Pengetahuan tentang negeri antah berantah yang sangat jauh di belahan bumi lain dengan segala hal yang asing dari yang sehari-hari ditemui, mulai dari iklim, budaya, dan adat yang berbeda, masihlah sangat gelap dan misterius bagi orang Eropa yang hidup pada abad 17.
Banyak koloni Eropa di negara tropis dianggap sebagai kuburan orang kulit putih karena tingginya angka kematian di kalangan pendatang terutama disebabkan oleh penyakit malaria. Akibatnya, bepergian dengan kapal layar menuju timur jauh yang memakan waktu berbulan-bulan tanpa adanya jaminan keselamatan adalah horor yang bisa membuat bulu kuduk merinding. Begitulah kira-kira yang dirasakan oleh para penumpang di dek kapal Batavia.
Pelayaran perdana kapal Batavia yang mengangkat sauh dari Belanda menuju Hindia Belanda (Jawa) tahun 1628 adalah atas perintah East Indies Company dengan membawa muatan perak yang banyak untuk mendukung operasional perusahaan di timur jauh.

Mereka-mereka yang berada di atas kapal terdiri dari tentara, kolonis, dan pelaut-pelaut berpengalaman yang terbiasa hidup keras, semua di bawah pimpinan seorang pedagang senior bernama Francisco Pelsaert.
Bayangan akan monster laut, wabah penyakit, badai, angin topan, hingga malaria menghantui benak masing-masing yang ada. Tanpa mereka sadari, ancaman bahaya yang paling besar ternyata sangat dekat, yakni dari orang-orang di samping mereka sendiri. Bahaya itu bersumber dari sesosok apoteker bangkrut yang kabur dari kota Harleem bernama Jeronimus Cornelisz.
Dia diduga memiliki kaitan dengan pelukis Belanda yang percaya bidah yang dikenal sebagai “Torrentius”. Keyakinan yang disebarkan “Torrentius” adalah gaya hidup bebas dan keyakinan pada agama yang melenceng dari pakem sehingga berujung pada ditangkapinya penganut-penganut paham ini oelh pemerintah. Apa peran sebenarnya Cornelisz dalam gerakan itu tidak diketahui jelas, namun yang pasti ia memutuskan kabur sebelum persidangan dan menyamar sebagai pedagang yang menumpang kapal Batavia.
Tidak berapa lama, Cornelisz segera berteman dengan nahkoda bernama Ariaen Jacobsz karena sama-sama tidak menyukai kapten kapal Francisco Pelsaert. Keduanya meyakini bahwa Pelsaert adalah kapten kapal yang memimpin dengan tangan besi dan tidak adil. Diam-diam duet ini menyusun rencana untuk mengambil alih kapal beserta muatannya dan hidup senang di suatu wilayah yang jauh dari jangkauan angkatan laut Belanda.
Rencana Cornelisz adalah dengan memanfaatkan seorang penumpang wanita muda yang menarik bernama Lucretia Jans. Banyak kru yang ada di kapal jatuh hati pada Lucretia Jans, termasuk Cornelisz sendiri. Ia menghasut beberapa orang untuk menyerang Lucretia Jansz sambil memakai topeng sehingga kapten Pelsaert tidak bisa menemukan pelakunya dan akan terpaksa mendisiplinkan kru secara acak. Harapannya agar kegaduhan tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan anak buah kapal dan memicu pemberontakan.
Maka pada satu malam yang gelap tanpa penerangan cahaya bulan, beberapa orang bertopeng bergerak menjalankan rencana jahatnya. Mereka naik ke dek atas dan menyerang Lucretia. Lucretia selamat dan aksi jahat tersebut dapat digagalkan karena Lucretia dapat mengenali beberapa penyerangnya. Sayangnya kapten Pelsaert tengah sakit saat itu sehingga tidak melakukan tindakan apa-apa. Tidak ada seorangpun yang ditangkap dan dihukum sehingga provokasi tersebut gagal total.
