HeranHeran SukaSuka SedihSedih MarahMarah

Senjata Tradisional Jawa Pada Masa Kerajaan Kuno

senjata tradisional jawa

Penguasa-penguasa kerajaan masa Hindu-Buddha perlu memperkokoh legitimasinya melalui berbagai sarana religius yang bersifat sakral kedewaan. Mereka memposisikan diri sebagai perwujudan dewa yang turun ke dunia, atau sebagai keturunan dewa, atau paling tidak sebagai yang terpilih oleh dewa diantara semua individu-individu lain agar perintahnya dituruti.

Namun alat kontrol sosial paling mumpuni tetap saja berupa kekuatan militer riil yang seringkali diukur dari jumlah prajurit dan kelengkapan persenjataannya. Untuk keperluan ini, raja memerlukan para abdi dalem keraton yang disebut mangilala drwya haji yang terdiri atas bermacam-macam profesi.

Beberapa mangilala drwya haji yang berkaitan dengan bidang militer terutama persenjataan yaitu:

1              Amaranggi                                          Pembuat sarung keris

2              Dhūra                                                    Pandai besi

3              Pandai Wsi                                          Pandai besi

4              Pande ḍaḍap                                        Pembuat perisai

5              Mangguñje/Pangguñje                     Penghias atau pembuat gagang keris

6              Tuha Gosali/Juru Gosali                 Pimpinan pembuat senjata

7              Mangrumbi                                         Pembuat senjata

8              Parang                                                 Pembuat senjata (pedang)

9              Sungka                                                 Pandai besi khususnya pembuat senjata

10           Taji                                                         Pembuat benda tajam di kaki ayam saat disabung

11           Wli wadung                                           Pedagang senjata

Para mangilala drwya haji ini tidak mendapatkan tanah lungguh (apanage) seperti halnya beberapa pejabat kerajaan yang pangkatnya lebih tinggi, melainkan diberi gaji dari perbendaharaan kerajaan dan mendapatkan perlindungan penuh.

Baca juga artikel yang mengupas tentang Mangilala Dwrya Haji, pegawai negri jaman Jawa kuno.

Bukti perhatian besar raja pada profesi pembuat senjata dan pandai besi adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Srī Mahārāja Rakai Phangkaja Dyah Wawa Srī Wijayaloka dalam Prasasti Sangguran (846 Saka/924 Masehi) yang ditemukan di daerah Batu, Jawa Timur, yang menetapkan Sīma Kajurugusalyan bagi para pandai besi di Manañjung (= … sīma kajuru gusalyan ing manañjung…) yang masih dalam wanua i Sangguran (Desa Sangguran). Penguasa lainnya, yakni Sri Maharaja Mpu Sindok dalam Prasasti Kampak (angka tahun sudah aus) yang diduga berasal dari daerah Trenggalek juga memberikan Sīma Pangurumbigyan yang berada di Kampak (Hardiati, 2010: 183). Kedua daerah tersebut mendapat anugerah atas jasanya dalam membantu pengadaan persenjataan saat terjadi peperangan.

Berikut ini beberapa profesi keprajuritan masa Jawa Kuno yang berkaitan dengan senjata yang didapati dari sumber Prasasti Baru (956 Saka atau 1034 Masehi) dari masa pemerintahan Raja Airlangga, Prasasti Pikatan/Pandlêgan (1038 Saka atau 1116 Masehi) dari masa Raja Bameswara, Prasasti Hantang (1057 Saka atau 1135 Masehi) dan dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya, yaitu:

1              Magalah               Pasukan bertombak

2              Mamanah           Pasukan bersenjata panah

3              Magaṇḍi              Pasukan yang bersenjata gaṇḍi (sejenis kapak)

4              Matênggrān       Pasukan yang bersenjata jerat (seutas tali besar)

5              Makuda               Pasukan yang berkendara kuda

6              Mahaliman         Pasukan yang berkendara gajah

7              Pakarapan           Pasukan pengendara kereta [perang]

8              Agilingan             Pembawa kereta perang

Bukti tekstual tentang jenis persenjataan yang dimiliki prajurit masih amat sedikit, namun kakawin Smaradahana yang digubah oleh Mpu Dharmaja dari kerajaan Kadiri dibawah pemerintahan Sri Maharaja Kameswara menyebutkan jenis-jenis pusaka yang digunakan para dewa dan raksasa Nilarudraka saat berperang. Senjata-senjata tersebut adalah limpung atau galah (tombak), kris (keris) panah dan gandi (sejenis kapak), kawaca (perisai) jantra (alat pengikat), dan danda (tongkat). Sedikit banyak informasi ini memberi gambaran kepada kita tentang alat perang yang lazim dikenal dan tidak asing dalam kehidupan sehari-hari kala itu.

