Semeru Mengusir Orang Belanda yang Telah Tinggal di Malang Ratusan Tahun

Ilustrasi Semeru meletus artificial intelligence kekunoan.com

Gunung Semeru terletak di pulau Jawa, di sebelah timur wilayah Malang yang menjadi pembatas dengan wilayah Lumajang.

Meskipun tidak ada kaitannya, pada saat berakhirnya kehadiran orang Belanda di wilayah Malang, gunung Semeru meletus.
Hal ini termuat dalam surat kabar De Indische Courant pada 8 Oktober 1941.

“Mungkin letusan ini dapat diartikan sebagai peringatan bahwa orang Belanda harus kembali ke negaranya di Eropa, karena orang Belanda di kawasan tersebut kurang diterima”, itulah yang tertulis di koran.

Nama Semeru telah ditabalkan sebagai nama jalan di beberapa kota, termasuk Kota Malang. Stadion yang terletak di Semeroestraat (jalan Semeru) dikenal sebagai Stadion Gajayana.

Gunung Semeru yang meletus sejak akhir September 1941 hingga beberapa minggu ke depannya belum menunjukkan tanda-tanda reda.
Gunung ini masih terus meluncurkan lava ke sungai-sungai di lerengnya. Asap kawah Semeru yang terus membumbung ke langit seakan mengingatkan kita bahwa gunung ini masih aktif.

Aktivitas Semeru yang meningkat telah mendorong penguasa hutan seperti macan tutul turun gunung dan mendekati perkebunan Belanda di lereng gunung sebelah barat.
Lereng timur Semeru masuk wilayah Lumajang, sedangkan lereng barat masuk ke wilayah Malang.

Ancaman hewan liar ini juga meningkatkan ketakutan orang Belanda yang masih berada di pedalaman dan berusaha menjaga produksi kebunnya.

Di tengah-tengah kota Malang, banjir terjadi akibat hujan lebat.
Jembatan utama yang berada dekat rumah sakit militer di Tjikelat (Celaket) rusak parah diterjang banjir.

Arus air sungai yang berhulu di Batu tampaknya ingin memisahkan wilayah Malang bagian barat dan timur dengan menghanyutkan jembatan utama kota Malang tersebut.

Di dalam kota, dalam beberapa bulan terakhir, jumlah becak tumbuh menjamur karena sulitnya kehidupan penduduk miskin. Pemandangan ini mengusik kenyamanan orang-orang Belanda.

Berita kehilangan dan pencurian yang dialami orang-orang Belanda juga mulai muncul.

Fakta menunjukkan bahwa populasi warga Eropa/Belanda di dalam kota terus meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Apakah yang tinggal di luar kota wilayah dan pedesaan telah merangsek memasuki kota? Bisa jadi.

Meskipun dalam situasi yang terus menegang akibat bayang-bayang tekanan invasi Jepang ke Jawa yang semakin dekat, kota Malang terus menerima kehadiran penghuni baru orang-orang Eropa.

Tampaknya hukum ekonomi tetap berlaku, tidak pandang bulu.
Harga rumah dan sewa rumah melambung tinggi di dalam kota.
Para pengembang dan para pemilik rumah masih sempat berpikir tentang kesempatan dalam kesempitan.

Berdasarkan laporan yang dikutip oleh Soerabaijasch Handelsblad pada tanggal 6 Januari 1942, jumlah warga Eropa/Belanda pada tahun 1941 naik dari 13.900 orang menjadi 14.870 orang.

Peningkatan mencapai angka 15.000 orang Eropa/Belanda mungkin akan dicapai pada tanggal 1 Februari. Sementara itu, di dalam kota (gemeente) terdapat 145.000 orang Indonesia dan 13.000 orang Cina serta orang Timur asing lainnya. Populasi perkotaan yang sekitar 173.000 orang jika dibandingkan sejak 10 tahun yang lalu menunjukkan pertambahan dua kali lipat

Saat letusan gunung Semeru terjadi, tampaknya tidak ada orang Eropa/Belanda yang peduli.
Orang-orang Belanda lebih sibuk mempersiapkan mobilisasi untuk menghadapi perang yang sudah di depan mata.
Mereka melakukan persiapan dengan menggali lubang untuk berlindung jika terjadi serangan udara dan membeli pasir dari hasil erupsi gunung Bromo dan gunung Semeru untuk mengatasi kebakaran.

