SukaSuka TerinspirasiTerinspirasi HeranHeran NgakakNgakak

Sejarah Panjang Komik Indonesia Dari Masa ke Masa

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.” Begitu juga dengan dunia cergam (komik Indonesia / lokal) yang saat ini sering anda baca, beli, dan koleksi. Cergam dapat dicitrakan dalam kaitannya dengan nilai – nilai sejarah, refleksi pemikiran, dan budaya antar generasi. Cergam yang saat ini mulai terasa kembali gairahnya, juga tak lepas dari keberadaan cergam – cergam lawas puluhan tahun silam. Dan kecintaan terhadap cergam idealnya dibarengi keingintahuan yang besar terhadap sejarahnya. Artikel ini sekedar me-refresh pengetahuan Anda akan jejak dan sejarah cergam, serta aspek – aspek yang mempengaruhinya. Siap?

Bila ditinjau dari dasarnya, cikal bakal cergam sebenarnya sudah punya ‘gaya’ sendiri yaitu dalam bentuk relief candi, lalu wayang beber, dan wayang kulit. Tiga bentuk cergam ini sudah ada jauh sebelum komik Amrik menyerbu. Kita mulai dari relief.

ERA PRASEJARAH

            Cergam dapat diidentikkan sebagai buku atau kertas yang diberi gambar – gambar dan jalinan cerita. Marcel Bonneff dalam disertasinya tentang cergam yang ditulis tahun 1972 (komik Indonesia; Kepustakaan Poupuler Gramedia; 1998) menjabarkan bahwa cikal bakal dan sejarah cergam jika dirunut lebih jauh, ternyata sudah ada sejak zaman prasejarah, yaitu dari relief candi Prambanan dan Borobudur. Meskipun tak menyerupai cergam saat ini, relief – relief yang ada di dinding candi sebetulnya sudah berbiacara dengan gambar. Begitu pula dengan wayang beber yang bercerita lewat gambar diatas permukaan gulungan kain. Bukti pertama cikal bakal cergam sudah terdapat pada monumen – monumen keagamaan yang terbuat dari batu.

ERA 1930-AN

            Tahun 1930-an bisa disebut sebagai tonggak cergam modern Indonesia, yaitu dengan munculnya cergam strip Put On karya Kho Wang Gie dalam surat kabar Sin – Po – yakni sebuah media komunikasi Cina peranakan yang berbahasa Melayu. Put On muncul setiap hari Jum’at atau Sabtu. Cergam strip Put On ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1931. Sebetulnya sejak tahun 1930, Sin Po telah memuat beberapa cergam strip humor karya Kho Wang Gie, namun baru lewat cergam Put On, Kho mulai populer.

Mengisahkan tokoh gendut peranakan Cina yang tinggal di Jakarta dan selalu bernasib malang. Put On figambarkan sebagai tokoh yang baik hati tapi bodoh, yang sok pintar namun gagal serta menggali humor lewat kisah sehari – hari. Surat kabar Sin Po sendiri dibredel 30 tahun kemudian (1931 – 1960). Sesudah Sin Po, berturut – turut muncul cergam – cergam lainnya seperti Si Tolol (Star Magazine, 1939 – 1942) yang diterbitkan oleh kelompok media Melayu Tionghoa. Lalu ada juga cergam Oh Koen. Sementara itu di Solo muncul cergam strip legenda kuno dari Sumatera berjudul Mentjari Poetri Ridjaoe karya Nasroen A.S, yang terbit di mingguan Ratoe Timore pada 1 Februari 1939. Jika sebelumnya cergam Put On hanya menerapkan sebaris strip, cergam karya Nasroen mulai menerapkan cergam satu halaman yang siap dibukukan.

TAHUN 1940-AN S/D 1950-AN

            Tahun 40-an adalah masa pendudukan Jepang. Kala itu industri pers dimanfaatkan untuk keperluan propaganda Asia Timur Raya (1942), namun cergam masih tetap muncul. Misalnya saja cergam Pak Laloer (1942) dan legenda Roro Mendoet yang digambar oleh B Margono. Baru sekitar tahun 1947, pengaruh komik dari Amerika mulai masuk ke Indonesia dengan dimuatnya komik strip Tarzan. Selanjutnya komik – komik Amrik lainnya berdatangan seperti Rip Kirby, Phantom, Johny Hazard, Mandrake, Flash Gordon, dll. Kebanyakan komik – komik Amrik tersebut muncul dalam bentuk strip harian atau mingguan kemudian diterbitkan lagi dalam bentuk album atau kumpulan. Penerbit seperti Gapura, Keng Po dari Jakarta, serta Perfects dari Malang mulai mengumpulkannya menjadi sebuah buku komik.