Kris/ kêris (keris) adalah yang paling istimewa bagi orang Jawa karena secara khusus sering disebutkan dalam berbagai naskah kuno diantaranya Sutasoma, Arjunawiwaha, Sumanasantaka, Krsnakalantaka, dan juga Kidung Harsawijaya.

Cerita tentang keris yang paling terkenal tentulah yang terdapat dalam Gancaran Pararaton yang menceritakan tentang Ken Angrok yang memesan keris kepada Mpu Gandring atas nasihat Bango Samparan. Bango Samparan mengatakan bahwa keris yang dibuat oleh Mpu Gandring sangat bertuah dan tidak tertandingi.

…. Hana mitraningsung paṇde ring lulumbang, aran Mpu Gandring, yoni olih agawe kêris, norana wong atêguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukakên, ika konên akarya ḍuhung …..” (Padmapuspita, 1996: 19). Artinya: “…. ada teman saya seorang tukang pande berada di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, dapat memasukkan kekuatan/tuah (yoni) ketika membuat keris, tidak ada orang yang kuat dengan hasil buatannya, tidak harus dua kali apabila dihunuskan, untuk itu suruhlah beliau untuk membuatkannya…..”.

Setelah 5 bulan (limang wulan) keris masih belum jadi juga, gusarlah Ken Angrok yang tanpa pikir panjang menghujamkan keris setengah jadi tersebut ke perut sang pembuatnya. Sebagai bentuk penyesalannya karena membunuh Mpu gandring, Ken Angrok berkata:

(= Samangka ta arupa analahasa sira patinira Mpu Gandring. Ling Ken Angrok,, lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apaṇḍe ring Lulumbang,,) (Padmapuspita, 1996: 20&61). “Kalau nanti aku menjadi orang semoga kemuliaanku melimpah juga pada anak-cucu para tukang pande di Lulumbang”.

Keris tersebut mengantar Ken Angrok menjadi raja dengan nama abhiseka (gelar penobatan) Śri Rajasa Bhaṭāra Sang Amûrwabhûmi, namun kelak keris itu pulalah yang merenggut jiwanya.

Masih dalam Gancaran Pararaton yang sama, didapati pula kisah Raden Wijaya yang datang ke Daha tepat pada hari raya Galungan. Rombongan disambut meriah dan diajak ke halaman luar istana/ alun-alun (Manguntur) istana Daha untuk menyaksikan raja Jayakatwang yang ketika itu tengah mengadakan permainan susudukan.

,”… Alama sirāji Katong angênakên susudukan…”, artinya telah lama Sang Raja Jayakatwang mengadakan permainan tusuk-menusuk. (= ramening tatabuhan, kang aniningal pênuh tanpaligaran) (Padmapuspita, 1996: 32) banyak sekali suara bunyi-bunyian dan dilihat oleh banyak orang yang tiada selanya. Walaupun tidak diketahui dengan jelas jenis senjata yang dipergunakan dalam permainan itu, namun diperkirakan adalah keris atau tombak. Permainan ketangkasan serupa masih dijumpai di masa Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Nagarakrtagama yang dilaksanakan di tanah lapang Bubat.

Jelaslah bahwa keris mendapatkan tempat tersendiri bagi orang Jawa.

Pengelana Portugis yang singgah di pulau Jawa pada abad XIV menceritakan bahwa pria Jawa selalu menyelipkan kriss (keris) di pinggang kemanapun mereka pergi.

Keris pada masa lalu memiliki peran sangat penting karena merupakan pusaka atau ‘piyandel’ yang memberi kebanggaan dan rasa percaya diri pemakainya. Ia adalah lambang kejantanan dan harga diri pemiliknya. Inggris paham betul akan hal ini sehingga sesaat setelah berhasil mengalahkan prajurit keraton Yogyakarta pada Juni 1812, mereka melucuti dan merampas keris para pejabat dan para pangeran sebagai simbol penaklukan. Pihak yang dirampas kerisnya merasa sangat malu dan rendah diri sampai-sampai pergi keluar rumah pun ragu.

Pada masa damai seperti sekarang ini, keris lebih sering berfungsi sebagai pelengkap busana adat pengantin pria. Ia dihadirkan indah dilengkapi butiran permata atau intan (meskipun hanya imitasi) dan untaian bunga mawar-melati yang menghias hulu batangnya.

(Diolah dari sumber: Mengenal Senjata-senjata Tradisional dalam Sumber Tekstual Masa Kerajaan Kuno di Jawa, Aang Pambudi Nugroho)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

One Comment

Loading…

0
balingawan berdarah

Pembunuhan Misterius Meresahkan Penduduk Balingawan

Ilustrasi duel antara tentara saracen dan ksatria Eropa kekunoan.com

Saracen, Ironi Akhir Perjalanan Hidup Jendral Brilian