Jalan Lingkar Luar Kota Malang Tahun 1936 dan Taman Lembah Brantas

http://kekunoan.com

 Mengapa Malang pernah dikenal sebagai kota sejuk, kota taman, kota pegunungan nan indah sedari dulu? Semuanya berawal dari perancangan tata kota yang dilakukan oleh arsitek Herman Thomas Karsten. Bagaimanakah konsep yang diusung?

Pemerintah berencana mengembangkan Kota Malang dengan cara perluasan lahan. Masalah timbul ketika para spekulan membeli tanah dan menjualnya kembali dengan harga tinggi.

Saat itu, tanah masih sangat luas dan tidak memiliki nilai jual. Bahkan masih banyak kawasan semak belukar di daerah seperti Oro-Oro Dowo dan Kedungkandang hingga masih sempat dijumpai binatang liar seperti macan rembang.

Pihak Gemeente Malang merasa belum puas dengan tingkat kemandirian yang dimilikinya meskipun telah dilakukan perubahan. Gemeente menghendaki adanya reformasi pemerintahan menjadi lebih dekonsentrasi. Sejumlah dewan wilayah dibubarkan karena jumlah anggotanya yang terlalu banyak namun kurang bersosialisasi kepada masyarakat.

Gereja Katedral di Ijen Boulevard Malang 1914-1939. (Sumber: pinterest.com)

Spekulan tanah mulai muncul saat Malang berubah menjadi Stadsgemeente pada tahun 1926 berdasarkan Stadsgemeente Ordonantie No.365 tahun 1926. Perubahan ini menjadikan pemerintah kota yang awalnya hanya memiliki otonomi terbatas (Gemeente), jadi memiliki wewenang penuh atas penataan kota(Stadsgemeente). Meskipun tanah kosong masih sangat luas, namun tanah yang direncanakan untuk pembangunan kota ternyata telah lebih dulu dibeli oleh para spekulan.

Melihat kejadian tersebut, Walikota Malang sat itu, Ir. E.A. Voorneman mengeluarkan suara rencana berdasarkan Bikblad I tahun 1927 yang disebut dengan Geraamteplan (Outline plan). Rencana ini bertujuan untuk menguasai tanah yang diperlukan untuk perluasan Kota dengan biaya pemerintah pusat. Namun rencana ini ditolak oleh pemerintah pusat karena Satdsgemeente Malang tidak memikirkan lebih lanjut rencana tentang fungsi dan dan pemanfaatan tanah yang akan digunakan.

Setelah diselenggarakannya Algemeene Volkshuisvestingcongress (Kongres Perumahan Rakyat) tahun 1922, maka pada tahun 1926 pemerintah pusat menetapkan perluasan dari Oemeentelijk Voorkeurrecht Op Gouvernementsgronden (Peraturan Hak Preferensi Kotapraja atas Tanah Gubermen) yang berupa bijblad nomor 11272. Lampiran ini berisi tentang pedoman cara penguasaan tanah untuk kepentingan perluasan.

Hal ini menjadi dasar pembuatan  Geraamteplan yang akan diajukan kepada pemerintah pusat. Bila rencana ini disetujui, maka pemerintah pusat akan memberikan prioritas berdasarkan Undang-Undang bahwa tanah yang akan digunakan untuk perluasan kota tidak boleh dijadikan hak milik siapapun (eigendom).

Lalu, apa rencana selanjutnya dari Stadsgemeente setelah pengajuan Geraamteplan ditolak oleh pemerintah pusat?

Belajar dari kesalahannya, Stadsgemeente mengambil langkah untuk mencari ahli tata perencanaan kota. Pilihan jatuh kepada Ir. Herman Thomas Karsten.

Karsten lahir pada tanggal 22 April 1884 di Amsterdam, Belanda. Dia merupakan lulusan yang memperoleh nilai cumlaude jurusan bangunan di sekolah tinggi teknik di Delf tahun 1990. Karsten merupakan seorang arsitek terkenal di Belanda, namun di kawasan Malang ia lebih dikenal sebagai penasihat kota (adviseur).

