P ara pendiri bangsa kita, diantaranya Moh. Yamin, RM. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo memiliki kepekaan dan kepedulian sejarah yang tinggi saat merumuskan lambang negara Republik Indonesia yaitu Garuda Pancasila.
Pemilihan Garuda tentu telah melalui telaah yang mendalam berdasarkan nilai dan siratan makna yang terkandung dalam cerita Garudeya. Kisah ini berkaitan erat dengan Samodramantana atau Amretamantana yang merupakan salah satu episode cerita bagian pertama (parwa) wiracarita Mahabarata, yakni Adiparwa.
Kisah serupa juga tergambar pada kisah Jatayu dari wiracarita Ramayana.
Susastra tekstual Adiparwa telah dialihaksarakan (ditransliterasikan) dan dialihbahasakan (ditranslasikan) sejak masa pemerintahan Dharmmavamsa Tguh (Dharmawangsa Tguh) dari Sansekerta ke Jawa kuna pada awal abad XI Masehi. Dalam bentuk susastra visual, kisah ini baru hadir sebagai relief candi pada jaman Majapahit pada abad XIV M yakni pada candi Kidal yang pernah direnovasi pada masa keemasan Majapahit oleh Hayam Wuruk, pada candi Kedaton dan candi Sukuh.
Relief kisah Garudeya muncul paling banyak jumlahnya dan runut penuturannya di candi Kedaton. Pada candi Sukuh jumlahnya lebih sedikit, sedangkan pada candi Kidal hanya ditampilkan adegan utama (key scene) sebanyak tiga panil yang terpahat sebagai pilaster (tiang semu) bagian tengah batur cabdi (soubasement) sisi sebelah selatan, timur dan utara. Cara membacanya berlawanan dengan arah jarum jam atau disebut prasawya.
Episode ini mengisahkan drama genealogis keluarga Vyasa (Abiyasa) dengan dua istrinya, yakni Dewi Winata dan Dewi Kadru. Kedua istri yang tidak mampu memberikan keturunan atau mandul ini mengajukan permohonan agar diberi momongan. Sesuai permintaan masing-masing, Vyasa memberikan tiga butir telur pada Winata untuk dierami. Namun akibat ketidaksabaran Winata, yang berhasil menetas hanya sebuah dan lahir sebegai orok sempurna dalam bentuk mahluk antrophomorsis (manusia setengah burung) bernama Garudeya. Adapun istri yang lain, yakni Kadru berhasil menetaskan 100 butir telur yang dimintanya dalam bentuk 100 ekor ular.

Panil I adalah relief Garudeya memanggu ular-ular pada pundaknya. Panil ini mengisahkan Winata dan putranya Garudeya yang terpaksa menjalani hidup sebagai budak dari Kadru. Garudeya bertugas mangasuh ular-ular putra Kadru. Mereka secara licik terjebak tipu daya Kadru ketika kalah bertaruh menebak warna kuda Uchaiswara yang menyembul keluar dari dalam samodra susu (Samodra/Ksirarwana). Pihak yang kalah sesuai perjanjian harus menghamba atau menjadi budak pihak pemenang. Kondisi ini bisa diartikan sebagai belenggu penjajahan manusia atas diri manusia yang lain. Secara umum bila dikaitkan dengan kondisi pasca kemerdekaan, bagian kisah ini menyimbolkan imperalisme atau kolonialisme.
Panil II yang berada di sisi timur digambarkan sedang menyunggi amreta di dalam satu wadah berbentuk piala bercerat (kamandalu). Diceritakan bahwa untuk menebus kemerdekaannya, Garudeya harus mati-matian berjuang mendapatkan tirtha amreta-sebagai sari samodra susu-yang dijaga oleh dewa Wisnu. Kegigihan usaha Garudeya dalam membebaskan diri dari belenggu perbudakan hampir membuat Wisnu kalah sehingga Wisnu akhirnya bersedia meminjamkan amreta dengan syarat bahwa Garudeya harus bersedia menjadi wahana (kendaraan) dewa Wisnu. Inti ceritanya adalah perjuangan tak kenal lelah untuk mencapai kemerdekaan yang diidam-idamkan.
Panil III menggambrakan relief Garudeya sedang memanggul ibunya, dewi Winata di punggungnya untuk diterbangkan meninggalkan kediaman Kadru. Sesuai dengan konteks waktu, kisah ini menggambarkan peralihan setelah Indonesia berhasil memerdekakan diri dari penjajahan melalui proklamasi.
Selain kisah Garudeya di candi Kidal, penentuan rancangan lambang negara juga memperhatikan data ikonografis di Candi Sukuh, yaitu: relief burung garuda di sisi kiri kanan gapura I candi Sukuh yang menggambarkan seekor garuda berukuran besar setengah jongkok dalam posisi mengepakkan sayapnya seraya mencengkeram dua ekor naga yang saling membelitkan badan dengan arah berlawanan. Relief ini serupa dengan relief terkenal wahana Wisnu pada arca perwujudan Airlangga abad XI M. Data ikonografis ini dimodifikasi seperlunya antara lain dengan mengganti sepasang naga yang membelit dengan pita yang memuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, sebuah sasanti dari teks kakawin Sutasoma.

Tiga makna pokok yang tersirat dalam lambang negara, yakni tanggal kemerdekaan tersirat dalam jumlah bulu ekor, sayap dan leher. Kedua, makna pluralistik-integratif sosio budaya Indonesia yang beragam disimbolkan dalam sasanti Bhineka Tunggal Ika. Ketiga, lambang tiap-tiap sila yang menjadi dasar negara tergambarkan pada perisai.
Konon relief cerita Garudeya candi Kidal menjadi salah satu media pendidikan keagamaan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam bentuk penentangan terhadap praktek perbudakan atau penjajahan manusia atas manusia lain. Perjuangan sang Garudeya sendiri merupakan ekspresi tentang bhakti anak kepada ibu, Jika pesan ini dielaborasikan lebih luas, yakni dalam konteks kenegaraan, bisa berarti ‘bhakti kepada ibu pertiwi/ tanah air atau bhakti nagari, yaitu perjuangan membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Dengan konteks demikian, Sang Garudeya tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan.
Hidup Garuda Pancasila.
(Ditulis ulang dari sumber patembayancitralekha.com., Dwi Cahyono. Ilustrasi sampul: Isa Horeg)
Rancangan garuda pancasila bukan nya hasil dari sultan hamid 2 ?