Pegawai Pajak yang Sangat Terampil

Pedagang Cina menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah kekunoan.com

Pada bulan Mei 1619, VOC berhasil menghancurkan Jayakarta dan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun kota baru Batavia di atas puing-puingnya. Tujuannya untuk membangun kota bandar dan pusat perdagangan. Namun, sebelum impian itu tercapai, Batavia membutuhkan perbaikan terlebih dahulu.

Coen membutuhkan banyak pekerja pertukangan untuk membangun Batavia, dan pada saat itu, hanya orang-orang Tionghoa yang bersedia dikerahkan. Oleh karena itu, Coen menyambut hangat mereka sebagai mitra.

VOC menerbitkan kebijakan “pintu terbuka” yang memantik pedagang Tionghoa untuk mulai membanjiri Batavia dan memutuskan menetap di sana.

Pada 7 Oktober 1619, sekitar 300-400 orang Tionghoa tiba di Batavia, yang diikuti oleh gelombang kedua pada 31 Juli 1620 sebanyak 800 orang dan gelombang ketiga pada 26 Oktober 1620 sejumlah 850-900 orang.

 

Tokoh Bernama Souw Beng Kong

Gelombang pertama dari orang Tionghoa berasal dari Banten dan dipimpin oleh Souw Beng Kong, yang merupakan pedagang terkaya di antara mereka.

VOC kemudian menunjuk Beng Kong sebagai kapitein der Chinezen, pejabat setingkat camat yang khusus memimpin kaum peranakan Tionghoa. Beng Kong adalah pimpinan komunitas Tionghoa di Jakarta dan memiliki kedudukan yang setara dengan kapitein lainnya dari suku Bugis, Bali, Makassar, India, Mardijkers, dan kelompok etnis lain yang mengembangkan kota Batavia.

Selain itu, Beng Kong juga menjadi pencetak uang tembaga, saudagar kapal, kontraktor, pedagang, serta pemegang lisensi resmi penyelenggaraan judi di Batavia. Dia juga dekat dengan Gubernur Jenderal Coen sehingga dipercaya sebagai diplomat andalan untuk bernegosiasi dengan Banten dan Inggris.

Peran Beng Kong dalam sejarah awal perkembangan Batavia sangat vital. Kalau Beng Kong dan 400 orang Tionghoa tidak pindah ke Batavia, ekonomi Batavia tidak akan berkembang.

 

Naik Turun Hubungan COV dengan Tionghoa

Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterzoon Coen, memuji karakter orang Tionghoa ini setinggi langit, menurutnya golongan mereka adalah “bangsa yang ulet, rajin, dan suka bekerja” dan sebagai tenaga yang paling cocok untuk tujuan VOC. Berkat keuletan dan kecerdasan mereka dalam menciptakan aktivitas baru yang dapat menghasilkan pendapatan pajak, VOC memberikan lisensi untuk berbagai jenis pajak yang diterapkan.

Orang Tionghoa dipercaya untuk mengumpulkan pajak dari rumah gadai, penjualan madat, rumah judi, menjadi penjaga dan pemungut pajak di gerbang tol bagi para pedagang yang melintas, dan berbagai sektor lain.

Pada awal pendirian Batavia, hubungan antara Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan komunitas Tionghoa berjalan lancar dan saling menguntungkan.

Lesunya perdagangan di Banten, pergolakan di Cina Selatan, dan sambutan dari VOC membuat Batavia menjadi kota perantauan yang menjanjikan sejak paruh kedua abad ke-17. Sebagai akibatnya, terjadi gelombang migrasi orang-orang Tionghoa ke Batavia, baik peranakan maupun Hoakiau yang berangkat langsung dari Tiongkok.

Namun, migrasi yang tidak terkendali ini berdampak negatif karena terdapat orang-orang yang oportunis, tidak terampil, tidak bermodal, dan juga para kriminal di antara imigran-imigran tersebut. Akibatnya, keberadaan mereka menimbulkan resah dan kerusuhan di Batavia karena berkurangnya lapangan kerja.

VOC kemudian mengambil langkah cepat untuk membatasi kedatangan orang-orang Tionghoa dengan membuat aturan yang membatasi jumlah penumpang yang boleh dibawa oleh kapal dan mengenakan biaya yang tinggi. Selain itu, VOC juga membuat aturan pembatasan bagi pemukim peranakan Tionghoa di Batavia.