Selepas itu mulailah pengaruh komik strip Amrik nampak pada cergam – cergam kita. Tengoklah cergamis Siauw Tik Kwie yang memunculkan tokoh Sie Djien Koei yang bercerita tentang seorang jendral dan pendekar yang hidup pada masa kaisar Toay Cung. Pada masanya konon cergam ini sangat populer – bahkan kepopulerannya meleihi komik Tarzan, Flash Gordon, dan jagoan komik Amrik lainnya. Tak mengherankan, pasalnya Siauw Tik Kwie adalah salah seorang cergamis yang andal dengan teknik dan keteramplan yang tinggi dalam menggambar. Cergam Sie Djien Koei bahkan memelopori komik silat yang nanitnya mulai populer sekitar tahun 1968. Kesuksean Sie Djien Koei merupakan salah satu bukti, bahwa pengeruh barat bukannya tanpa kelemahan, dan dunia Asia (dalam hal ini Cina dan Indonesia) mampu menjadi sumber ilham bagi cergamis. Setelah Siauw Tik Kwie, dari Semarang muncul petualangan ala Tarzan yakni cergam Wiro karya Kwik Ing Hoo, tapi ada juga cergam yang merakyat, yaitu Dagelan Petruk karya Indri Soedono.

Komik Sri Asih, super hero wanita asli Indonesia goresan R.A. Kosasih

Di tahun 1953, cergam mulai menapaki masa awal keemasannya dengan lahirnya sosok Sri Asih karya R.A Kosasih dan Nina Putri Rimba karya Djoni Lukman (Johnlo). Sri Asih yang diterbitkan oleh penerbit melodi di Bandung, berkisah tentang petualangan superhero perempuan (gayanya mengimitasi tokoh Wonder Woman). Sri Asih maupun Nina bisa dibilang cukup dipengaruhi oleh gaya komik Amerika yang kala itu sedang megalami masa keemasan. Bedanya, Sri Asih memakai kebaya dan kesaktiannyaberbau mistis sementara Nna bercerita tentang kehidupan rimba tropis di Indonesia. Tahun 50-an adalah masa yang sangat produktif bagi Kosasih. Sri Asih meskipun bukan komik Indonesia pertama, namun justru dijadikan rujukan dan patokan bagi pertumbuhan cergam. Kemudian berturut – turut muncul judul – judul cergam lainnya. Cergamis Johnlo mengeluarkan cergam Puteri Bintang  dan Garuda Putih atau cergam Popo dengan gaya meniru – niru Mickey Mouse. Ada juga Kapten Komit karya Kong Ong yang jelas mencoba mengimbangi Flash Gordon. Di era ini banyak bermunculan cergam-cergam yang mencoba mentransposisi (bahkan menjiplak) komik Barat, hingga hampir semua cergam kita bercerita sosokjagoan yang memanfaatkan kekuatan dan kesaktiannya untuk berpetualang, melindungi, dan membela keadilan serta kaum yang lemah.

Tahun 1954 muncul protes keras agar komik – komik Barat harus dimusnahkan. Beberapa kalangan pendidik dan para orang tua menganggap bahwa cergam memberikan pengaruh buruk bagi generasi muda. Sampai akhirnya beberapa penerbit – salah satunya penerbit melodi di Bandung dan Keng Po di Jakarta , berusaha untuk tetap memertahankan namun dengan strategi dan pemahaman baru, yakni cergam yang meggali dan bersumber kebudayaan nasional jugamemberikan sumbangan bagi kepribadian bangsa. Kosasih dan Johnlo yang akhirnya menghidangkan cergam yang kreatif dan mencerdaskan tanpa melupakan unsur pendidikan. Keduanya mengelurakan cergam wayang yang merupakan peleburan antara budaya Barat, Timur, dan Indonesia. Lalu terbitlah cergam wayang pertama Lahirlah Gatotkatja (1954-1955, Keng Po, Jakarta) Raden Palasara (Johnlo), cergam serial Mahabharata (R.A Kosasih). Masih berkaitan dengan cergam yang mendidik, di tahun 50-an harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta menampilkan salah satu tokoh cergam lain, Abdulsalam. Kebanyakan karyanya bercerita tentang kepahlawanan, perang, juga pemberontakan Pangeran Diponegoro.