Bulan Juni, kapal Batavia tiba di pesisir Australia melewati rangkaian kepulauan bernama Houtman Abrolhos. Daerah ini masih perawan belum terjejaki dan letak batu karang yang berbahaya belum sempat terpetakan sehingga sangat berbahaya bagi navigasi kapal. Malang tidak dapat terhindarkan, pada tanggal 4 Juni kapal menabrak karang dan perlahan-lahan pecah.

Seluruh isi kapal bergegas menyelamatkan diri menggunakan sekoci untuk mendarat pada pulau terdekat yang bernama pulau Beacon. Mereka masih sempat menyelamatkan persediaan air tawar. Para petugas kapal segera menyadari buruknya situasi. Pulau Beacon berjarak lebih dari 2000 Km dari koloni Belanda yang terdekat (besar kemungkinan yang dimaksud adalah pulau Jawa) . Yang paling gawat adalah kondisi pulau yang gersang dan tidak dapat menunjang kelangsungan kehidupan untuk waktu yang lama. Tidak ada yang bisa dimakan dan tidak terdapat sumber air tawar. Pelsaert menyadari bahwa tanpa adanya bantuan yang datang, kesempatan hidup sangatlah kecil. Harapan satu-satunya adalah berlayar menggunakan salah satu sekoci terkecil ke Hindia Belanda dan kembali sambil membawa bantuan.
Rencana ini bukanlah yang terbaik, namun tidak ada alternatif lain. Pelsaert dan beberapa petugas mengajukan diri untuk pergi- termasuk Jacobsz- sehingga menyisakan Cornelisz sebagai petugas kapal paling senior yang tersisa diantara penumpang yang terdampar.
Setelah kepergian Pelsaert, tidak dibutuhkan waktu yang lama bagi Cornelisz untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang agar dia didapuk menjadi pemimpin berkat pangkatnya dan kharismanya. Dia segera mengumpulkan sejumlah orang yang bersedia menaati perintahnya dan menyingkirkan siapa saja yang dianggapnya sebagai ganjalan terhadap ambisinya, yakni orang-orang yang dianggapnya berpotensi membangkang atau mereka yang tidak berguna.

Dia mulai mengirimkan sekelompok orang ke pulau lain-sekarang bernama pulau Seal-dengan janji palsu bahwa terdapat sumber air minum di pulau tersebut. Setelah mendarat, salah satu anak buah Cornelisz segera melarikan perahu dan meninggalkan orang-orang malang tersebut mati perlahan-lahan.
Cornelisz lalu mengumpulkan para petugas tentara dan melucuti senjata mereka sebelum akhirnya membuang mereka ke kepulauan Wallabi barat yang jauh. Beberapa hari selanjutnya dia pura-pura mengirim orang ke pulau lain, namun saat sudah tidak terlihat dari daratan, ia mendorong mereka ke laut dan membiarkannya mati tenggelam.
Kini setelah memiliki kendali penuh terhadap cadangan makanan, minuman dan persenjataan, Cornelisz benar-benar berlagak seperti Tuhan yang berhak menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Dia berencana mengurangi jumlah populasi hingga mencapai 45 jiwa saja sehingga tersedia cukup kekuatan untuk membajak kapal yang lewat. Atas perintahnya, para pemberontak membunuhi orang yang tersisa secara sistematis tanpa ada siapapun yang mampu melawan. Kaum wanita tentu saja yang paling menderita karena menjadi korban pelecehan seksual. Lucretia juga tidak lolos dari pemerkosaan yang dilakukan oleh Cornelisz sendiri.
Di saat pulau Seal pilu menjadi saksi kejahatan yang tak terperikan, tiba-tiba tampak asap membubung dari pulau Wallabi barat dimana Cornelisz meningalkan tentara-tentara yang sudah dilucuti senjatanya dulu. Cornelisz segera mengirimkan anak buah ke pulau itu dan memerintahkan membunuh semua orang yang ditemui. Namun para tentara telah berhasil menjalin kontak dengan orang-orang yang selamat dari pulau Seal dan mengetahui apa yang direncanakan anak buah Cornelisz. Dibawah pimpinan Wiebbe Hayes, para tentara melawan balik dan berhasil memukul mundur kaki tangan Cornelisz keluar dari pulau Wallaby barat.
