Seorang kawan yang adalah budayawan serba bisa satu kali menjelaskan pengalamannya selama melakukan riset pustaka.
Dia membolak-balik halaman buku sejarah untuk mencari gambar referensi tentang bagaimana cara berpakaian Pangeran Diponegoro beserta jajarannya. Buku acuan dari beragam sumber, baik dalam maupun luar negri dilahapnya, sampai pada tahap dia menemukan perbedaan signifikan antara karya penggambar lokal dengan seniman luar negri yang rata-rata jebolan sekolah seni Eropa.
“Pelukis lokal sangat akurat pada detil, namun perspektifnya hancur. Sebaliknya, litografi karya pelukis-pelukis Eropa sangat indah, namun tidak terlalu akurat karena keterbatasan observasi maupun pengaruh budaya asal yang bersangkutan”, ujarnya.
Berikut contoh litograf yang diduga karya M. Wongsodimedjo:
Bandingkan dengan karya seniman luar negri di bawah ini:
Sebuah pengamatan yang tajam dan teori yang masuk akal. Namun tentu tidak berlaku bagi the one and only: Raden Saleh yang merupakan pelukis Asia pertama yang mendapatkan pendidikan seni formal di Eropa.
Dia terlahir dengan nama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman di Semarang, Jawa Tengah, dari keluarga ningrat keturunan Arab Hadhrami tahun 1811. Ayahnya bernama Sayyid Husen bin Awal bin Yahya.
Seorang pelukis kerajaan Belanda keturunan Belgia, Antoine Payen, yang mengendus bakatnya sejak kecil, mengusahakan bantuan hibah dengan mengirimnya ke sekolah melukis di Belanda tahun 1930.
Saat itu, Eropa tengah berganti wajah ke arah industrialisasi. Perang Napoleon telah berakhir dengan tercerai-berainya pasukan Perancis. Eropa tengah membagi-bagi wilayah bekas Napoleon.
Penguasa kolonial Belandapun sebenarnya tengah mengadakan eksperimen sosial apakah seorang pribumi bisa dididik dan dijadikan warga kulit putih atau Europeanen.
Raden Saleh menghabiskan masa studinya selama 10 tahun di Den Haag, selanjutnya dia berkelana di seantero Eropa mulai 1839.
Dia lama menetap di Dresden, Jerman di mana karena pesonanya sebagai Pelukis Tampan Berkostum Oriental, dia dianggap setara sebagai seniman dan warga, sungguh hal yang jarang terjadi karena sekat-sekat kelas sosial berdasarkan warna kulit waktu itu sangat ketat. Raden Saleh diterima oleh kalangan borjuis dan bangsawan papan atas karena lukisannya sekaligus juga kemampuannya bercakap-cakap dalam 5 bahasa.
Karya-karya lukisannya sangat mengagumkan, tak pelak tercatat sejumlah nama beken mengoleksinya dengan antusias, baik untuk galeri seni maupun koleksi pribadi. Ratu Inggris Elizabeth II pun juga tidak ketinggalan.
Setelah seratus lima puluh tahun berlalu pesonanya tidak memudar karena lukisannya yang berjudul ‘Berburu Rusa’ yang dia lukis tahun 1846 di Dresden baru-baru ini laku senilai 5,5 Milyar Rupiah.
Pada tahun 1851, Raden Saleh merasa terpanggil untuk pulang ke tanah kelahirannya di Jawa.
Dia sering berkeliling Jawa sambil menjadi arkeolog amatir. Selama berada di Jawa tengah, dia menyaksikan bencana meletusnya gunung Merapi yang dahsyat dan menuangkannya ke dalam kanvas. Lukisannya ini kini dipajang di Museum Nasional Sejarah di Leiden Belanda.
Hobi para penguasa kolonial pada waktu itu adalah berburu, oleh karena itu tema ini menjadi tema favoritnya.
Lukisan Berburu Singa yang laku hampir 2 juta Euro adalah yang paling terkenal di Eropa. Singa tidak ada di tanah kelahirannya Jawa, jadi tampak bahwa selama berkelana di Eropa dia telah mengadakan studi secaras seksama, diantaranya di sirkus di DenHag dan di Kebun Binatang London.
Lukisannya yang paling fenomenal tentu saja adalah lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro 1857 yang kini berada di istana presiden di Jakarta.
Karya ini merupakan tafsir pribadi Raden Saleh atas lukisan serupa karya Nicollas Pieneman tahun 1835. Lukisan Pieneman menekankan menyerahnya Pangeran Diponegoro dan kecongkakan Jendral De Kock yang berdiri berkacak pinggang. Wajah Pangeran tampak lesu dan pasrah. Lukisan Raden Saleh menunjukan niat baik Diponegoro beserta pengikutnya yang dikhianati Belanda karena diakhiri dengan drama licik penangkapannya. Raut Diponegoro sangat tegas sambil menahan amarah.
Pelopor pelukis bergaya romantis Indonesia ini tutup usia pada tanggal 23 April 1880 karena pembekuan darah atau trombosis. Ia disemayamkan di TPU Bondongan, Bogor Jawa Barat dengan batu nisannya yang berpahatkan tulisan: “Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda“.
GIPHY App Key not set. Please check settings