Namun, kebijakan ini tidak dapat menghentikan kedatangan orang Tionghoa ke Batavia. Kemudian, anggota Dewan Hindia Gustaav Willem Baron van Imhoff mengusulkan agar Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memindahkan para imigran ke Sri Lanka atau mengenakan pungutan yang tinggi pada orang Tionghoa, dengan harapan mereka akan berangsur-angsur pindah dari Batavia. Namun, kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh birokrat Belanda yang rakus untuk memperkaya diri sendiri dengan memeras para imigran dengan biaya siluman lainnya.

Kondisi ekonomi dan sosial yang berat ini menyebabkan VOC menjadi curiga bahwa orang-orang Tionghoa sedang bersiap-siap untuk memberontak. Sementara itu, komunitas Tionghoa khawatir bahwa orang-orang yang dibawa ke Sri Lanka akan dibuang ke laut setelah kapal angkat sauh.

Puncaknya, pada awal Oktober 1740, terjadi kerusuhan yang melibatkan orang-orang Tionghoa di kantor-kantor VOC. Pada 9 Oktober, VOC mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap komunitas Tionghoa di dalam tembok Kota Batavia.

Sejak itu hingga 22 Oktober, terjadi peristiwa genosida atas orang-orang Tionghoa yang kini dikenal sebagai Chinezenmoord, alias Geger Pecinan, peristiwa yang mengakibatkan 10.000 orang Tionghoa kehilangan nyawa.

Baca Rentetan Peristiwa Pembantaian Tionghoa di Jawa di artikel ini

 

Tetap Dipercaya Sebagai Mitra Pajak Pasca Bubarnya VOC 1799

Pasca kebangkrutan VOC pada akhir abad ke-18, ketertarikan Belanda terhadap pertumbuhan ekonomi komunitas Tionghoa di Indonesia meningkat kembali. Pemerintah kolonial baru di Jawa bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan. Pendekatan pemerintah dimulai dengan memudahkan izin usaha dan melelang hak monopoli kepada para elit Tionghoa.

Hak monopoli tersebut mencakup berbagai sektor ekonomi, seperti pajak, bea cukai, candu, pegadaian, pajak pasar, penyeberangan sungai, pembuatan garam, dan pengambilan sarang burung.

Sektor terbesar yang dikelola oleh orang Tionghoa di Jawa adalah candu dan gadai. Namun, kendali tetap dipegang oleh Belanda karena peraturan pecinan telah membatasi gerak orang Tionghoa.

Belanda memberikan hak istimewa lagi pada pemegang hak monopoli dan agen mereka, yaitu dispensasi dan surat jalan yang memudahkan pergerakan mereka. Para pemegang hak monopoli memanfaatkan kesempatan ini untuk berdagang, menjual barang impor ke desa, dan membeli hasil-hasil dari desa. Namun, praktik semacam itu membuat posisi kaum peranakan Tionghoa semakin terjepit. Citra mereka di mata masyarakat bumiputra ikut memburuk karena dianggap sebagai kepanjangan tangan kolonialis Belanda.

Tercatat pernah terjadi pemberontakan di Bagelen terhadap orang Belanda dan orang Tionghoa yang menjadi penjaga gerbang tol. Hal ini sempat menyebabkan sentimen anti-Tionghoa semakin kuat di Jawa pada tahun 1820-an. Praktik uang tol menjadi sumber kejengkelan penduduk bumiputra terhadap orang Tionghoa karena ongkos yang dibebankan untuk lalu lintas perdagangan dirasa memberatkan.

Meski begitu, orang Tionghoa tidak selalu meraih untung dari hubungan mereka dengan Belanda. Terkadang, uang pungutan itu habis dikorupsi oleh centeng yang mereka pekerjakan.

Orang Tionghoa juga menjadi objek pajak. Pajak ini dikenal sebagai pajak kepala atau surat konde, yang harus dibayarkan oleh orang Tionghoa yang berusia di atas 16 tahun dan tinggal di Batavia. Dinamai konde karena merujuk pada gaya rambut Tionghoa masa itu. Pemasukan pemerintah dari uang Konde ini begitu tinggi hingga mencakup sebagian besar dari nilai keseluruhan pemasukan pemerintah dari pajak kota Batavia.

 

 

Ditulis oleh tim kekunoan

Digali dari berbagai sumber

Gambar sampul: Litografi Pedagang Cina menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah karya Rappard

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
aerial view kawasan Rampal Malang tempo dulu kekunoandotkom

Viaduk Klojen Lor (Klodjen Lorstraat), Malang 1940

uncle sam kekunoandotkom

Akibat Pajak, 13 Koloni Britania Raya Sepakat Dirikan Amerika Serikat