Dikelilingi Benteng Alam, 5 Kerajaan Pernah Berpusat di Daerah Pedalaman Ini

Daerah pedalaman biasanya dikonotasikan sebagai daerah yang terlambat berkembang. Malang memiliki keunikan tersendiri karena sebagai daerah pedalaman, kawasan ini sama sekali tidak tertinggal. Alih-alih Malang justru menjadi pangkal titik inovasi budaya, menjadi sentra peradaban yang berpengaruh terhadap daerah-daerah sekitarnya.

Sebagaimana diteorikan oleh ahli sejarah Arnold Toynbeen (1988), hal ini terwujud karena masyarakat yang tinggal di dalamnya mampu mengembangkan potensi dan peluang yang ada secara tepat guna, sehingga memberi kemanfaatan. Keberhasilan mengembangkan potensi ini melahirkan tantangan baru yang ternyata juga berhasil diatasi dengan baik. Demikianlah urutan ini berlaku. Keberhasilan demi keberhasilan akan melahirkan tantangan baru ke depannya untuk dijawab dan seterusnya.
Selama Malang sanggup mengatasi challenge baru dengan respond yang baik, maka Malang akan terus berjaya.

Awal ihwal wilayah Malang secara Geologis dijelaskan oleh N.Daljoeni (1902) sebagai berikut:

Wilayah Malang Raya pada awalnya merupakan suatu danau purba. Danau purba Malang terbentuk melalui rangkaian peristiwa vulkanik berupa letusan dahsyat gunung api maha besar yang semula berbentuk Strato (Bemmelen, 1949). Eksplosi tersebut mengakibatkan hancurnya kemuncak gunung api. Lama-kelamaan ujung atas lubang kepundannya tersumbat dan terbentuklah cekungan dalam atau kaldera maha besar dipuncak kerucutnya.

Pada masa awal hingga pertengahan Pleistocen, cekungan ini masih ganas dan belum bisa dihuni makhluk hidup karena lingkungannya dipenuhi dengan aliran lava dan lahar dingin akibat aktivitas vulkanik gunung Kawi, Arjuno, dan Semeru Purba.
Pleistocen adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 2.588.000 hingga 11.500 tahun yang lalu.

Menjelang akhir masa Pleistocen sejumlah gunung api purba di Jawa seperti Penanggungan, Anjasmoro, Arjuno dan Kawi-Buthak mati. Tinggal Gunung Kelud, Semeru, dan Welirang yang tetap bertahan sebagai gunung berapi aktif.

Pada masa selanjutnya, cekungan dalam itu terisi air hujan melalui lereng gunung di sekelilingnya sehingga terbentuklah rawa-rawa purba. Rawa-rawa purba berangsur-angsur berubah menjadi Danau Purba yang dinamai “Danau Purba Malang”.

Igir-igir Danau Purba Malang tersebut kini berwujud gugusan gunung-gunung yang mengepung Malang yakni Gunung Welirang, Anjasmoro, Arjuno, Kawi, Tengger, Semeru dan Pegunungan Kapur Selatan.
Saat Danau Purba Malang belum mengering, palung Brantas yang melintasi wilayah Kota Malang berada didasar danau purba (Cahyono, 2011).

Menjelang periode Pleistocen atas Danau Purba Malang berubah menjadi daratan yang disebut “Dataran Tinggi Malang” sebagaimana keberadaannya sekarang. Gerakan endogen Gunung Api Arjuno, Welirang, Kawi dan Semeru purba mendangkalkan bahkan mengeringkan Danau Purba Malang karena timbunan lava dan lahar yang mengalir kedalam cekungannya. Proses pengeringannya dipercepat oleh pematusan lewat aliran Sungai Brantas ke arah selatan yang kemudian berbelok ke arah barat menuju Teluk dalam antara Blitar – Kediri hingga delta Brantas.

Dataran Tinggi Malang adalah dasar Danau Purba yang amat luas yang bagus untuk dijadikan areal hunian karena memiliki lahan subur.

Malang Raya terhitung berada dalam wilayah pedalaman Jawa jika ditilik dari jalur lalu lintas selat utama pantai utara Jawa. Sisi selatan Jawa memang Samudera Indonesia yang luas, namun kawasan perairan itu sejak masa lalu hingga sekarang belum merupakan jalur lalu lintas yang utama.

Malang ibaratnya berada di pusat sebuah cawan yang besar. Ia relatif terkurung oleh hambatan alam/ natural barrier berupa gunung dan pegunungan.

