MarahMarah SedihSedih HeranHeran SukaSuka TerinspirasiTerinspirasi NgakakNgakak

Danurejo IV, Kere Munggah Bale yang Tidak Tahu Balas Budi

Sultan Hamengku Buwana III merasa heran ketika putra sulungnya Bendara pangeran Harya Dipanegara mengusulkan sebuah nama yang hendak diplot menggantikan patih Kyai Adipati Danureja III yang telah uzur. Sultan menganggap ada banyak kandidat pejabat lain yang dianggap mampu dan berasal dari lingkungan dalam keraton. Menurutnya lagi, nama yang diusulkan itu masih terlalu muda dan berasal dari kalangan rakyat biasa yang bahkan logat bahasa Jawa wetannya dianggap kasar bagi telinga orang Jogja.

Untuk diketahui, bahwa abdi dalem keraton Hamengkubuwono yang bertugas membantu raja terdiri dari enam tingkatan, yaitu:

• Kanjeng Pepatih Dalem (satu tingkat dibawah raja)
• Kanjeng Tumenggung Nagari (setingkat Menteri)
• Kanjeng Panji Palang Nagari/Kanjeng Wedana(Setingkat Gubernur/Bupati memegang daerah kadipaten)
• Bekel Punakawan Bedaya
• Jajar Punakawan Bedaya (Lurah/Komandan Pasukan)
• Pangaruh Babar (Prajurit/ Mantri)
• Emban Dalem (Pembantu Keraton)

Jabatan kepatihan dibagi menjadi dua, terdiri dari patih yang mengurus masalah pertahanan dan keamanan, serta patih yang mengurus permasalahan ekonomi dan kemasyarakatan. Apabila patih meninggal, jabatannya bisa diwariskan pada anak-anaknya, adiknya, atau keponakannya asalkan masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan patih sebelumnya. Itupun masih harus dengan syarat setingkat Panji Palang Nagari atau Kanjeng Tumenggung Nagari. Jadi usulan Pangeran Diponegoro terbilang tidak umum dan mengagetkan pada waktu itu.

Namun ia selalu memperhatikan saran-saran putra yang diseganinya karena dianggapnya memiliki kharisma dan mumpuni kadar keilmuannya ini, dan demikianlah jalinan kisah ini bermula.

Nama yang diajukan tersebut adalah Mas Tumenggung Sumadipura, pejabat bupati kesultanan Yogyakarta untuk wilayah Japan, Mojokerto di Jawa Timur sekarang, yang dengan kemampuannya saat menjabat membuat wilayahnya menjadi yang termakmur di Mancanegara Timur.

Pada 2 Desember 1813 Sumadipura pun diangkat dan dilantik sebagai Pepatih Dalem Danureja IV dan kelak memangku jabatan terhormat itu selama 34 tahun, atau sampai 1847.

Seperti yang diduga, sebagai orang luar yang sebelumnya tidak punya akses ke wilayah inner circle kalangan elit istana, pada awal memegang kendali pemerintahan Danureja IV mendapat banyak hambatan dan cibiran dari pejabat lain. Hanya karena jasa Pangeran Dipanegara yang selalu membelanya dan pasang badan sematalah Danurejo IV sanggup melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang.

Sayangnya ada satu hal yang luput dari pengetahuan Pangeran Diponegoro. Terlepas dari pengaruh dan perlindungan sang Pangeran, Danureja IV justru tidak merasa berhutang budi. Sebaliknya, ia yang seperti dihinggapi syndrome “kere munggah bale” ini menyembunyikan sebuah luka di dalam hatinya karena ia merasa hidup dalam bayang-bayang. Semua jasa dan budi baik Diponegoro kepadanya justru serasa taburan garam yang makin membusukkan luka di hatinya.

Dia dihinggapi perasaan rendah diri seolah-olah semua mata menatapnya dengan memandangnya rendah, seolah-olah semua bibir dimencongkan dengan mulut yang kasak-kusuk menggunjingkan dia belakangnya dan mengatakan bahwa dia bukan siapa-siapa bila bukan karena Pangeran Diponegoro.

Danurejo IV terobsesi untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti apa yang dipikirkan orang. Dia yakin dia bisa, mampu, dan hebat meskipun tanpa campur tangan Sang Pangeran.

Ketika pada tahun 1816 Hamengkubuwana III mangkat dan digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot yang masih berusia kanak-kanak sebagai Hamengkubuwana IV, sang Patih yang mata gelap ini mulai menunjukkan kedurjanaannya.

