Foto Pertama di Indonesia Mengabadikan Candi Borobudur tahun 1845

Salah satu foto di dalam album studio Woodbury Page yang memuat profil pemimpin elit Jawa pada masanya kekunoan.com

PENEMUAN FOTOGRAFI PERTAMA DI DUNIA

Hak paten terhadap fotografi yang pertama di dunia diberikan pada orang Perancis bernama Jean Louis Daguerre pada Agustus 1839. Hak patent tersebut sekaligus mengakhiri perdebatan apakah Daguerre atau orang Inggris bernama William Henry Fox Talbot sebagai yang pertama yang berhasil mengembangkan fotografi.

Teknik pengambilan dan pemrosesan gambar Daguerre yang disebut daguerreotype adalah teknik fotografi positif langsung, sedangkan metode Talbot, yakni talbottype lebih rumit karena memerlukan 2 tahapan, yakni membuat negatif dulu, lalu setelah negatif tersebut distabilkan dan dicuci bersih baru bisa dicetak positif pada kertas.

Mudah diduga, publik Perancis dan seluruh Eropa lebih menyukai teknik Daguerre.

BELANDA PEMIMPIN INDUSTRI PERCETAKAN DI EROPA

Pada abad 17 percetakan-percetakan di Belanda tumbuh pesat walaupun diantara mereka masih memakai teknik yang berbeda-beda karena belum ada standar yang baku. Dunia publikasi buku menjadi sangat semarak. Industri percetakan bahkan menjelma menjadi bagian penting yang menyokong struktur sosial dan ekonomi Belanda di abad 18 dan 19. Dengan latar belakang seperti ini, dengan cepat fotografi mendapat tempat di Belanda.

Setahun setelah kehebohan fotografi Daguerre, pemerintah kolonial mengirim seorang perwira militer bernama Jurriaan Munnich ke Hindia Timur dengan perintah untuk mengambil gambar bangunan-bangunan dan kekunoan di koloninya tersebut. Teknik pemrosesan gambar daguerreotype ternyata tidak cocok digunakan pada suhu dan kelembapan tropis, sehingga Munnich mengalami kegagalan. Kualitas foto-fotonya sangat jelek sehingga tidak memenuhi standar.
Pada tahun 1843, tepat saat kabar kegagalan Munnich sampai di Belanda, seorang pemilik usaha di kota Denhaag asal Jerman bernama Adolph Schaefer tengah mengiklankan diri di sebuah surat kabar setempat. Usaha yang dirintisnya kurang berkembang, sehingga dia bermaksud menjual peralatan fotografi Daguerre miliknya.

Melihat ada peluang, Schaefer mengajukan diri agar di kirim ke Hindia Timur. Penasehat Menteri urusan daerah jajahan Ph. F. von Siebold merekomendasikan Schaefer untuk menggantikan Munnich. Perjanjian yang disepakati adalah bahwa pemerintah akan menanggung pembelian peralatan serta biaya perjalanan Schaefer untuk dibayar dengan foto-foto hasil karyanya di tempat baru nantinya.

Schaefer yang digelontor dana besar segera pergi ke Paris untuk belanja peralatan yang baru serta menemui Daguerre untuk mempelajari tekniknya, langsung dari sang penciptanya. Ia mendapat banyak masukan berharga dan teknik baru dari sang mentor yang kelak akan sangat menunjang keberhasilan tugasnya.

 

Baca juga tentang kiprah pelukis-pelukis asing yang mengabadikan nusantara sebelum dunia mengenal fotografi di tautan ini.

 

Schaefer menghabiskan total lebih dari 4000 Gulden untuk memborong peralatan, plat logam, dan bahan kimia yang diperlukan. Semua dikemas dalam 10 kotak kayu dan 49 kaleng logam.
Schaefer mendarat di Batavia bulan Juni 1844.