Karsten pertama kali datang ke Indonesia pada 1 April 1914, tepat saat kelahiran Kota Malang atas undangan teman sekolahnya, Henri Maclaine Pont yang juga merupakan salah satu arsitek terkenal dengan karya-karya fantastisnya seperti ITB, Museum Trowulan, dan Gereja Pohsarang.

Karsten menikah dengan penduduk pribumi, seorang buruh tanam tembakau di Lembah Dieng, Jawa Tengah bernama Soembinah Mangunrejo. Setelah menikah, dia aktif sebagai pengurus dewan kesenian dan ikut mendirikan perkumpulan seni Jawa Sobokarti di Semarang.

Pada tahun 1941, ia menjadi salah satu tenaga pengajar di ITB jurusan planologi, dan banyak memiliki teman tokoh penting Indonesia seperti, Ir. Soekarno, Djojodiningrat, dan Radjiman.

Ketika Jepang mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Karsten ditangkap dan dimasukkan ke kamp penyiksaan interneer Jepang hungga akhirnya meninggal pada bulan April 1945.

Sebelum meninggal, Karsten telah diangkat secara resmi oleh Wali Kota Ir. E.A. Vooeneman, pada Agustus 1929 untuk menjadi arsitek perencanaan kota. Dari sinilah awal perencanaan dengan konsep totalbleed di wilayah Kotamadya Malang dimulai sebagai satu kesatuan yang terdiri atas bangunan, jalan, rambu-rambu, penghijauan, dan pemandangan yang harus saling berkesinambungan.

Gagasan ini bisa kita jumpai hingga sekarang pada penyusunan RUTRK (rencana umum tata ruang kota), kemudian RDTRK (rencana detail tata ruang kota) yang akhirnya diterjemahkan dalam RTRK (rencana teknis ruang kota).

Menurut Karsten, pondasi yang dibutuhkan untuk pembangunan kota ada 3, yaitu, perencanaan yang menyeluruh, peraturan-peraturan administratif, dan dinas yang tegas untuk mengurusi dan mengawasi. Setelah mendengar pendapat Karsten ini, pada yahun 1932 dibentuklah dinas yang mengurusi pembangunan kota (sekarang dikenal dengan sebutan kimpraswil), pembuatan peraturan pembangunan kota (sekarang dikenal dengan IMB), dan yang terakhir bagian perencana kota (sekarang dikenal bappeda).

Setelah semua dinas terbentuk, tugas pertama yang mereka lakukan adalah membuat pengaturan tentang tipe bangunan dan pembagiannya dalam lingkungan. Ada peraturan pengelompokan jenis perumahan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yaitu dibagi atas beberapa tipe sesuai etnis diantaranya, tipe yang bercorak kota bertipe vila (khusus untuk rumah di daerah Jalan Ijen), tipe rumah kecil, tipe rumah kampung terbuka dan kampung tertutup , serta tipe fasilitas umum  dan tipe pedesaan. Tipe seperti ini baru yang pertama kali dipakai oleh pemerintah Belanda, karena sebelumnya mereka selalu membuat bangunan berdasarkan jenis pemukiman Eropa, China, Arab, dan penduduk biasa.

Ardjoenastraat te Malang/ jalan Arjuna malang 1935 (Sumber: pinterest.com)

Tugas kedua yang harus dilakukan adalah perencanaan jalan yang menyeluruh dan terpadu dengan perkembangan pembangunan kota. Dalam pembangunan kota, Karsten sangat memperhatikan keadaan dan jumlah pertumbuhan penduduk. Sebagai contoh, pertumbuhan kendaraan saat itu di jalan utama (Kayutangan) akan meningkat, ia segera merencanakan untuk membangun outer ringroad (jalan lingkar luar) di sebelah timur (yang sekarang dikenal sebagai Jalan Panglima Sudirman) melewati Rampal yang sebelumnya adalah jalan tembusan tak beraspal. Sedangkan di sebelah barat adalah lingkar luar Jalan Ijen dan tembus ke Oro-Oro Dowo.

