SukaSuka

Perjalanan Sepasang Suami Istri Belanda ke Bromo tahun 1876

Potret turis Belanda di depan tangga naik ke kawah Bromo, nama dan tanggal tidak diketahui kekunoan.com

Pada tahun 1876, ada seorang Belanda dan istrinya yang melakukan perjalanan ke Gunung Bromo dan ceritanya diungkapkan dalam surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad pada tanggal 27-06-1876.

Sebelum viral seperti sekarang, sepasang turis Belanda pernah berwisata ke Bromo th 1876

Begini isi berita perjalanan tersebut dengan menggunakan istilah dan nama-nama tempat dalam ejaan masa itu:

Mereka berangkat pada Kamis tanggal 2 Mei sebelum fajar menyingsing dari Probolinggo untuk melanjutkan perjalanan melintasi Bromo dan Tosari menuju ke Pasoeroean. Selama perjalanan mereka, mereka ditemani oleh seorang dokter dan pemimpin lokal di Probolinggo serta sejumlah pembantu.

Bromo tahun 1902 kekunoan.com
Potret Gunung Bromo tahun 1902

 

Mereka menggunakan kuda untuk menuju desa Petalian.
Setelah mengganti kuda di Petalian, mereka mulai mendaki jalan yang licin dan curam.
Di tengah jalan, Asisten Wedono dari Sakapoera menunggu mereka dengan tim baru dan selusin kuli.
Kemudian, mereka turun di Sakapoera di rumah Wedono dan istirahat sejenak sebelum berangkat ke desa Ngadisarie, tujuan akhir mereka untuk hari itu.
Di Ngadisari, mereka menginap di suatu pesanggrahan pemerintah di luar desa.

Pada Jumat pagi dengan cuaca yang baik, mereka berangkat dari Ngadisarie dengan dibantu 30 kuli.

Setelah melewati jalan menanjak dan monoton di antara padang rumput, tiba-tiba mereka melihat Bromo dengan lautan pasir.
Sungguh pemandangan yang luar biasa!
Bromo, salah satu puncak tertinggi Pegunungan Tengger, tingginya sekitar 7 hingga 8000 kaki. terletak di atas permukaan laut.
Bayangkan sebuah lingkaran besar dengan diameter 20-25.000 kaki.

Junghuhn (seorang naturalis, pakar yang lama meneliti Hindia belanda pada masa itu)  berpendapat bahwa Lautan Pasir mungkin adalah kawah kuno Bromo, dan bahwa kawah Batu muncul di kemudian hari.
Namun saya (penulis berita) berpendapat bahwa Laut Pasir tidak lebih dari jurang yang kemudian dipenuhi material abu vulkanik Bromo.

Mereka kemudian menuruni jalur pegunungan yang terjal dan mencapai tulang rusuk Bromo. Di belakang mereka, karavan mereka bergerak maju dengan tenang, dengan tandu yang diangkut oleh kuli, kuli dengan barang bawaan, dan pengawalan oleh Kepala Suku (Tengger?) mereka.

Ketika mereka telah berkumpul kembali, mereka bersiap untuk mendaki gunung api. Akhirnya, mereka sampai pada titik di mana mereka harus turun dari kuda dan mencapai tepi kawah.
Mereka melihat ke dalam kawah; diameternya sekitar 5 – 600 kaki, dinding turun secara tegak lurus dan disana-sini gumpalan asap mengepul.

Sungguh, kesan begitu luar biasa sehingga bisa dimengerti kepercayaan penduduk gunung ini—yang diketahui tidak menganut agama Islam—bahwa Bromo adalah tempat tinggal para dewa, setan, dan roh.

Setiap tahun orang Tengger berziarah ke Bromo sambil melantunkan doa mereka memberikan persembahan.

Bromo tahun 1902 kekunoan.com
Potret Gunung Bromo dari sisi yang berbeda tahun 1902

 

Keyakinan mereka akan kesucian gunung ini begitu mengakar sehingga Petinggi mereka (kepada suku) dengan sopan memohon kepada dokter yang melempar batu ke dalam untuk tidak melakukannya, karena menurutnya setan atau dewa yang berdiam di bawah mungkin akan tersinggung karenanya.
Yang dikhawatirkan akibat dari tindakanya tersebut adalah lontaran batu kolosal yang akan menghancurkan kita semua…

Tapi ada saatnya datang dan pergi, dan ketika awan berangsur-angsur berkumpul, mereka berpikir sebaiknya, setelah berpamitan dengan Wedono yang ramah, mereka melanjutkan perjalanan ke Tosari.

Akhirnya mereka sampai di punggung gunung sebelah utara, yang disebut orang Munga.

Lalu mereka melihat desa Tosari tergeletak di depan. Mereka bisa melihat terbentang sebagian besar residentie Pasoeeroan dan Probolinggo, tersapu oleh birunya Laut Jawa, di pinggir jalan Pasoeroean beberapa kapal berlabuh, dan membiarkan mata mereka mengembara lebih jauh, mereka melihat pantai Madura di depan di kejauhan.

Di sebelah kanan beberapa puncak Pegunungan Tengger, di sebelah kiri mereka melihat Kawi, didepan mereka Ardjoena yang mengesankan, yang disebelahnya Penanggoengan.

Setelah sarapan pagi yang mengenyangkan, kami berpamitan dengan kedua rekan kami yang akan kembali ke Probolinggo melalui jalan yang sama. Selanjutnya mereka tiba di Pasrepen, dimana perjalanan akan dilanjutkan dalam waktu singkat hingga ke Pasoeroean.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
tombak pamor pulo tirto

Pamor Pulo Tirto: Filosofi dan Tuahnya

keris pamor banyu mili

3 Filosofi Pamor Banyu Mili Bagi Pemiliknya