Untuk beberapa saat lamanya, tidak terdengar kabar darinya, kecuali nukilan berita wawancara di sebuah surat kabar Javaasche Courant yang mengisahkan percobaannya yang berhasil. Pemerintah menuntut agar ia segera mengirim gambar-gambar patung koleksi Bataviaasch Genootschap voor Kensten en Wetenschappen (Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia).
Schaeffer meminta harga yang sangat mahal, yakni 120 hingga 150 Gulden per karya, padahal harga yang berlaku di pasaran Eropa saat itu adalah 10 hingga 15 Gulden. Pemerintah memutuskan membayarnya sebanyak 800 Gulden pada bulan April 1845.

Segera setelah tugas ini tuntas, Schaefer mendapat perintah baru untuk menuju ke karesidenan Surakarta guna membantu arkeolog W. A. Van Den Ham yang tengah mengadakan penelitian di Jawa.

Bulan September 1845 Schaefer berangkat dengan kuda dari Batavia menuju residen Kedu sejauh 450 Km. Untuk memudahkannya sampai ke tempat tujuan, Schaefer diberi fasilitas menggunakan kuda secara cuma-cuma dari jawatan pos mengingat jumlah bawaannya yang sangat banyak.

Dibawah arahan W. A. Van Den Ham, ia mulai mengabadikan Borobudur.

Yang pertama dibidiknya adalah relief-relief indah yang terpahat pada batu candi Borobudur. Setelah berhasil mengirimkan 6 foto pada pemerintah, gajinya dinaikkan menjadi 600 Gulden.

Detail deretan relief kedua dinding luar barat kompleks candi Borobudur, Jawa Tahun1845 kekunoan.com
Detail deretan relief kedua dinding luar barat kompleks candi Borobudur di tahun 1845 karya Adolf Schaefer. Satu dari rentetan foto-foto pertama di Indonesia

Pada penghujung 1845 residen Kedu mengabari gubernur jendral di Batavia bahwa Schaefer telah menyelesaikan sebanyak 58 foto.

Pada memo yang dikirim, Schaefer menceritakan kendala apa saja yang dihadapinya. Ia memerlukan sebuah ruang gelap yang bebas dari angin dan debu. Hal yang sulit didapat dari bangunan tradisional Jawa yang ia gunakan, sehingga ia mengajukan proposal pembangunan sebuah rumah bergaya Eropa yang memiliki jendela dan pintu. Membidik gambar juga bukan perkara mudah karena lorong Borobudur yang sempit membuatnya tidak bisa mengatur jarak yang tepat dari obyek ke lensanya. Setelah dicoba, ia sampai pada kesimpulan tidak mungkin merekam sebuah relief utuh dalam satu gambar. Ia pun memotret bagian demi bagian, keputusan yang sesungguhnya dikritik Van Den Ham.

Setelah berhitung, ia memperkirakan bahwa keseluruhan relief akan membutuhkan 4000 hingga 5000 plat dan akan selesai dikerjakan dalam 4 atau 5 tahun. Dia meminta pada Batavia agar diangkat sebagai pegawai pemerintah yang mendapat gaji tetap serta tunjangan pensiun bagi keluarganya sebesar 150.000 Gulden per bulan sampai selesainya proyek. Angka tersebut amat tinggi, melebihi kemampuan pemerintah kolonial. Lagipula fotografi belum terlalu penting bagi kehidupan sehari-hari. Schaefer mengusulkan agar foto-fotonya diterbitkan sebagai ukiran dan dipakai untuk menggalang dana. Namun pemerintah menolak usulan itu.

Saat itu, Van den Ham baru saja tutup usia, sehingga tanpa bimbingan arkeolog proyek menjadi tidak jelas. Pemerintah kemudian memutuskan menghentikannya saja dan Schaefer diutus kembali ke Semarang untuk bekerja sebagai fotografer agar biasa membayar hutangnya pada pemerintah yang telah mencapai 24.000 Gulden.

Dengan turunnya keputusan itu, Schaefer mulai mengalami masa-masa yang sulit. Tahun berikutnya terlihat jelas bahwa dia belum akan mampu membayar hutang karena orang Eropa yang merupakan pelanggan utamanya di Semarang hanya sedikit jumlahnya. Pada musim panas 1848 residen Semarang mengirim berita pada gubernur jendral bahwa penghasilan Schaefer sangat kecil.