Cergam wayang cukup sukses menggempur pasaran lokal dan mampu menggeser dominasi komik Barat. Tahun 1956. Bandung malahan menjadi pusat produksi cergam (salah satunya penerbit melodi). Pasokan cergam wayang melimpah, dmana menjadikan Kosasih sebagai cergamis utama. Selain wayang, para cergamis juga membuat cergam berisi legenda seperti legenda Sunda (Lutung Kasarung, Sangkuriang), legenda Jawa (Lara Djonggrang, Bawang Merah, Djoko Tingkir, dll) sampai tahun 60-an banyak cergamis terilhami dari repertoar klasik Wayang Purwa. Kegemaran masyarakat akan cergam wayang hanya bertahan sampai 1960.

TAHUN 1960 – 1963

Periode tahun 1960 – 1963 konon dikenal sebagai Periode Medan. Diawali oleh sebuah penerbit di Medan (Casao) yang tertarik untuk menerbitkan cergam wayang namun kurang mendapat simpati. Para penerbit akhirnya meminta para cergamis untuk membuat cergam dengan tema cerita legenda Minangkabau, Tapanuli, atau Deli Kuno. Tahun 1962 ketika penerbitan di Jawa muali surut, penerbitan di Medan justru sedang berada di puncaknya. Beberapa cergam yang populer antara lain Bunda Karung, Tambun Tulang, dan kesusastraan Melayu Kuno pun ikut disadur seperti Mirah Tjaga dan Mirah Silu atau Hang Djebat Durhaka yang disadur dari hikayat Hang Tuah.

Komik Dolores karya Taguan Harjo yang sangat bagus baik secara teknis pembuatan maupun cerita

Pada periode Medan, cergamis yang populer yaitu Djas, Zam Nuldyn, dan Taguan Hardjo yang menyumbangkan estetika dan nilai filosofi ke dalam seni cergam. Taguan Hardjo bahkan dikenal sebagai cergamis dengan ilustrasi yang bagus, gambar yang detail, dan pandai bercerita. Cergam – cergamnya yang terkenal antara lain Telendjang Udjung Karang, Kapten Yani dengan perompak Lautan Hindia, Batas Firdaus, dll. Sayangnya setelah Taguan dan Zam, periode Medan tak memiliki penerus, sehingga ditahun 1963 sedikit sekali cergam Medan yang diterbitkan. Pelan tapi pasti di tahun 1971 penerbitan Medan mulai mati suri.

TAHUN 1963 – 1965

            Cergam dan nasionalisme menjadi ide utama pada cergam – cergam yang terbit antara tahun 1963 – 1965. Tahun 1963, cergam – cergam bertema perjuangan disukai dan populer di Jakarta dan Surabaya. Masa itu, Indonesia berada di bawah kepemimpinan Soekarno dan sedang berjuang melawan kolonialisme. Semangat nasionalisme itu juga menular ke para cergamis. Perjuangan para cergamis melawan VOC dituangkan dalam wujud cergam seperti Trunodjojo atau Pattimura yang menceritakan kisah tentang perjuangan melawan pemerintah Hindia Belanda, atau cergam Pembebasan dan Srikandi Tanah yang berkisah tentang perlawanan terhadap Jepang atau cergam Pedjuang Tak Kenal Mundur.

Revolusi 1945 –  1949 juga ikut – ikutan dikisahkan dan diterbitkan dalam wujud cergam Toha Pahlawan Bandung sebagai wujud mengenang jasa para pahlawan. Beberapa cergam lainnya seperti Puteri Tjendrawasih, Pahlawan Jang Kembali, Bentjah Menggolak, Kadir dan Konfrontasi, Hantjurlah Kubu Nekolim, dll. Satu hal yang cukup menarik, cergamis juga menciptakan peranan wanita dalam membela negara dengan memunculkan sosok Melati, Srikandi, Tuti, dll. (Srikandi Tanah Minang, Srikandi Kemerdekaan dan Tuti Pahlawan Puteri).

Pada masanya, keadaan atau situasi yang terjadi turut memengaruhi gaya dan tema cergam. Pada masa penjajahan, cergam – cergam yang mengobarkan semangat kecintaan terhadap tanah air, visi nasionalis, serta perlawanan terhadap kolonialisme begitu menjamur. Termasuk cergam – cergam seperti Rahasia Borobudur, Wali Songo, dll.

TAHUN 1966 – 1967

            Setelah peristiwa tahun 1965; arah dunia cergam makin tak jelas. Tak ada lagi gambar cergamis yang profesional sejati, dan lagi kalangan cergamis kala itu tak memiliki kelompok yang teroganisir. Keadaan kian memburuk lantaran muncul cergam – cergam yang dipolitisasi tanpa nama cergamis. Para cergamis mulai khawatir karena mereka mulai dicurigai dan iinterogasi. Ganes TH adalah salah satu cergamis yang sempat diinterogasi lantaran aktivitasnya sebagai karikaturis di harian komunis Warta Bhakti. Polisi dan demonstran muda mulai menyita cergam – cergam yang diduga melanggar moral dan bertentangan dengan Pancasila. Pada masa ini, cergamis mulai sadar untuk membela kepentingan dirinya. Akhirnya dibentuklah Ikasti (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia).