Kecemasan orang-orang Belanda terlihat makin menjadi-jadi ketika terdengar kabar gerak maju Angkatan Udara Jepang yang telah memasuki wilayah Hindia Belanda.

Malang pernah menerima serangan bangsa lain seratusan tahun sebelumnya. Namun ancaman kali ini berbeda.
Ketika pasukan Inggris memasuki Malang pada tahun 1811, tidak ada ketakutan pada diri orang-orang Belanda, tetapi kini yang akan melakukan invasi adalah orang Jepang.
Bangsa Asia yang masih asing bagi sebagian besar orang Belanda.

Orang-orang pribumi di Malang yang tidak terlalu kebelanda-belandaan tampaknya lebih tenang dan hanya mengkhawatirkan keselamatan pribadi mereka dan keluarga jika terjadi serangan udara. Ada anggapan bahwa Jepang tidak memusuhi mereka.

Orang Cina agak khawatir karena pendudukan Jepang atas Manchuria.

Namun kedua kelompok itu sama-sama memiliki kekhawatiran terhadap potensi kecelakaan dari serangan udara yang bisa jatuh di pekarangan rumah mereka.

Orang Belanda hanya berharap ada bantuan dari orang pribumi yang pernah atau masih sebagai pejabat atau pegawai pemerintah. Mereka yang disebut terakhir ini, sudah barang tentu tidak bisa menolak.

Dr. Sjoeib Proehoeman, PhD, sebagai otoritas tertinggi di bidang kesehatan di Malang, telah mengambil inisiatif untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya serangan udara dengan mempersiapkan tindakan pencegahan atau mitigasi.

Beliau telah membangun rumah sakit darurat yang tersebar di seluruh kota, termasuk di perkampungan penduduk.

Fakta bahwa Dr. Sjoeib Proehoeman, PhD adalah pemilik portofolio tertinggi di Malang diantara golongan pribumi membuatnya nampak seperti pemimpin bagi penduduk pribumi.

Demikianlah, rentetan peristiwa buruk di wilayah Malang ini menambah beban orang-orang Belanda.

Saat mana orang-orang Belanda di Malang terus dilanda kepanikan dan ketakutan akan kedatangan militer Jepang, wilayah Malang justru sangat menderita akibat dampak dari letusan Semeru.

Selama ratusan tahun, orang-orang Belanda tidak pernah mengalami penderitaan seburuk ini di wilayah Malang.
Celakanya, pengalaman buruk yang bertubi-tubi ini justru terjadi pada masa detik-detik berakhirnya Belanda di Malang.

Jaman sudah berubah.

‘Hari Kiamat’ yang sangat ditakuti oleh orang-orang Belanda akhirnya tiba. Surat kabar Haagsche courant tanggal 04 Februari 1942 mengabarkan bahwa  Angkatan Udara Jepang telah mulai menjatuhkan bom di Surabaya pada tanggal 3 Februari 1942. Dermaga dan lapangan terbang Angkatan Laut Pemerintah Hindia Belanda di utara kota Surabaya berantakan.

Serangan juga telah menimpa lapangan terbang di Malang.

Lapangan terbang sebagai area vital untuk misi evakuasi sudah hancur dan tidak bisa digunakan. Praktis orang-orang Eropa/ Belanda di Malang dan Surabaya hanya tergantung kapal laut. Tentu saja itu sangat berisiko, karena akan mudah menjadi sasaran pesawat pembom Jepang yang terus mengintai.

 

Ditulis dari berbagai sumber oleh: Admin Kekunoan

Gambar sampul: Citra Artificial Intelligence Letusan Gunung Berapi

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
Kanjeng Sultan Hamangkoe Boewono VII kekunoandot.com

Syarat Dilanggar Hamengku Buwono VII, Tiga Putra Mahkotanya Gagal Jadi Raja

Bupati ngrowo dan Sidoarjo Raden Toemenggoeng Soemo Dirdjo kekunoan.com

Raden Toemenggoeng Soemo Dirdjo (Bupati Sidoarjo ketiga dan Tulungagung kesembilan)