Pemerintah mengijinkan ia pindah ke Surabaya, Madura dan Sumenep untuk mencoba peruntungannya di tempat baru. Tapi hingga bulan Agustus 1849 dia belum mampu membayar hutangnya. Dia lalu balik ke Batavia. Pemerintah memutuskan melego peralatannya dan dari hasil pelelangan mendapat uang sebanyak 227.11 Gulden.

Sesudahnya tidak ada lagi catatan tentang kisah hidup Schaefer. Diperkirakan ia meniggal dalam keadaan melarat dan tertekan.

Pemerintah kolonial mengirim foto-foto Schaefer ke Belanda dan disimpan di Royal Academy di Delft. Foto-foto bersejarah tersebut kemudian didonasikan pada Museum Ethnologi di Leiden, lalu dipindah sebagai koleksi Pusat Dokumentasi dan Penelitian Fotografi Universitas Leiden.

Keputusan kementrian urusan daerah jajahan perihal penugasan Adolph Schaefer mendokumentasikan Hindia Belanda walaupun dinilai kurang berhasil, tetapi merupakan sebuah upaya penting yang melampaui jaman. Sebuah kebijakan yang sangat penting bagi kemajuan dunia ilmu pengetahuan.

STUDIO FOTO SWASTA DI NUSANTARA

Memasuki paruh kedua abad 19, sistem tanam paksa dan monopoli memungkinkan Belanda memasok kopi, teh, gula, tembakau, merica, dan kayu manis ke seluruh Eropa. Aktifitas ekonomi di negeri jajahan meningkat, seperti yang kita tahu, tentu hanya bisa dinikmati kalangan tertentu saja. Akses terhadap fotografi yang makin mudah melahirkan bisnis studio-studio foto swasta di seluruh Jawa dan kepulauan lain. Mereka memasok potret dan dokumentasi bagi kepentingan kolonial.
Salah satu yang terkemuka adalah Woodbury & Page Studio yang didirikan di Inggris, namun datang ke Jawa lewat Australia. Di Melbourne usaha ini kurang berkembang, sehingga pemiliknya, yakni Walter Bentley Woodbury dan James Page hijrah ke Batavia pada 1857. Selain sukses membuat potret wajah para elit pemerintah dan elit lokal, mereka berkeliling nusantara untuk mendokumentasikan pemandangan, rel kereta api, monumen, dan sistem pertaniaan kolonial.

Kartu kenang-kenangan (carte de-visite) bidikan studio Woodbury & Page yang mengangkat suku-suku pedalaman, upacara-upacara tradisional, dan bangunan-bangunan kuno di Indonesia amat digandrungi oleh para pelancong dari Eropa kala itu.

Koneksinya yang luas di Eropa ini dimanfaatkan oleh studio Woodbury & Page sebagai pemasok peralatan fotografi bagi fotografer lain untuk seluruh Hindia Belanda dan Asia Tenggara.

Seiring makin besarnya studio Woodbury & Page, mereka mendirikan studio satelit di Surabaya dan pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa dan beberapa kepulauan lain. Pada 1870 studio ini membuat album foto legendaris bersampul kulit yang memajang pemandangan berbagai tempat di kepulauan nusantara dan profil sejumlah individu terkemuka pada jamannya.

Salah satu foto di dalam album studio Woodbury Page yang memuat profil pemimpin elit Jawa pada masanya. kekunoan.com
Salah satu halaman album studio Woodbury Page yang memuat profil pemimpin elit Jawa dan tempat lain di nusantara.
Album foto berisi pemandangan berbagai tempat di nusantara karya Woodbury & Page Studio kekunoan.com
Album foto koleksi karya Woodbury Page Studio yang bernilai sejarah tinggi

 

Sumber:

  • briancarnold.wordpress.com/the-invention-of-photography-the-netherlands-and-the-dutch-east-indies/
  • www.asia-pacific-photography.com/towardindependence/schaeffer

Gambar sampul: salah satu foto pertama di Indonesia dan gambar kamera Daguerre yang merekamnya

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Masyarakat Jawa Kuno Ogah Minum Susu Karena Sapi Disakralkan?

Foto Lawas Seputar Alun-alun dan Pusat Kota Malang