Tambora, Pompey dari Timur yang Hampir Melumat Sanggar

Ilustrasi letusan gunung berapi

 

April adalah awal musim kemarau di sebuah kerajaan kecil di pantai timur laut pulau Sumbawa bernama Sanggar. Raja akan mengirimkan rakyatnya ke sawah untuk persiapan memanen padi yang akan menguning dalam beberapa minggu lagi. Sampai saat itu tiba, para pria di desa Koteh terus bekerja di hutan-hutan sekitar menebang pohon-pohon cendana yang sangat penting bagi para pembuat kapal di jalur sibuk wilayah Hindia Belanda itu.

Di ladang-ladang Sanggar dan enam kerajaan pulau yang bertetangga, penduduk menanam kacang hijau, jagung dan padi, juga tanaman komersial untuk pasar regional yang menguntungkan: kopi, lada, dan kapas. Lainnya mengumpulkan madu atau sarang burung mungil dari tebing-tebing pinggir laut, makanan afrodisiak yang banyak dicari orang-orang Cina kaya. Sementara itu, di padang-padang rumput desa itu, para pembiak kuda Sumbawa yang terkenal merawat ternak mereka. Sang raja dan penduduk desanya menukar komoditas-komoditas ini dengan beraneka beraneka benda praktis dan mewah, termasuk sapi, garam, dan rempah-rempah dari pulau-pulau di timur, mangkuk perunggu dari Cina, dan pot-pot cantik dari tempat yang jaman sekarang dikenal sebagai Kamboja dan Vietnam.

peta sumbawa kekunoan.com
Peta Sumbawa ini memperlihatkan bagaimana Tambora mendonimasi semenanjung Sanggar di timur laut, yang sejak 1815 perpenduduk jarang. Kerajaan Pekat dan Tambora musnah total sementara Sanggar sanggup bertahan walaupun kondisi perekonomiannya menjadi carut marut serba kekurangan.

Sumbawa mulai dihuni oleh orang-orang dari pulau-pulau yang lebih besar di sekitarnya—Jawa, Selebes, dan Flores—sekitar empat ratus tahun sebelumnya. Para perintis ini mengubah bentangan-bentangan luas lanskap berhutan lebat di sana menjadi sawah dan padang rumput untuk menggembalakan ternak dan kuda. Sumbawa pra-erupsi kaya akan beragam etnik dan bahasa.

Orang Sanggar, misalnya, di semenanjung timur laut, sama sekali tidak mirip rekan sepulau mereka di sisi barat Sumbawa; mereka juga tidak bisa saling memahami bahasa masing-masing. Di antara pulau-pulau besar, Sulawesi mempertahankan pengaruh yang paling kuat terhadap Sumbawa sebagai semacam negara bawahan, dan ibu kota Makasar membebankan pajak yang berat pada penduduk Sumbawa. Lalu, di abad ke-17, Belanda tiba untuk mengklaim wilayah ini. Untung bagi penduduk Sumbawa, orang Belanda tidak begitu tertarik pada pulau mereka meski pada saat yang sama mengendalikan kekuasaan Makasar, maka, awal abad ke-19 itu menyaksikan Sumbawa berada dalam posisi yang lebih baik daripada yang sudah-sudah: secara ekonomi terintegrasi dalam wilayah itu, tetapi dengan cukup banyak kebebasan politik.

Namun, bahkan di tengah kemakmuran ini, raja Sanggar tidak pernah bisa tenang. Sekarang setelah kondisi pelayaran membaik sesudah musim hujan mereda, dia harus waspada mengamati bajak laut dari kepulauan Sulu di utara, yang mengincar desa-desa pesisir untuk mencari manusia untuk pasar budak. Dengan perahu-perahu ramping yang membawa sampai seratus awak bersenjata, dan kelihaian menggelar serangan mendadak, para bajak laut itu menjadi pemandangan yang mengerikan bagi orang Sanggar. Bila ada peringatan yang memadai, para pemuda desa mungkin sempat menghindar jauh ke dalam hutan. Tetapi siapa pun rentan, dan sang raja tidak bisa memikirkan anak-anaknya sendiri tanpa disertai kegelisahan. Begitu diculik oleh bajak laut, semua hak istimewa anak-anaknya—dan kehidupan yang bahagia di desa di Sumbawa—akan hilang selamanya. Namun, perbudakan adalah fakta hidup. Meski sumber daya berlimpah di pulau-pulau itu, tenaga manusia tidak. Dengan demikian manusia menjadi komoditas yang paling bernilai, dan pelayaran melintas samudra sungguh kejam dan berat. Antara 1770-an dan 1840-an, beberapa ratus ribu orang berpindah tangan di pasar-pasar budak Hindia Timur, sistem budak terbesar di luar zona Atlantik.