Pada sub area utara berderet 4 gunung tinggi, yaitu Anjasmoro, Welirang (yang nama kunonya adalah Ardi Kemukus), Arjuno dan Bromo – Tengger.
Pada sub area timur terdapat Gunung Semeru (Mahameru, gunung tertinggi di pulau Jawa).
Pada sub area tengah terlentang 2 gunung yang hampir sejajar dengan arah utara selatan yakni Gunung Kawi dan Buring (nama kuno Buring adalah gunung Malang).
Di sub area selatan berderet Pegunungan Kapur (Kendeng).
Pada sub area barat tegak berdiri vulkano aktif Kelud (nama kunonya Kampud).

Beruntung meskipun relatif terkurung, terdapat akses keluar masuk dari dan ke Malang raya melalui lembah dan celah antar pegunungan sebagai perlintasan.

Perlintasan utara memanfaatkan celah antara Gunung Tengger disisi timur dan Arjuno disisi barat disebut perlintasan Lawang.
Perlintasan timur (Dampit – Ampel Gading) memanfaatkan celah antara gunung Semeru di utara dan Pegunungan Kapur di selatan.
Perlintasan selatan (Kepanjen – Karang kates) memanfaatkan celah antara gunung Kawi di sisi utara dan Pegunungan Kapur di selatan.
Perlintasan barat (Batu – Kasembon) berada di celah gunung Welirang di sisi utara dan Kawi disisi selatan.
Masih ada 1 lagi perlintasan Cangar – Pacet antara gunung Welirang di timur dan Anjasmoro di barat namun memiliki frekuensi lalu lintas yang jarang.

Jalur darat di kelima perlintasan tersebut adalah jalur purba yang telah marak dipergunakan sejak jaman Hindu-Buddha dengan tanpa atau sedikit perubahan detail jalurnya sampai kini. Oleh karena itu dapat dipahami bila terdapat banyak peninggalan arkeologis di sepanjang jalan purba dan percabangan-percabangannya tersebut.
Di antara perlintasan-perlintasan di atas, Perlintasan Lawang adalah yang utama karena merupakan akses ke Pasuruan yang memiliki pelabuhan pada muara Kaliporong serta Surabaya yang memiliki pelabuhan Hujung Galuh pada muara Kali Mas.

Baca juga: Peran Penting Malang Dalam Percaturan Sejarah Jawa Masa Hindu-Buddha

Prasasti tembaga (Tamraprasasti) Katiden II atau juga disebut Prasasti Lumpang bertarik 1317 Saka (1395 Masehi) menyiratkan pendayagunaan Lawang sebagai gerbang utara dengan menyebutkan suatu jenis pajak bernama ‘Jalang Palawang’ yang artinya semacam pajak retribusi jalan.

Geo-strategis Lawang sebagai pintu masuk utama menjadi pertimbangan Wisnuwardhana untuk merelokasi pusat pemerintahan kerajaan (Kadatwan) Tumapel dari Kuta Raja ke arah utara, yaitu ke Singhasari. Hal ini berkaitan dengan perubahan orientasi politik Kerajaan Tumapel (Singhasari) ke arah eksternal, pada masa Wisnuwardhana dan Kertanegara untuk kepentingan integrasi Jawa (dinamai Cakrawalamandala Jawa) maupun integrasi nusantara (Cakrawalamandala Nusantara) yang membutuhkan akses jalan menuju ke laut.

Dari sudut kemiliteran, Lawang sangat penting sehingga sebelum menyerang kadatwan Singhasari terlebih dahulu bala tentara Jakatwang mendudukinya dan membangun kubu di tempat ini, tepatnya di Mameling (kini merupakan wilayah kampung Meling).

Pemerintah Hindia-Belanda bahkan membangun tangsi militer di Lawang – Singhasari untuk mengamankan Malang raya.

Gunung-gunung tinggi dan aliran sejumlah sungai membuat kawasan Malang terlindung secara alamiah sehingga bisa dipahami bila sejumlah kerajaan menjadikan tempat-tempat tertentu di kawasan Malang Raya sebagai pusat pemerintahannya atas pertimbangan keamanan.

Kerajaan Kanjuruhan (Abad 8 M) yang merupakan kerajaan tertua di Malang Raya, bahkan di Jawa Timur menjadikan lembah sisi timur Gunung kawi yang terlindungi oleh aliran kali Metro disisi utara dan timur sebagai kadatwannya.