Keberadaan Pangeran Diponegoro yang lebih banyak meninggalkan istana dan tinggal di Tegalrejo membuatnya lancang berani menggantikan pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan mulai merumuskan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Karena merasa patron pelindung yang sebelumnya mulai menjauh, diapun mencari sosok pelindung lain yang celakanya ditemukannya pada pemerintah kolonial Belanda, pihak yang sebenarnya hanya berkepentingan memanfaatkan keraton sebagai alat untuk mencapai keuntungannya sendiri.

Untuk memuaskan luka hatinya, Danurejo IV rela menggadaikan jiwanya menjadi antek pihak asing.

Naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang yang tidak baik dan rusak. Dia mendapat julukan “setan kulambi manungsa”,  yaitu setan berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, yang merampok uang rakyat sembari duduk manis di singgasananya.

Babad Kedung Kebo mencatat sebuah peristiwa yang menandai anti klimaks hubungannya dengan sang Pangeran. Pada tahun 1822, Pangeran memanggil Danurejo IV dalam sebuah penghadapan, berkaitan dengan berbagai laporan miring atas kesewenang-wenangannya menindas rakyat. Selaku wali sultan yang masih bocah, Diponegoro menginterogasinya di paseban, di depan banyak pemangku pejabat dan seorang sentono (anggota keluarga sultan). Dulu Pangeran pernah membahas suatu kebijakan bersama ayahnya, sultan Hamengkubuwono III berkaitan dengan penunjukan petugas resmi polisi pedesaan atau gunung dan peran mereka atas masyarakat pedesaan. Tanpa berkonsultasi, Danurejo IV menunjuk 50 lebih petugas resmi yang digaji langsung dari uang pajak kerajaan dengan tugas khusus mengumpulkan pacumpleng-pajak rumah tangga yang sekaligus petugas penegak hukum.

Pangeran menjadi murka ketika Danurejo IV terus saja mengelak dengan berbagai dalih, dan terjadilah sebuah peristiwa heboh ini. Pangeran yang amat disegani semua kalangan itu mendadak berdiri, melepaskan selop alas kakinya dan dengan langkah murka medekati Danurejo IV dan memukulkan selop tersebut ke kepala dan wajah sang patih yang duduk menyembah.

Penghinaan itu takkan pernah dilupakan oleh Danureja IV sepanjang hidupnya, walaupun sesungguhnya dia sangat pantas menerimanya.

Insiden besar kedua terjadi ketika dalam sebuah pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan beraneka minuman keras. Lazim pada masa itu pesta-pesta ala barat diadakan di kalangan pemerintahan sehingga Pangeran Diponegoro sampai tidak tahan dan menganggap bahwa Belanda telah menginjak-injak dan mencemari keraton. Danureja IV berniat hendak membalas penghinaan yang pernah ia alami. Ia tahu bahwa sang Pangeran tidak akan sudi ikut minum, sehingga dengan sengaja ditawarkannya sebuah gelas. “Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab”, batinnya. Tak dinyana, Pangeran Dipanegara melakukan hal yang kian menyalakan dendam Danureja IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah disiram wine yang dihempaskan oleh Sang Pangeran.

Semenjak itu, dengan penuh kedengkian Danurejo IV benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta, orang yang telah berjasa besar menaikkannya sebagai pejabat administratif tertinggi di Keraton, sebagai orang kedua dalam pemerintahan.

 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

5 Comments

  1. Apakah ada sisi baik patih Danureja ? mungkinkah yg dilakukan patih Danureja ini sebuah strategi untuk menghancurkan pengaruh VOC dengan cara diadu dengan pangeran Diponegoro ? Konon akibat perang Diponegoro ini VOC mengalami kebangkrutan ?

  2. Bukanya orangtua patih danurejo itu masih satu buyut dgn pangeran diponegoro min? konon salah satu alasan perubahan nama kabupaten japan menjadi mojokerto karena lebih mementingkan menjadi patih di yogyakarta daripada menjadi bupati di mojokerto, selain trik belanda untuk menghindari kesepakatan perjanjian karena patih danurejo jg berhasil memiliki keturunan dr raja jg min?saling adu strategi dgn belanda

Loading…

0

Amangkurat I sang diktator kolaborator

Makanan dan Minuman yang Terpahat dalam Prasasti Abad 9-10 Masehi