Tanah dalam pandangan masyarakat Jawa yang hidup pada abad IX-XV M memiliki peranan dan nilai yang sangat penting. Ini didasarkan pada prinsip bahwa selain mata air, tanah adalah sumber penghidupan dan kesejahteraan. Tanah menghasilkan hasil bumi yang menjadi makanan pokok yang menghidupi rakyat dan negara. Masalah tanah adalah masalah utama yang senantiasa berhubungan dengan nasib manusia sepanjang hidupnya. Mengingat pentingnya peranan tanah dalam perekonomian rakyat dan negara, Majapahit sampai perlu memasukkan ketentuan tentang pemanfaatan tanah dalam sistim perundang-undangannya. Tanah seyogyanya diolah sebaik-baiknya agar memberi hasil yang banyak dan menguntungkan sebab apabila diterlantarkan maka akan dikenai denda oleh raja (Slametmoeljana, 1967: 37-41; Dwiyanto dkk, 1992: 51).
Banyak prasasti dari masa klasik yang memuat perihal pertanahan, baik mengenai statusnya, kepemilikannya sebelum dan sesudahnya, dan cara memperoleh tanah tersebut. Selama tanah masih berfungsi sebagai tempat menggantungkan hidupnya, tempat bekerja dan tempat tinggal maka tanah dan manusia dapat diibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kedua pihak berinteraksi secara simbiosis, saling memberi dan menerima sesuai dengan fungsi dan kemampuan masing-masing (Suhadi, 1993: 305).
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dan kemampuannya mengelola tanah, maka kebutuhan akan tanah akan meningkat. Hal ini akan meningkatkan pula nilai ekonomis tanah sebagaimana ditunjukkan dalam transaksi jual-beli tanah yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya yang hidup di jaman Jawa kuno (Bimas, 2000: 2). Raja sebagaimana disampaikan oleh Titi Surti nastiti (1982) tidak sepenuhnya memiliki hak atas tanah, karena rakyat juga memilikinya. Hal ini disimpulkan dari seringnya disebutkan adanya transaksi tanah seperti gadai dan penjualan tanah dalam prasasti-prasasti dari masa klasik Hindu-Budha. Bahkan dari sumber prasasti didapati suatu berita bahwa raja pun harus membeli untuk mendapatkan tanah (Nastiti, 1984: 13).
Berikut ini adalah tiga prasasti yang memuat permasalahan sengketa tanah:
Prasasti Himad
Kedua pihak yang berseberangan adalah para para rāma di Walandit melawan para dapur di Himad mempermasalahkan kedudukan dharma kabuyutan dan status desa Walandit terhadap Himad. Para dapur memberi kesaksian bahwa kundhi tani yang ditempatkan di Walandit sesungguhnya berasal dari Himad dan atas jasa para dapur Himadlah para rama di walandit mengetahui kerusakan sang Hyang Dharma Kabuyutan sehingga merasa berhak memungut pajak atas Walandit. Sebaliknya, para rama di Walandit memiliki kesaksian akan status swatantra Dharma Kabuyutan yang telah ditetapkan oleh Mpu Sindok 400 tahun sebelumnya. Demikian pula dikatakan bahwa desa Walandit mendapat kewajiban untuk melakukan pemujaan di Dharma Kabuyutan serta memeliharanya, juga mengawasi orang-orang yang mandi dan mengambil air suci di tempat suci itu. Kemudian tegas dikatakan bahwa Walandit bukan merupakan punpunan dari Himad.
Kasus ini berakhir di luar pengadilan dengan dimenangkannya para rama di Walandit oleh para pejabat negara sebab terdapat bukti yang meyakinkan.
Prasasti Tija
Akar masalahnya adalah transaksi jual-beli tanah perdikan Kawajnan di Haru-haru dan Tija. Dua puluh delapan tahun sebelumnya (dari saat penanggalan yang terdapat pada prasasti), Buyut Amataki membeli tanah sima tersebut secara waru kipas. Selanjutnya hasil bumi tanah tersebut dinikmati oleh Kbo Kikil sementara Awaju di Manayuti tidak lagi memiliki hak atas kedua tanah itu. Pihak Awaju di Manayuti tampaknya mempermasalahkan dan menggugat tanah itu lagi.
Atas pertimbangan raja, gugatan Awaju tidak dikabulkan sehingga kalah dalam perkara ini.