Cornelisz kini berada pada posisi yang sulit. Para tentara dapat mengirimkan sinyal ke arah kapal yang sewaktu-waktu lewat dan membeberkan kejahatannya. Dia harus segera menghabisi para tentara tersebut. Bersama 4 anak buahnya, Cornelisz mencoba mendarat di pulau Wallaby barat dan berusaha membujuk Hayes agar meninggalkan para tentara dan bergabung dengan dirinya disertai iming-iming persediaan makanan. Hayes tidak termakan hasutan dan bahkan para tentaranya berhasil menyergap anak buah Cornelisz. Ketiganya dibunuh dan hanya menyisakan Cornelisz sendiri. Sisa anak buah Cornelisz segera merencanakan serbuan besar-besaran menggunakan senapan musketnya guna membebaskan sang pemimpin. Di saat mereka hampir berhasil menang mendadak seperti dalam adegan film aksi, atas campur tangan yang Maha Kuasa, sebuah kapal terlihat di cakrawala.
Ternyata dengan melewati segala rintangan dan keterbatasan, kapten Pelsaert berhasil mencapai wilayah koloni Belanda dan kembali menggunakan kapal uap milik angkatan laut. Dibawah ancaman meriam Pelsaert dan masih tanpa pemimpinnya, yakni Cornelisz yang tertawan tentara, tidak ada pilihan lain bagi pemberontak kecuali menyerah.
Kapten Pelsaert segera mengadakan pengadilan yang tegas. Hukuman yang kejam dijatuhkan pada para pemberontak. Antek-antek terdekat Cornelisz masing-masing dipotong tangan kanannya dengan menggunakan pahat yang dipukul dengan palu. Hukuman terberat tentu dijatuhkan pada Cornelisz sebagai otak dari segala kekacauan. Bukan hanya satu, kedua tangannya dipotong dengan cara yang sama, dan potongan tangan tersebut digantung pada tiang. Selama pengadilan, peran Jacobsz dalam pemberontakan terkuak dan meskipun tidak terbukti, dia dikirim balik ke Hindia Belanda dan meninggal di dalam penjara.
Sejumlah pemberontak dibawa kembali ke koloni dengan dihukum diseret di haluan kapal selama di perjalanan. Jenis hukuman ini lazim dilaksanakan di kalangan angkatan laut pada masa itu. Dengan diikat dan diseret kapal, kulit terhukum akan tersobek oleh remis yang melekat pada lunas kapal. Sungguh menyakitkan. Dan tidak cukup sampai di situ, segera setelah kapal sampai di tujuan mereka akan dieksekusi mati. Hanya 2 pemberontak yang bernasib baik karena lolos dari hukuman mati. Keduanya ditinggalkan di pantai Australia dengan sedikit persediaan pangan, sehingga secara teknis mereka menjadi pasangan kulit putih pertama yang menghuni benua Australia jauh sebelum Inggris datang ke Australia.
Rentetan ketegangan tersebut memperburuk kondisi kesehatan kapten Pelsaert yang memang sudah buruk. Selang setahun kemudian dia meninggal.
Hayes disanjung sebagai pahlawan dan mendapat promosi kenaikan pangkat dan entah bagaimana selanjutnya namanya hilang dari catatan sejarah.
Lucretia Jansz secara tidak adil dituding sebagai sekutu pemberontak namun dibebaskan dan pada akhirnya dikirim balik ke Belanda.

Sulit diketahui secara pasti berapa jumlah korban akibat skandal ini, yang jelas separuh penumpang kapal lenyap. Bahkan hingga sekarang, kuburan masal korban masih bisa ditemukan di lokasi.
Sebagai pengingat akan insiden ini, kapal-kapal modern, terutama kapal militer telah menerapkan kebijakan kepemimpinan yang baru yang mengeliminir jalur komando yang absolut. Hirarki kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga tidak ada keputusan kritis yang bisa diambil tanpa persetujuan beberapa orang.
Sejarah dengan mahal mengajarkan pada kita bahayanya penyalahgunaan wewenang yang terlalu besar di tangan orang yang salah.
GIPHY App Key not set. Please check settings