Sultan Agung memerintah Kerajaan Mataram Islam pada puncak kejayaannya.
Saat itu, wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Naik tahta selama 32 tahun, dimulai di usianya yang masih 20 (1613 hingga 1645), Sultan Agung mampu menguasai sumberdaya Mataram yang sangat besar dan melimpah.
Salah satu visi besarnya adalah menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram serta mengusir kehadiran kekuasaan asing, termasuk VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1602.
Sultan Agung merasa terganggu ketika pada akhir tahun 1619, VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten dan mengubahnya menjadi Batavia.
Banten sendiri merupakan salah satu wilayah yang belum dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram.
Fakta bahwa VOC terkenal memperbudak pribumi juga menjadi perhatian Sultan Agung.
Awalnya Mataram memiliki hubungan diplomatik dengan VOC, namun hubungan tersebut putus ketika VOC menolak membantu Mataram dalam penyerangan ke Surabaya.
Akhirnya, setelah Mataram berhasil menaklukkan pesisir utara Jawa hingga ke Surabaya, giliran Batavia yang menjadi target selanjutnya.
Serangan Mataram ke Batavia menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah karena berperan besar mengubah sejarah kita selama ini.
Sultan Agung secara kalkulasi militer mampu menaklukan VOC dengan mudah, namun sayangnya fakta berkata lain.
Serangan pertama Sultan Agung ke Batavia terjadi pada tahun 1628 dan dipimpin oleh Tumenggung Baureksa, bupati Kendal. Serangan ini berlangsung dari 22 Agustus hingga 3 Desember 1628. Pasukan Mataram yang berjumlah 900 prajurit mendarat di teluk Jakarta dengan membawa berbagai persediaan, termasuk sapi, gula, kelapa, dan beras.
Pada awalnya, mereka mengaku ingin berdagang di Batavia, tetapi ketidakpercayaan Belanda menyebabkan ketegangan antara keduanya.
Pasukan Mataram terus berdatangan ke Batavia dalam jumlah besar, tetapi serangan mereka tidak berhasil menaklukkan benteng-benteng Belanda. Pasukan VOC yang dipimpin oleh Jacob van der Plaetten berhasil menghalau serangan pertama Mataram. Pada bulan Oktober, pasukan Mataram mencoba memblokade jalan-jalan dan membatasi pasokan air Belanda, tetapi strategi ini tidak berhasil.
Pada akhirnya, Mataram kehabisan persediaan dan harus mundur dari Batavia. Akibat kegagalan serangan ini, Tumenggung Baureksa, Pangeran Mandurareja, dan beberapa prajurit lainnya dihukum mati dengan cara dipenggal. Sejarawan M.C. Ricklefs mencatat bahwa 744 mayat prajurit Jawa ditemukan tanpa dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala.
Serangan kedua Mataram ke Batavia pada tahun 1629 juga tidak berhasil. Pasukan Mataram harus mundur setelah Belanda membakar lumbung padi milik mereka.
Selain terputusnya logistik, terdapat catatan berupa peristiwa menggelitik yang terjadi secara spontan.
Kesaksian berasal dari Seyger van Rechteren, seorang “Krankbezoeker”, yaitu pegawai VOC yang tugasnya menengok dan menghibur orang-orang sakit, yang tiba di Batavia pada tanggal 23 September 1629, selang beberapa hari saja sebelum terjadi serangan yang kedua kalinya dari Mataram.
Waktu serangan datang, Van Rechteren berada di benteng “Maagdelijn” yang letaknya ada di sudut Tenggara kota. Ia menyaksikan betapa benteng itu dihujani meriam dan api.
Dalam situasi kritis, dimana 15 orang Belanda harus bertahan tanpa sebutir pelurupun tersisa, seorang serdadu dengan nekat mengambil kotoran manusia menggunakan sebuah panci dan menyiramkannya ke bawah, mengarahkan ke pasukan Mataram.
Tindakan tersebut kemudian diikuti oleh teman-temannya yang ikut mengulangi perbuatan serupa.
Akibat baunya yang sangat tidak tertahankan, pasukan Mataram pun terpaksa mengundurkan diri, dan dengan demikian, benteng tersebut berhasil diselamatkan.
GIPHY App Key not set. Please check settings