunan, kasih sayang raja tidak luntur pada istri pertamanya tersebut.

Paku Buwono X pandai membaca jaman. Ia menyadari perkembangan daya pikir masyarakat yang makin maju dan makin rasional. Mitos Ratu Kidul makin surut dihadapkan pada tank, kapal perang modern, pesawat, dan peralatan berteknologi canggih lainnya. Ia dikenal sebagai raja Jawa yang menghabiskan seluruh kamukten dan kewibawaan seorang raja Jawa sehingga, tidak tersisa lagi untuk raja-raja berikutnya yakni PB XI dan PB XII. Apalagi setelah bergabungnya keraton Surakarta ke dalam NKRI pasca 1945, maka praktis keraton kehilangan kekuasaannya dan tinggal menjadi simbol budaya saja.

Susuhunan Pakubuwono X mangkat pada hari Senin, 20 Pebruari 1939 pukul 7.30 pagi pada usianya yang ke-74 tahun setelah menduduki tahta keraton Surakarta Hadiningrat selama 48 tahun.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Mewujudkan Majapahit Heritage Trail yang Layak Jual

topeng malang kekunoan

Akar Historis Topeng Malang dari Lereng Selatan Tengger