Sumber kecemasan lainnya terletak lebih dekat: gunung Tambora yang perkasa, puncak tertinggi di sebuah kepulauan yang kaya dengan pucak-puncak vulkanis berselimut awan. Lereng-lereng lebar Tambora yang tertutup hutan mendominasi semenanjung Sanggar, dan puncak kembarnya yang khas berfungsi sebagai titik navigasi utama untuk pelayaran—dan bajak laut. Selama, beberapa tahun, Tambora yang lama dorman sudah mengeluarkan gemuruh secara teratur, mengepulkan awan-awan gelap dari puncaknya.

Dahsyatnya semburan lava Tambora (Sumber: learnodo-newtonic.com)
Dahsyatnya muntahan Tambora yang berkali-kali lipat lebih besar daripada Krakatau (Sumber: learnodo-newtonic.com)

Sebuah kapal Inggris yang dinahkodai diplomat dan naturalis John Crawfurd berlayar dekat gunung yang bersendawa itu pada 1814:

Dari kejauhan, kepulan-kepulan abu yang dilontarkannya
Menggelapkan satu sisi caklrawala seolah memberitahukan
kemunculan hujan badai tropis yang mengancam … Saat kami
mendekat, sifat asli fenomena itu menjadi jelas, dan abu bahkan
berderai jatuh ke geladak.

Penduduk lokal memiliki kepercayaan yang berlainan mengenai penyebab bangunnya gunung itu. Sebagian menganggap itu perayaan pernikahan di antara para dewa, sementara lainnya memiliki pandangan lebih suram. Suara gemuruh itu menandakan kemarahan, kata mereka. Lainnya lagi percaya para dewa meradang karena penduduk membiarkan orang-orang asing berkulit putih dengan kapal dan senjata memperbudak mereka di perkebunan di pulau Jawa dan Makasar.

Sang raja merasa pendapat ini berkaitan dengan dirinya. Di seluruh Hindia Timur, vulkanisme bertindak sebagai simbol kekuasaan politik. Para sultan, misalnya, menampilkan diri sebagai keturunan sang dewa gunung, Siva. Erupsi gunung api dengan sendirinya dipandang sebagai cerminan urusan-urusan manusia, sebagai hukuman atas buruknya pemerintahan para penguasa. Gemuruh Tambora menjadi berita buruk bagi sang raja, juga membuat rakyatnya ketakutan dan menggoyahkan legitimasinya di mata mereka.

Pada malam hari 5 April 1851, kira-kira di saat para pelayannya sedang mengangkati piring setelah makan malam, sang raja mendengar halilintar menggelegar. Mungkin pikiran paniknya yang pertama adalah bahwa orang yang ditugasi mengawasi pantai jatuh tertidur dan sebuah kapal bajak laut berhasil merapat ke pantai dan menembakkan meriam. Tetapi, semua orang justru sedang mendongak menatap Gunung Tambora. Suatu luncuran api melejit ke langit dari puncak gunung, menerangi kegelapan dan mengguncang bumi di bawah kaki mereka. Suaranya begitu luar biasa, begitu memekakkan.

Semburan-semburan besar api keluar dari Tambora selama tiga jam, sampai kabut abu yang gelap itu tidak bisa dibedakan dengan kegelapan alami, seolah mengumandangkan akhir dunia. Lalu, sama mendadak seperti dimulainya, tiang api itu runtuh, bumi berhenti bergoyang dan raungan-raungan yang menggetarkan tulang itu menyayup. Selama beberapa hari berikutnya, Tambora terus menggelegar sesekali, sementara abu melayang turun dari langit. Tetapi bagi sang raja, keadaan darurat sepertinya sudah selesai. Keprihatinan pertamanya adalah panen padi yang sudah menjelang. Penduduk desa membanting tulang siang dan malam di sawah untuk membersihkan lapisan tebal debu kelabu seperti pasir dari tanaman padi—benar-benar pekerjaan yang sangat merepotkan.

Sementara itu di tenggara di ibu kota Bima, para administrator kolonial cukup mencemaskan peristiwa 5 April itu hingga mengirim seorang pejabat, bernama Israel, untuk menyelediki situasi darurat di semenanjung Tambora.  Kita tidak tahu apakah dia singgah untuk membahas situasi itu dengan raja Sanggar, tetapi pada 10 April, semangat birokratis pria yang nahas ini membawanya tepat ke lereng Tambora. Di sana, di hutan tropis yang lebat itu, sekitar pukul 7 malam, dia menjadi salah satu korban pertama erupsi vulkanisme terdasyat dalam catatan sejarah manusia.