TAHUN 1968 – 1980AN

            Selepas tahun 1971, cergam mulai bebas dari pengawasan yang ketat. Walau demikian, hanya penerbit melodi yang masih konsisten menerbitkan cergam. Di tahun ini, para cergamis ternyata masih menyimpan mimpi dan berupaya untuk konsisten untuk berusaha lepas dari pengaruh Barat dan menonjolkan budaya sendiri. Setelah tahun 1967, para penerbit mulai melirik masa depan cergam. Jumlah terbitan murah menigkat sejak tahun 1967 – 1968, dan saat kondisi ekonomi mulai stabil, tahun 1968 format cergam dan jumlah halamannya mulai diseragamkan.

Aneka genre cergam pun bermunculan, mulai dari cergam roman, fiksi ilmiah, horor, atau cerita detektif. Momennya bersamaan dengan hadirnya kembali bioskop Indonesia dengan film – film dari Amerika. Di satu sisi, ada juga cergamis yang berusaha kembali ke cergam wayang atau legenda. Dan ternyata, cergam silat dan cergam roman yang paling populer. Salah satu fenomena yang paling menarik yaitu terbitnya sebuah majalah cergam baru bulanan yaitu Eres (September 1969). Majalah ini mampu bertahan, karena ada pasokan teratur dari para cergamis; juga ada cerita pendek, wawancara dengan orang – orang terkenal, dll. Artikel yang diulas Eres juga menarik misalnya “Tjara Membatja Komik”. “Letak Komik dalam Masjarakat Indonesia:, dll.

Jika pada masa 50an banyak komik Amrik dan China, maka sesudah G 30 S-PKI, komik China dilarang muncul. Sebagai gantinya, muncullah komik – komik dari Inggris. Ceritanya pun lebih beragam, mulai dari perang dunia, roman, detektif, dan koboi. Komik – komik ini selanjutnya menjadi ‘model; pengembangan cergam di Indonesia. Ukurannya kecil – sekitar 13,5 x 17,5 cm, jumlah halamannya 56 – 64 hal, hitam putih dan hanya dua panel atas bawah. Bentuk ini dianggap efisien, murah, dan mudah pula pengerjaannya, maka kemudian dijadikan standar industri cergam di Indonesia sampai tahun 1980-an.

Tahun 1977, penerbit Maranatha Bandung mencoba-coba menerbitkan terjemahan Conan the Barbarian karya John Buscema. Rupanya (mungkin karena jenuh)cpasar bereaksi positif menerima model ini. Format lebih besar 20,5 x 27 cm dengan pembagian panel yang dinamis pada tiap halamannya. Lalu bersama terjemahan Conan yang lain, muncul peniru-penirunya dari penerbit yang sama dan juga penerbit – penerbit Jakarta, juga sempat beredar sangat banyak serial-serial superhero Amrik lain, Batman, Superman, Justice League of America dan sebagainya. Model cergam pun berubah.

Sementara sebuah strip, Garth karya Frank Bellamy yang muncul setiap hari di harian Kompas, mempunyai pengaruhh besar pada gaya beberapa cergamis kita. Sayangnya, pada masa ini penerbit berpikir lain. Karena tak mau repot – repot mengurus lisensi, muncul cergam – cergam ‘palsu’. Ada Flah Gordon palsu, Batman palsu, dan banyak lagi, dengan cara gambar asli dijiplak atau digambar ulang. Beberapa cergam dengan gambar meniru – niru gaya Osamu Tezuka [Simba, Atom Boy] juga muncul dalam bentuk cergam dongeng HC, Andersen. Mutu cetak pun terus diturunkan untuk mengejar biaya produksi murah, tapi keuntungan tetap bahkan dinaikkan. Cergam murah dan murahan juga banyak sekali di pasaran. Puncaknya, Tintin diterbitkan di Indonesia, lalu cergam Eropa lainnya menyusul seperti Smurf, Asterix, Trigan, dan sebagainya.

 

Sumber: Majalah desain grafis concept 2007

Penulis : Iwan Gunawan, Toni Masdiono

Ilustrasi sampul: Gundala dan Godam, superhero Indonesia karya Wid. NS

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Prasasti-prasasti Tertua Tonggak Sejarah Malang

Menapaki Jejak Para Sesepuh Pendekar Komik Indonesia