Medio Maret 1881, situasi keraton mulai memanas. Pemerintah pusat kolonial Belanda mendesak raja agar menunjuk putra mahkota.
Penyebab Memanasnya Tahta Keraton Yogyakarta Tahun 1881
Penyebab utama memanasnya kondisi keraton Yogyakarta medio 1881 adalah munculnya intrik-intrik politik dari kelompok-kelompok yang memiliki ambisi tahta. Mereka itu antara lain:
- Ratu Kedaton, salah seorang istri mendiang Hamengku Buwono V beserta putranya yang bernama Raden Mas Timur Muhammad atau Pangeran Suryo in Alogo yang sangat berambisi menginginkan agar putranya naik tahta;
- Permaisuri pertama, yakni Ratu Kencono yang tidak memiliki keturunan laki-laki yang merasa kedudukannya terancam, terlebih karena permaisuri kedua, yakni ratu Hemas memiliki sejumlah putra laki-laki yang pantas menjadi penerus. Sultan Hamengku Buwono VII memiliki 2 permaisuri; yang pertama bernama Ratu Kencono, sedangkan yang kedua adalah Ratu Hemas;
- Ratu Kedaton membentuk aliansi dengan ratu Kencono, yakni dengan cara menikahkan Pangeran Suryo in Alogo dengan gusti kanjeng ratu sekar kedaton, salah satu putri Ratu Kencono.
Kedua ratu ini sadar bahwa HB VII belum tentu mau menunjuk pangeran Suryo ing Alogo sebagai penggantinya, sehingga Ratu Kedaton meneruskan manuvernya dengan membujuk para bangsawan keraton sebanyak-banyaknya agar masuk kelompoknya.
Rencana ini didengar oleh putra Patih Danurejo V yang segera melaporkannya pada residen Belanda Van Bach. Berita ini lambat laun sampailah juga pada HB VII.
Guna membendung ambisi ini residen mendesak raja untuk segera menunjuk putra mahkota.
Desakan ini disambut baik oleh raja dengan mengumumkan GRM Akhadiyat, putra sulung raja dengan permaisuri Ratu Hemas yang baru berusia 10 thn sebagai calon penggantinya.
Sudah tentu hal ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi Ratu Kedaton dan ratu Kencono. Tanpa diduga keduanyapun merencanakan kudeta pengambilalihan kekuasaan.
Baca juga: Maharaja Surakarta Girang Menyambut Eyang Kanjeng Tuwan Gurnardur Jendral
Gerakan makar dipimpin oleh Taruno atmojo dan adik2 ratu kedaton. Namun sebelum bertindak lebih jauh, Gerakan ini berhasil dipatahkan oleh prajurit keraton dengan dibantu pasukan pemerintah Belanda.
Walaupun pada saat penyergapan Ratu Kedaton dan putranya berhasil lolos, mereka akhirnya tertangkap di tanah apanage keluarga ratu kedaton setelah diburu oleh pasukan belanda dan bupati sleman.
Melalui pengadilan keraton di Yogyakarta, keduanya dihukum buang ke Menado.Nasib ratu kencono jauh lebih baik akibat perkenaan raja. Ia hanya dicopot dari status permaisuri dan diasingkan dari keraton. Setelah diasingkan gelarnya diubah menjadi GKR Wandhan.
Kini kondisi menjadi stabil karena Ratu Hemas menjadi satu-satunya permaisuri sah.
Raja dapat mencurahkan perhatian pada GKR Akhadiyat yang kini telah bergelar Kanjeng gusti pangeran adipate anom hamangkunegoro.
Namun sultan HB VII kemudian mengambil keputusan yang mengusik kedamaian.
Mendadak beliu mengangkat salah satu istri selirnya yang bernama RA sriwulan sebagai permaisuri kedua yang bergelar GKR Kencono, persis seperti nama permaisuri pertamanya.
Dengan RA Sriwulan, HB VII mempunyai beberapa anak, yang tertua bernama pangeran mangku kusumo.
Pada April 1893 mendadak putra mahkota Akhadiyat meninggal dunia.
Kematian ini menimbulkan hebohan di kalangan aristokrat Yogyakarta
Terdengar kabar burung bahwa penyebab kematiannya adalah diracun Belanda. Hal ini tidak masuk akal, karena Belanda tidak memiliki motif dan kepentingan pada pangeran kanak-kanak ini.
Bisa jadi pelakunya adalah dari kelompok GKR Wandhan dan Ratu Kedaton yang membalas dendam.
Masalah makin pelik karena permaisuri II menginginkan pangeran mangku kusumo sbg pengganti Akhadiyat.
Sudah barang tentu HB VIII tidak setuju, karena statusnya sebagai permaisuri kedua, sedangkan permaisuri pertama masih hidup dan anak-anaknya masih berpeluang menjadi raja.
HB VII lantas menunjuk adik Akhadiyat bernama Raden mas Pratistha alias Pangeran Adipati Juminah yang telah berusia remaja pada 9 Nov 1893. 5 hari kemudian pangeran dikirab keliling Jogja menggunakan kereta kencana duduk disamping HB VII. Rakyat mengeluk-elukan putra mahkota yang baru.
Belanda sebenarnya telah merencanakan agar raja menanda tangani kontrak politik baru yang isinya memberi keleluasaan lebih besar pada Belanda dan makin mengerdilkan peran keraton.