Dalam hitungan jam, desa Koteh, beserta semua desa lain di semenanjung Sanggar, musnah seluruhnya, menjadi korban Tambora yang menghancurkan dirinya sendiri. Kali ini tiga tiang api yang terpisah menyembur dalam suatu gelegar riuh dari puncak ke barat, menyelimuti bintang-bintang lalu menyalur menjadi sebuah bola api yang bergulung-gulung pada titik yang jauh lebih tinggi daripada letusan lima hari sebelumnya. Gunung itu sendiri mulai bersinar ketika aliran-aliran batu cair yang menggelegak mencari jalan menuruni lerengnya. Pada pukul 8 malam, kondisi mengerikan di seluruh Sanggar terus memburuk, karena hujan batu apung yang turun, sebagian “sebesar dua kepalan tangan”, bercampur dengan curahan hujan dan abu panas.

Di lereng utara dan barat gunung api itu, desa-desa yang tadinya berdiri utuh, dengan total jumlah penduduk mungkin sepuluh ribu jiwa, sudah habis dilahap pusaran api, abu, magma mendidih dan angin berkekuatan hurikan. Pada 2004, satu tim arkeolog dari University of Rhode Island menggali sisa-sisa pertama sebuah desa yang terkubur oleh erupsi itu: sebuah rumah di bawah tiga meter lapisan batu apung dan abu vulkanis. Di dalam puing yang dikeliling tembok, mereka menemukan dua jasad yang  sudah menjadi karbon, mungkin pasangan suami istri. Sang istri, tulang-tulangnya sudah berubah menjadi arang akibat panas, tergeletak menelentang, kedua lengan terentang, memegang sebuah pisau panjang. Sarungnya, yang juga sudah menjadi karbon, masih tersampir melintangi bahunya. Dia terhenti oleh maut berapi selagi melakukan pekerjaan rumah tangga yang amat biasa—menyiapkan makan malam—sangat mirip dengan sosok-sosok membatu wanita, anak-anak dan binatang peliharaan di Pompeii yang sudah terkenal di awal abad ke-19 itu. Namun, keadaan sang wanita Tambora yang sudah menjadi arang merupakan bukti pembakaran pada suhu yang jauh lebih tinggi daripada yang dihasilkan Vesuvius pada 79 Masehi.

Kembali di sisi timur gunung, hujan batu vulkanis digantikan guguran abu, tetapi tidak akan ada kelegaan bagi penduduk desa yang selamat. Erupsi “pilinian” (mengambil nama Pliny Muda, penulis Romawi yang meninggalkan laporan terkenal tentang tiang api vertikal Vesusius) yang spektakuler seperti jet terus berlanjut tanpa mereda, sementara aliran deras batu dan magma yang berpijar, disebut “aliran piroklastik”, menghasilkan gumpal-gumpal besar awan debu ungu kemerahan yang menyesakkan. Saat sungai-sungai magma panas ini mengalir memasuki laut yang sejuk, letusan-letusan sekunder melipatduakan awan abu aerial yang diciptakan oleh semburan plinian pertama. Tabir raksasa dari uap dan awam abu membubung dan melingkari semenanjung jangka pendek yang sangat mengerikan.

Mula-mula, “angin puyuh dahsyat” menghantam Koteh, menerbangkan atap rumah-rumah. Ketika kekuatannya bertambah, hurikan vulkanis itu mencabut pohon-pohon besar sampai akar dan melontarkannya seperti lembing-lembing menyala ke laut. Kuda, ternak, dan manusia semuanya tersapu ke atas dalam angin panas itu. Mereka yang masih selamat selanjutnya menghadapi satu lagi elemen mematikan: gelombang-gelombang raksasa dari laut. Sebuah kapal Inggris yang sedang meluncur agak jauh dari pesisir di selat Flores, yang tertutup abu dan diberondong batu vulkanis, tertegun ketika tsunami setinggi empat meter menyapu bersih sawah-sawah dan pondok-pondok sepanjang pesisir Sanggar. Lalu, seolah gabungan bencana dari udara dan laut itu belum cukup, tanah sendiri mulai melesak ketika runtuhnya kerucut Tambora menyebabkan seluruh dataran sedikit demi sedikit ambles.