Pada masa selanjutnya sesuai yang termaktub dalam Prasasti Turyan 929 M, ketika pusat pemerintahan Mataram dipindahkan dari Jawa tengah ke Jawa timur, Mpu sindok menjadikan Tamwalang (kini menjadi daerah Tembalangan) di sisi utara aliran Brantas sebagai kadatwannya. Pasca tahun 940-an kadatwan Mataram dipindah lagi ke middle Brantas di daerah Jombang. Menurut perhitungan Mpu Sindok, kawasan Malang dipandang tepat sebagai terugvaal basis yakni basis pengunduran diri untuk konsolidasi dari kadatwan lama di Jawa Tengah. Tercatat pertimbangan terugvaal basis kelak juga menjadi kalkulasi Trunojoyo, Untung suropati, serta laskar Pangeran Diponegoro untuk mengundurkan diri, memulihkan diri dari kekalahan, menyusun kembali kekuatan, dan menjadikan Malang sebagai daerah basis perlawanan.

Baca juga: Perburuan Pangeran Pembangkang Singasari Menyasar Hingga ke Malang

Tiga abad berselang, tepatnya pasca tahun 1222M setelah Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi (Ken Angrok – pemimpin perlawanan Jenggala) memperoleh kemenangan terakhir dari kerajaan Khadiri (Panjalu) dengan rajanya bernama Kertajaya (Dandang Gendis / Srengga) dalam suatu pertempuran di Ganter (kini Ganten di barat laut Ngantang), ia memilih Kuta Raja yang tanahnya membukit dan terlindung aliran 2 sungai (Brantas dan Bango) pada sisi barat serta kali Amprong disisi selatan untuk dijadikan kadatwan perdana Kerajaan Tumapel.
Kemungkinan sejak abad XII hingga XIII M, garis demarkasi 2 Kerajaan yang saling berseteru; Khadiri dan Jenggala adalah Gunung Kawi. Ngantang yang berada di tengah keduanya tercatat 2 kali menjadi ajang pertempuran (Palagan) yaitu Palagan bagi kemenangan Kadiri – Panjalu yang dalam Prasasti Hantang (1135M) diabadikan dengan semboyan Panjalu Jayati, dan juga sebaliknya menjadi palagan bagi kekalahan Khadiri pada tahun 1222M.

Pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, terdapat kerajaan bawahan utama yakni Kabalan (kini Dusun Kebalon, Desa Kedungkandang) di lereng barat bukit Buring (nama kuno Gunung Malang) dan sebelah timur aliran kali Amprong. Raja kadatwan Kabalan ini adalah putri mahkota bakal penerus Hayam Wuruk yang bernama Kusumawardhani atau juga disebut Bhre Kabalan. Pada masa sebelumnya, yakni sejak abad 10 M daerah tersebut merupakan pusat dari watak Tugaran (kini Dusun Tegaron, Desa Lesanpuro).

Pada masa akhir Hindu-Buddha (abad XVI M) di suatu tempat yang cukup terpencil pada pegunungan Kendeng selatan, tepatnya di desa Jenggala yang terlindung oleh aliran Sungai Brantas disisi selatan dan Kali Metro di sisi barat, hadir kadatwan Hindu yang terakhir yakni Sengguruh. Pilihan lokasi kadatwan Sengguruh ini karena mempertimbangkan keamanan kerajaan guna mengantisipasi ekspansi kekuasaan kesultanan Demak pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Pada masa itu kerajaan Hindu bertumbangan dan Islam mulai menancapkan pengaruh di Jawa. Akibat pertimbangan strategis tersebut Sengguruh baru berhasil ditaklukan Demak pada 1545 M setelah penguasa penguasa daerah di wilayah Jawa Timur lainnya telah lebih dulu berhasil ditaklukan.

 

(Disarikan dari: Ekspedisi Samala; Menguak Kemasyhuran Majapahit dari Jendela Malang Raya’, Laporan Jurnalistik Malang Pos, Dwi Cahyono, Griya Ajar Patembayan Citralekha)

Sampul: Foto G Bromo/Instagram (maaf lupa siapa ya nama akun pemiliknya).

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0

Menapaki Jejak Para Sesepuh Pendekar Komik Indonesia

Thotok Kerot, Racauan Orang Kesurupan Th 1832 yang Terbukti Kebenarannya Th 1981