Raja tidak ubahnya hanya mirip seperti pegawai pemerintah Belanda. Namun Saat Akhadiyat dilantik ia baru berusia 10 th, sedangkan HB VII yangkeberatan berdalih bahwa kontrak adalah wewenang penggantinya.
Pangeran Juminah dianggap sudah cukup umur sehingga disuruh meneken kontrak baru tersebut.
Pangeran menolak karena pasal-pasalnya yang sangat merugikan. Akibatnya, kontrak itu dibiarkan terkatung-katung bertahun-tahun lamanya sehingga menyebabkan hubungan pemerintah dengan keraton menjadi tegang.
Belanda menjadi curiga pada Juminah.
Kecurigaan makin menjadi-jadi setelah mendapati bahwa Adipati Juminah sering keluar dari keraton menuju ke berbagai makam dan tempat-tempat tertentu untuk menyendiri dan bermeditasi selama berhari-hari.
Tempat favoritnnya adalah Astono Pajimatan Imogiri terutama di Kompleks Astono Kasuwargan yang merupakan peristirahatan terakhir HBI, seorang tokoh penentang kompeni yang sangat dihormati.
Bila bersemedi ke pantai selatan, ia berangkat sendirian tanpa pengawalnya.
Baca juga: Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
Kebiasaan ini di mata residen Belanda sangat aneh dan mencurigakan, terutama karena:
– Pangeran dianggap melawan adat keraton karena baik raja yang berkuasa maupun putra mahkota biasanya tabu mengunjungi Imogiri. Pangeran bahkan kedapatan melewati gapura gading yang seharusnya tidak boleh dilewati raja dan calon raja karena digunakan untuk mengantar kereta jenazah raja yang meninggal menuju imogiri
– Dianggap akan memberontak karena mengacu pada aktifitas pangeran diponegoro dan pakubuwono VI dahulu yang menyusun kekuatan dari daerah selatan
Residen Belanda mendesak HB VII agar menghukum dan mencopot gelar putra mahkota karena ditengarai akan memberontak.
HB VII menolak karena menganggap tidak ada yang salah pada diri putranya. Raja memahami bahwa masalah sebenarnya adalah penolakan Juminah untuk menandatangani kontrak politik yang disodorkan Belanda.
Namun terang-terangan melawan pemerintah Belanda juga tidak menguntungkan, bahkan bisa berakibat fatal bagi dirinya dan nasib kerajaannya sehingga raja menawarkan jalan tengah.
Saat itu, pengadilan bagi anggota keraton masih merupakan wewenang raja dan bukan pengadilan Belanda.
Pengadilan keraton menjatuhkan keputusan bahwa pangeran mengalami kelainan jiwa dan terlalu terobsesi dengan dunia ghaib sehingga tidak layak diaangkat sebagai raja.
Gelar putra mahkota dicabut. Karena sakit jiwa tentu saja tidak perlu dihukum apapun.
Dengan demikian raja menyelamatkan Juminah dari hukuman buang.
Setelah prahara itu, Juminah tinggal di luar keraton hingga akhir hayatnya.
Posisi adipati anom kembali kosong.
Untuk ketiga kalinya Sri Sultan memilih putra mahkota dari keturunanya dengan permaisuri ratu Hemas, bernama Gusti Putro
Lagi-lagi dengan kembali mengabaikan permintaan Ratu Kencono II dan pangeran Mangku Kusumo
Akhir 1902 Raden Putro dilantik atas persetujuan Residen.
Pertengahan 1912 mendadak putra mahkota menderita sakit
Semula hal ini tidak diketahui pemerintah kolonial, raja pun tengah sibuk menyiapkan pernikahan salah satu putrinya dengan pakuBuwono X dari Surakarta.
Upaya pengobatan medis dilakukan, juga oleh pemerintah Belanda, namun hasilnya sia-sia.
Pada 21 Februari 1913 Pangeran Putro meninggal dunia.
Sri sultan sedih, untuk kesekian kalinya ia gagal menunjuk calon penggantinya.
Baca juga: Tuah Pusaka Keraton Menghantar Dua Pangeran Naik Singgasana
Masyarakat Jogja mengait-kaitkan prahara keraton ini dengan apa yang terjadi pada masa muda HB VII.
Dahulu, Sultan Hamengku Buwono VI kurang setuju terhadap tindakan putra mahkotanya, yakni Raden Mas Murtejo yang memilih Raden Ajeng retno Purnomo sebagai pendampingnya.
Alasannya, karena sultan sangat tidak menyukai ayah Raden Ajeng Retno Purnomo.
Karena terus didesak oleh Raden Mas Murtejo, akhirnya sultan pun setuju dengan syarat agar tidak menjadikannya sebagai permaisuri.
Syarat ini kelak dilanggar, Saat bertahta Raden Mas Murtejo yang bergelar Hamengku Buwono VII justru mengangkat Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai permaisurinya.
Konon, akibat pelanggaran itu, putra-putra ratu Hemas nyaris tidak ada yang bertahan menjadi putra mahkota.
Penulis: Admin Kekunoan
Sampul: Gambar Kanjeng Sultan Hamangkoe Boewono VII diambil dari Pinterest, diwarnai oleh Siswahyu
GIPHY App Key not set. Please check settings
One Comment