Sulit dipercaya ada yang bisa selamat dari kehancuran yang demikian mengerikan, tetapi raja Sanggar dan anggota keluarganya entah bagaimana berhasil lolos, juga beberapa puluh warga desanya. Mungkin dia memakai hak istimewanya sebagai raja untuk meminta kuda-kuda terbaik dari istal dan pergi cukup cepat di malam petaka 10 April itu demi menghindari jangkauan letusan, dengan mengikuti jalur darat ke selatan yang menjauhi laut, yang interaksinya dengan aliran piroklastik menciptakan angin puyuh dan tsunami yang mematikan.

Dengan terus menyusuri jalan sempit antara Koteh dan Dompu – satu-satunya jalur di semenanjung itu yang terhindar dari banjir lava-pelarian mereka yang sulit dibayangkan itu melibatkan sungai-sungai berpijar setinggi lima meter yang meletup-letup dan berasap di kanan kiri, keadaan mereka seperti mukjizat Laut Merah. Raja Sanggar dan rombongannya berutang sisa nyawa yang masih melekat pada diri merea kepada topografi Tambora, yang mengarahkan aliran magma erupsi 10 April itu lebih ke barat laut dan selatan, juga kepada angin pasat, yang meniup abu vulkanis ke arah barat menuju pulau Bali dan Jawa.

Pada hari-hari tanpa matahari sesudah malapetaka itu, mayat-mayat bergelimpangan tak terkubur sepanjang jalan-jalan di sisi timur pulau yang tidak dihuni antara Dompu dan Bima. Desa-desa berdiri lengang, penduduknya yang selamat memencar mencari makanan. Dengan hancurnya hutan dan sawah, dan sumur-sumur di puau teracuni abu vulkanis, sekitar empat puluh ribu penduduk pulau akan mati akibat penyakit dan kelapatam dalam minggu-minggu yang menyusul, membawa taksiran korban jiwa akibat erupsi menjadi lebih dari seratus ribu jiwa, yang terbesar dalam sejarah.

Lukisan amuk Tambora dilihat dari kejauhan

Pada suatu hari, sesudah sekian minggu, sang raja mendengar bahwa ada orang-orang Inggris datang ke pulau itu dengan kapal penuh beras. Dia bergegas ke Dompu, dan di sana dia memanfaatkan gelarnya untuk bisa bertemu muka dengan sang perwira Inggris, Letnan Owen Phillips dari angkatan laut. Meski putus asa dan dicekam duka, sang raja mau tak mau harus tetap waspada saat diantar sendirian ke hadapan sang duta gubernur Inggris. Dalam pandangan raja, para tuan Belanda adalah lintah perca yang menghisap habis darah penduduk asli, sementara orang Sumbawa sendiri menyerupai lembu : kekar, hewan pekerja yang tahan menderita. Tetapi penakluk baru ini, orang-orang Inggris, tampak seperti macan bermuka merah, sampai ke kulit binatang yang dipakai para perwiranya untuk mendandani diri: memukau namun mematikan.

Tetapi, setelah selamat dari erupsi Tambora yang mengerikan, sang raja Sanggar memiliki keberanian dan kecerdikan yang cukup untuk menghadapi Letnan Phillips dari Angkatan Laut Kerajaan. Kepada Phillips dia menguraikan apa yang terjadi pada semenanjung Sanggar pada 10 April 1815-satu-satunya laporan saksi mata yang ada mengenai letusan dahsyat Tambora. Dia menuturkan kisahnya dengan cukup baik hingga dahsyat Tambora. Dia menuturkan kisahnya dengan cukup baik hingga sang perwira Inggris menghadiahinya beberapa ton beras untuk memberi makan rakyatnya. Letnan Phillips juga mengutip sang raja panjang lebar dalam laporan-laporan. Sang Raja dengan penuh emosi menyampaikan rasa terima kasihnya kepada si orang Inggris tetapi cepat-cepat berangkat, tak diragukan lagi pikirannya masih terfokus pada kesintasan dan tidak terlalu menyadari jasanya bagi sejarah.

 

(Sumber: Tambora, Letusan Raksasa dari Indonesia 1815, Gillen D’Arcy Wood. Ilustrasi: smithsonianmag.com)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

One Comment

Loading…

0
Ilustrasi duel antara tentara saracen dan ksatria Eropa kekunoan.com

Saracen, Ironi Akhir Perjalanan Hidup Jendral Brilian

ruin of moendoet kekunoan.com

Mengintip Dunia Kuno Lewat Litografi