Kebijaksanaan raja tersebut kemudian didengar oleh seseorang yang bernama Rakryan Jasun Wungkal yang kemudian menghadap raja dan mengadu bahwa ia sesungguhnya memiliki hak atas tanah Kawajnan. Menurutnya, seharusnya semua pajak atas tanah Kawajwan diserahkan pada Nayaka dan ia merasa Awaju di Manayuti telah lalai membela kepentingannya sebagaimana seharusnya.
Raja pun menanyakan pada Awaju di Manayuti tentang hasil pajak yang dipermasalahkan oleh Rakryan jasun Wungkal akan tetapi Awaju di Manayuti beralasan bahwa hasil pajak telah diserahkannya pada Nayaka dan dipergunakan untuk menjamu Pangurang dan Angasu Wuwuh. Bahkan mereka juga menyangkal bahwa pajak atas perdikan Kawajwan di Haru-haru dan Tija wajib diserahkan pada Nayaka (Prasodjo, 1987: 26-27).
Selanjutnya raja mendengarkan kesaksian para Awaju di Palinjwan, di Padang, dan di Mapapan. Mereka membantah pernyataan Awaju di Manayuti dengan mengatakan bahwa mereka berhak menggadaikan, berhak dwal lpas, dan berhak menjual waruk tanah perdikan di Kawajwan. Mengenai pajaknya sendiri tidak harus diserahkan kepada para Nayaka, tetapi dikuasai oleh mereka sendiri, kecuali Panemas dan Paure yang memang harus diserahkan kepada nayaka (Prasodjo, 1987: 27-28).
Prasasti manah I Manuk
Prasasti ini memuat pengaduan kedua pihak yang berselisih, yakni pihak Aki Santana Mapanji dan kawan-kawan melawan pihak Apanji Anawung Harsa. Kepada Rakryan I Pakirakiran, Aki Santana Mapanji mengatakan bahwa tanah di manah I Manuk seluas 67 lirih adalah miliknya. Dengan menunjukkan bukti, ia menceritakan bahwa tanah tersebut berasal dari nenek moyangnya. Sang Apanji Anawung Harsa sebaliknya menegaskan bahwa tanah itu adalah miliknya yang telah digadaikan oleh nenek moyangnya sebesar satu setengah taker perak (Prasodjo, 1987: 31-32).
Perebutan status tanah bukan sima dalam prasasti Manah I Manuk ini lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomis tanah. Pada jaman Hindu-Budha tanah memiliki nilai yang tinggi, baik untuk diolah menjadi areal pertanian sehingga merupakan sumber pemasukan bagi pemilik tanah maupun dibeli oleh raja atau pejabat kerajaan untuk dijadikan sīma bagi bangunan suci.
Menilik dari ke tiga kasus di atas, sengketa tanah dapat terjadi baik pada tanah sima maupun tanah bukan sima.
Tanah sīma adalah sebidang tanah yang status pajaknya diubah atas perintah seorang pejabat tinggi berpangkat pamgat atau rakai (Jones, 1984: 59) ataupun oleh raja sendiri. Tanah sīma berstatus swatantra, artinya tidak boleh ditarik pajak oleh penguasa, khususnya patih, wahuta, nayaka, partaya, pangkur, tawan, tirip, rāma, dan petugas yang disebut mangilaladrabyahaji.
Apabila sebidang tanah ditetapkan menjadi sīma bukan berarti hak milik atas tanah itu juga berubah. Anugerah status sīma hanya menyangkut perubahan pengelolaan khususnya pengelolaan pajak, denda, dan pengabdian sedangkan hak milik dan hasil atas tanah tetap di tangan pemiliknya. Jadi tentang hak milik dan hasil tanah sīma sama dengan tanah bukan sīma.
Lalu dimanakah letak perbedaan antara tanah sima dengan tanah biasa?
Perbedaannya adalah dalam hal pengelolaan pajak, denda serta pengabdian dan pertanggungjawaban penduduk. Penduduk di lingkungan tanah sīma bertanggung jawab kepada kepala sīma (Darmosoetopo, 2003: 94).
(Ditulis ulang dari sumber: masrahmad.com, Persengketaan Tanah Pada Masa Jawa Kuno. Ilustrasi sampul: Estu Pramono)
GIPHY App Key not set. Please check settings
One Comment