Pada tahun 1936, jumlah penduduk Kota Malang diperkirakan mencapai 96.000 jiwa dan sudah memiliki jalan lingkar luar sendiri. Pada tahun 2018, dengan jumlah penduduk hampir sejuta jiwa, keadaan jalan lingkar luar timur yang ada masih sama seperti pada tahun 1936 sehingga dapat dibayangkan kemampuan jalan menahan pertumbuhan volume kendaraan yang sangat tidak seimbang sehingga menyebabkan kemacetan yang panjang.

Selain jalan lingkar luar, konsep lain yang diperhatikan adalah sebelum pembuatan taman dan ruang terbuka. Pada rencana sebelumya, ruang terbuka hanya dijadikan sebagai tempat olahraga dan kepentingan militer. Namun, berkat Karsten yang juga merupakan seorang pecinta lingkungan, ia membuat taman untuk bersantai bagi masyarakat umum. Karsten mengungkapkan bahwa jalan utama harus cukup lebar dan harus diberi taman di setiap persimpangannya. Jalan tersebut harus berirama, diatur dengan adanya sumbu-sumbu jalan datar dan titik klimaks.

Hal ini akan menjadi ciri kota yang indah. Bukan saja indah dipandang mata, tetapi juga nyaman dilewati. Didasari konsep itulah maka penerapan dilakukan pada penataan Ijen Boulevard yang berhasil ikut dalam Pameran Tata Kota Dunia di Paris tahun 1937.

Selain itu, untuk menunjukkan bahwa Malang sebagai kota pegunungan, juga diterapkan peraturan daerah untuk bangunan yang berada di sepanjang Daendels Boulevard (Jalan Kertanegera) melewati JP Coen Plien (Alun-alun Tugu), sampai Jalan Semeru, harus diatur keberadaaan dan ketinggian bangunannya supaya tidak menutupi pemandangan ke arah Gunung Kawi.

Cikar di depan stasiun kota Malang 1900 (Sumber: pinterest.com)

Pintu masuk Stasiun Kota Baru yang awalnya menghadap ke Tangsi Militer (Rampal), pada tahun 1930, dipindah menghadap Alun-Alun Tugu hingga sekarang, yang bertujuan untuk menunjukkan pemandangan gunung kepada setiap orang yang datang ke Malang.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah menjaga resapan serta suhu udara agar tetap sejuk, maka Karsten memanfaatkan keberadaan Sungai Brantas. Ia juga berpendapat bahwa “Seluruh lembah Brantas yang ada di dalam kota akan dipakai sebagai taman. Sungai Brantas bukan hanya berfungsi sebagai pembatas kota, tetapi harus juga berfungsi sebagai taman kota”.

Melalui keberadaan taman yang dihubungkan dengan jalan setapak di sepanjang Sungai Brantas, hampir semua bangunan mempunyai teras yang menghadap ke arah sungai.

Sungai Brantas masa sekarang kondisinya sungguh memprihatinkan. Sampah rumah tangga yang didominasi popok bayi bekas, berenang terapung-apung pada air kotor. Pinggiran sungai menjadi kumuh karena dijadikan hunian oleh kaum tunawisma.

Terang sudah bahwa selama ini Malang telah dikelola melenceng jauh dari perencanaan awalnya. (Vina)

(Sumber: pattiromalang.blogspot.com)

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Loading…

0
pasukan mongol menghukum raja jawa kekunoan.com

Catatan Perang Komandan Shi Bi Menghukum Haji Ga-Da-Na-Ga-La

kunjungan hayam wuruk ke blitar kekunoan.com

Menelusuri Jejak Kunjungan Hayam Wuruk ke Balitar dan sekitarnya